Monday, October 31, 2016

Pernyataan Sikap Kelompok Cipayung Yogyakarta (Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2016)



CIPAYUNG YOGYAKARTA

GOTONG ROYONG KEPEMUDAAN


Gotong royong sebagai salah satu falsafah kehidupan sosial di Indonesia merupakan spirit utama dalam setiap penyelenggaraan kehidupan negara. Melunturnya nilai gotong royong akan berdampak pada ketimpangan pengamalan nilai- nilai luhur bangsa. Singkatnya, gotong royong merupakan warisan budaya yang menjadi harga mati untuk dipertahankan dan diperjuangkan dalam usaha menjalin tali kesatuan bangsa.
Tidak dapat dipungkiri, dimasa sekarang, frasa gotong royong kian tergerus perubahan peradaban yang dilatari oleh banyak hal. Untuk itu, aliansi CIPAYUNG (GMNI, PMII, HMI, GMKI, PMKRI) Yogyakarta mencoba memperingati momentum sumpah pemuda dalam dimensi pendidikan, kesatuan bangsa, serta budaya di Indonesia.
Pertama, di bidang pendidikan. Pendidikan hari ini diyakini bukan hanya sebagai transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Pendidikan sebagai media kecerdasan bangsa mengalami sistemisasi yang miskonsep dari tujuan awalnya. Pendidikan belum menjadi alat perjuangan dan pembebasan akan kebodohan manusia serta alat untuk memerdekakan manusia namun pendidikan hari ini cenderung bersifat pragmatis. Malahan sistem pendidikan Indonesia menunjukkan trend negatif dengan adanya peningkatan pengangguran berpredikat sarjana dari 5,34% pada 2015 menjadi 6,22% pada tahun 2016 (BPS 2016).
Kedua, CIPAYUNG Yogyakarta juga mengecam tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. Jumlah pengaduan akan dugaan pelanggaran kebebasan beragama mengalami trend buruk dari 74 pengaduan pada tahun 2014 tercatat, meninggkat menjadi 89 pengaduan pada 2015; dan 34 pengaduan per Juni 2016. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap pluralitas keagamaan dalam dimensi keberagaman masih rendah. Teologi Kemanusiaan Kautsar Ansari Noer mengatakan bahwa “Jangan coba-coba berani hidup di dunia, jika tidak sanggup bersentuhan dengan perbedaan, sebab perbedaan adalah syarat dunia ini” (Kautsar Ansari Noer, 2001).
Ketiga, dalam menanggapi isu regional, CIPAYUNG Yogyakarta menilik permasalahan lingkungan dan segala bentuk konservasi ekologis sebagai bentuk penggerusan budaya dan tatanan sosial Yogyakarta. Upaya moratorium pembangunan hotel yang dikeluarkan Pemkot Yogyakarta masih merupakan kebijakan setengah hati. Moratorium yang awalnya berakhir pada akhir tahun 2016 masih diperpanjang sampai akhir tahun 2017 melalui Peraturan Wali Kota (Perwalkot) Yogyakarta Nomor 55 Tahun 2016, menggantikan Perwalkot No. 77/2013. Uniknya, perpanjangan masa moratorium ini didasarkan pada okupansi hotel. Hal ini menyiratkan bahwa Pemkot Yogyakarta masih terjebak dalam logika profit sebagai faktor pendorong pembangunan. Padahal, Kota Yogyakarta secara nyata sudah tidak mampu menampung pembangunan hotel lagi. Branding renaissance Yogyakarta yang diusung dalam RPJMD DIY Tahun 2012-2017 dalam penerapannya masih jauh dari visi pembangunan Yogyakarta dengan cita Hamemayu Hayuning Bawono (Mempercantik alam yang sudah cantik).
Berhadapan dengan sekelumit persoalan yang ada, CIPAYUNG Yogyakarta mengajak segenap pemuda dan rakyat Indonesia untuk kembali merefleksikan nilai-nilai luhur kebangsaan sebagai bagian yang pelahan tergerus oleh beragam problema yang ada.
Untuk itu, demi cita-cita mulia para pendahulu yang termaktub dalam Sumpah Pemuda, kami Cipayung Yogyakarta menuntut:
  1. Menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan
  2. Menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan pluralitas agama sebagai daya rekat kesatuan
  3. Mengawal Renaissance Yogyakarta
  4. Mendorong pendidikan yang berkebudayaan kritis dan transformatif

0 comments:

Post a Comment