Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Wednesday, November 16, 2016

(Press Release) AKSI DAMAI 1000 LILIN ALIANSI NUSANTARA DAMAI YOGYAKARTA (PMKRI, GMKI, PMII, GMNI, Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Ronggolawe Tuban/KPMRT, Pemuda Istimewa/PI)

RILIS PERS
AKSI DAMAI 1000 LILIN
ALIANSI NUSANTARA DAMAI YOGYAKARTA
(PMKRI, GMKI, PMII, GMNI, Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Ronggolawe Tuban/KPMRT, Pemuda Istimewa/PI)
“DAMAILAH NUSANTARAKU”


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar tanpa memandang Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Perjuangan menjadi bangsa Indonesia tidak hanya datang dari satu golongan saja melainkan semua golongan turut terlibat melawan penjajah sehingga tercapai keinginan untuk menjadi bangsa bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Indonesia itu sangat beranekaragam budaya, suku, etnis dan agama. Para pejuang bangsa kita telah menyatukan keanekaragamaan itu dalam satu semboyan yakni BHINEKA TUNGGAL IKA yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Namun, persatuan dan kesatuan bangsa kita akhir-akhir ini digoyahkan dengan penunggangan isu SARA yang mengarah pada kehancuran.

Kami Aliansi Nusantara Damai (AND) Yogyakarta dengan tegas dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk tetap menjaga kedamaian dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka kami:
1. Menolak segala bentuk tindakan yang berpotensi memecahbelahkan kesatuan bangsa (NKRI).
2. Mengajak seluruh masyarakat untuk mendoakan kedamaian Indonesia.
3. Mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak terprovokasi atas kasus pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda.
4. Menuntut Pihak berwajib untuk menuntaskan kasus pengeboman Gereja Oikumene di Samarinda.


Korlap:
1. Pirez (082328223296)
2. Passkal (082390850134)

