Kasih
dalam Kerukunan*
Surat Paulus kepada Jemaat di
Roma (Surat Roma) ditulis oleh Paulus sekitar tahun 57. Surat Roma merupakan Surat
Paulus yang paling panjang, paling teologis, dan paling berpengaruh. Sehingga
mungkin karena alasan itulah Surat ini diletakkan di depan 13 Surat Paulus yang
lain meskipun bukan surat yang ditulis pertama.
Surat Roma ditulis dalam rangka
pelayanan rasuli Paulus kepada dunia bukan Yahudi. Surat Roma juga ditulis
untuk mempersiapkan jalan bagi pelayanan Paulus di Roma serta pelayanan ke
Spanyol.
Surat Roma ditulis Paulus karena
Paulus merasa perlu untuk menulis Injil yang telah diberitakannya. Penulisan
tersebut untuk menghadapi kabar angin yang diputarbalikkan tentang berita dan
ajaran Paulus.
Paulus juga ingin memperbaiki
beberapa persoalan yang terjadi di dalam Gereja dan di lingkungan sekitar
gereja. Khususnya karena ada perselisihan antar jemaat dan masyarakat.
Melalui surat Roma, Paulus
menguraikan kebenaran-kebenaran dasar dari Injil. Dimulai dengan pembahasan hal
doktrinal tentang manusia yang berdosa di hadapan Allah, kasih Allah, kemurahan
Allah, serta manusia hanya dapat hidup oleh anugerah dan iman. Kemudian di
pasal 12-14 Paulus menyatakan bahwa kehidupan yang diubah Kristus mengakibatkan
penerapan kebenaran dan kasih pada semua bidang kelakuan (sosial, sipil, dan
moral). Atau dengan kata lain, melalui pasal 12-16 Paulus menunjukkan bagaimana
menghidupi kehidupan yang telah dilahirbarukan oleh iman di dalam Kristus.
Jika kita mendalami pasal 12
ayat 10-12 dari Surat Roma, kita bisa mendapatkan 3 konsep kasih yang
seharusnya kita hidupi di dalam kehidupan. Yakni:
1.
Kasih
persaudaraan
Kasih persaudaraan
yang dimaksud bukan hanya kasih antara saudara secara genetik atau keluarga
kandung. Tetapi secara rohani untuk semua orang.
Kasih persaudaraan juga
berarti kasih yang saling melengkapi dan saling memperhatikan. Serta
diwujudnyatakan dengan saling memberi hormat lebih daripada menghormati diri
sendiri.
2.
Kasih
yang berkobar-kobar
Kasih yang
berkobar-kobar yang dimaksud adalah kasih yang tidak malas. Karena kasih sejati
bukanlah yang dingin, kaku, dan statis. Tapi kasih yang “membakar”.
Kasih yang
“membakar” adalah kasih yang disertai dengan semangat mengasihi dan semangat
sukacita untuk melayani.
3.
Kasih
yang berpengharapan
Kasih yang
berpengharapan adalah kasih yang menantikan sukacita pengharapan, sabar dalam
kesesakan/tantangan, dan bertekun di dalam doa.
Bertekun di dalam
doa menjadi sarana memusatkan perhatian pada apa yang Tuhan kehendaki. Kemudian
mewujudnyatakan kasih itu.
Dalam bertekun
dalam doa, kita tidak boleh terjebak dengan salah konsep tentang doa sebagai
alat melepaskan masalah dan doa yang memaksa Tuhan.
Dengan
menghayati 3 konsep kasih tersebut, 3 konsep kasih tersebut bisa kita pahami
sebagai inti atau jiwa dari kerukunan dan kerukunan lintas SARA. Berbicara
tentang kerukunan lintas SARA, kita harus lebih dahulu melihat diri kita
sendiri dan gereja. Apakah diri kita sendiri sudah atau mau mewujudkan
kerjasama dan kerukunan dengan semua orang? Apakah gereja masih saling memecah
belah, saling berselisih, dan saling menjatuhkan? Atau gereja sudah dan mau
mewujudkan kerukunan gereja?
Kemudian
dalam konteks kekinian, ada 2 pertanyaan penting yang perlu didalami. Yakni:
apa yang menjadi faktor penyebab terjadinya perselisihan antar umat beragama
serta bagaimana peran pemuda dan mahasiswa Kristen untuk menciptakan terjadinya
kerukunan.
Seringkali
yang menjadi permasalahan dalam kerukunan adalah menjadikan agama sebagai batu
sandungan. Sehingga timbul pertanyaan mengapa radikalisme sering berkaitan
dengan agama.
Sikap
egois termasuk sikap merasa agama sendiri paling benar dan adanya pemahaman
agama yang kurang benar pun bisa menyebabkan perselisihan antar orang.
Media
sebagai saluran informasi dan komunikasi juga cukup banyak mempengaruhi kondisi
kerukunan antar masyarakat.
Sebagai
warga gereja, pemuda dan mahasiswa Kristen seharusnya bisa bersatu dulu. Serta
menularkan semangat dan praktek bersatu tersebut dalam hidup.
Semangat
oikumene yang bertujuan menjadikan bumi atau dunia menjadi rumah bersama yang
nyaman seharusnya mampu dihayati maknanya dan dipraktekkan. Contohnya adalah
mengaitkan oikumene dengan Pancasila.
Jika
kita kembali membaca pasal 12 ayat 9-21 dari surat Roma, Paulus mengajak kita untuk
menghidupi dan merefleksikan kasih di tengah berbagai tantangan perdamaian.
Saling
tegur sapa dan bersosialisasi dengan siapapun bisa menjadi praktek menghadirkan
kasih. Apalagi di era digital saat ini, banyak dari kita yang lebih berfokus
pada diri sendiri.
Setiap
kita juga bisa meneladani Paulus yang memberitakan kabar baik dari satu daerah
ke daerah lain melalui media dan metode komunikasinya. Kabar baik tersebut mencakup
kebenaran dan kasih.
Meskipun
menghadapi berbagai macam tantangan dan harus ada pengorbanan; setiap kita
ditantang untuk menghidupi kasih yang mengampuni, sabar, tidak mudah terpancing
dan terpengaruh, serta mengalahkan kejahatan dengan kebaikan.
Mari
berdamai dengan semua orang!
Mari
berdamai dengan semua ciptaan!
Mari
menghidupi kasih dalam kerukunan!`
* Tulisan ini
merupakan rangkuman hasil diskusi dalam Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI
Cabang Yogyakarta tanggal 3 November 2016. Bertempat di Student Centre, Wisma
Immanuel, Samirono Baru 54, Yogyakarta.
Firman Tuhan
dan pengantar diskusi disampaikan oleh Christian Apri Wijaya.