Monday, November 14, 2016

Diskusi Perempuan dan Dunia: Kekerasan terhadap Perempuan dalam Alkitab

Untuk Mengenang Tamar*


Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih marak dan makin meningkat di masyarakat kita. Pelakunya pun bukan hanya orang dewasa. Tapi juga anak-anak di bawah umur.
Sebagai Firman Tuhan sekaligus teks suci, Alkitab juga menuliskan kisah-kisah tentang kekerasan terhadap perempuan. Sehingga bisa disebut sebagai text of terror karena ada teks yang sangat sadis.
Salah satu teks kisah kekerasan terhadap perempuan adalah teks kisah Tamar yang diperkosa oleh Amnon. Teks tersebut bisa kita lihat di kitab 2 Samuel 13:1-39.
Dalam kisah Tamar, ada 4 figur atau tokoh laki-laki. Yakni: Amnon, Yonadab, Daud, dan Absalom. Tamar dan 4 figur laki-laki tersebut merupakan bagian dari satu keluarga besar Daud. Tapi masing-masing punya relasi yang berbeda-beda kondisinya.
Absalom, Amnon, dan Tamar merupakan saudara seayah yang beda ibu. Tapi Amnon lebih dekat dengan Yonadab, saudara sepupunya, daripada kepada Absalom. Sebagaimana bisa kita baca bagaimana Yonadab menjadi teman curhat Amnon dan memberikan saran rencana sandiwara bagi Amnon.
Sebagai ayah, Daud tidak terlalu mengawasi Amnon, Tamar, dan Absalom. Daud terkesan memanjakan dan hanya mengikuti permintaan Amnon. Sehingga Amnon bisa bebas memainkan sandiwara berpura-pura sakit dengan tujuan menjebak dan memperkosa Tamar.
Sedangkan Absalom sebagai saudara Tamar hanya melindungi Tamar di rumahnya. Bahkan menyuruh Tamar untuk merahasiakan peristiwa perkosaannya. Atau dengan kata lain Absalom membungkam Tamar sebagai korban perkosaan.
Jika kita mencermati tempat dan waktu peristiwa pemerkosaan Tamar terjadi, kita menemukan peristiwa pemerkosaan tersebut terjadi di kamar Amnon di dalam istana. Alias di rumah mereka sendiri saat siang hari. Sehingga menunjukkan tidak ada tempat dan waktu yang benar-benar aman bagi perempuan.
Sebelum Amnon memperkosa Tamar, kita mendapati Tamar menolak dan menegur Amnon sebanyak 2 kali. Tapi Amnon tidak mau mendengarkannya dan memperkosa Tamar. Tamar juga memakai baju kurung panjang yang menyanggah asumsi tentang pakaian yang menimbulkan perkosaan. Sehingga permasalahannya adalah pikiran laki-laki yang harus dikontrol dan bukan semata selalu menyalahkan perempuan.
Mungkin menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah mengapa nama Allah atau Tuhan tidak disebutkan dalam kisah Tamar tersebut. Ada yang berpendapat bahwa Allah bisa hadir dalam peran-peran orang. Misalnya Tamar yang mengingatkan dan menasehati Amnon.
Sebagian besar dari kita mungkin berpendapat bahwa masalah antara Amnon, Tamar, dan Absalom selesai dengan terbunuhnya Amnon oleh Absalom. Serta diampuninya Absalom oleh Daud.
Ya, tidak banyak dari kita yang mempertanyakan bagaimana kondisi Tamar. Khususnya setelah Tamar diperkosa, berdiam diri di rumah Absalom, setelah Absalom membunuh Amnon, dan setelah Absalom diampuni oleh Daud.
Tamar sebagai korban perkosaan Amnon dibungkam suaranya. Setelah 2 tahun, peristiwa Tamar dijadikan alasan untuk Absalom membunuh Amnon saat terjadi perebutan tahta kerajaan. Bahkan Daud sebagai ayah mereka cuma marah dan berdiam diri tanpa tindakan tegas yang jelas.
Kisah Tamar kiranya menjadi refleksi bagi kita tentang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang marak terjadi. Menurut data Rifka Annisa, kekerasan seksual dan kekerasan lainnya lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat. Bahkan terbanyak dilakukan oleh partner-nya sendiri.
Lalu, dalam menghadapi kekerasan, apa yang sudah dilakukan oleh Gereja dan masyarakat?
Gereja seharusnya memberikan pembinaan/pendampingan pastoral (katekisasi) pra-nikah minimal 3 bulan. Dimana materi pembinaan atau pendampingannya juga mencakup tentang gender, pendidikan seksual, cara merawat anak, dan kekerasan.
Jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, Gereja seharusnya bukan hanya melakukan siasat atau disiplin gerejawi saja. Tapi juga harus melakukan pendampingan. Bahkan seharusnya Gereja juga mengadakan pendampingan pasca nikah juga.
Janganlah Gereja terlalu sibuk mengurusi liturgi dan internalnya saja. Tapi Gereja harus peduli dengan masalah-masalah sosial juga.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita pun bisa berbuat banyak dalam isu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kita perlu menyuarakan suara-suara korban yang terbungkam dan terbatas. Kita bisa mengadakan seminar atau diskusi tentang kekerasan dalam pacaran (KDP) dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kita pun bisa melakukan advokasi serta pendampingan terhadap korban dan pelaku kekerasan. Tentunya kita bisa bekerjasama dengan berbagai pihak yang concern terhadap isu tersebut, menyediakan ruang khusus konseling atau konsultasi, membuat Women Crisis Centre, serta melatih konselor dan aktivis advokasi.
Mari lakukan untuk mengenang Tamar!



* Tulisan ini merupakan ringkasan hasil Diskusi Dwimingguan “Perempuan dan Dunia” GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 9 November 2016 oleh Christian Apri Wijaya.
Diskusi bertopik “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Alkitab” tersebut difasilitasi oleh ibu Pendeta Asnath Niwa Natar yang merupakan Pendeta dari sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) sekaligus dosen Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Mengajar Pastoral dan Teologi Feminis.

Pernyataan Sikap Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) Masa Bakti 2016-2018 Terhadap Aksi Terorisme di Samarinda

Pernyataan Sikap Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) Masa Bakti 2016-2018 Terhadap Aksi Terorisme di Samarinda


Aksi terorisme yang terjadi di Gereja Oikoumene, Kota Samarinda, Kalimantan Timur merupakan provokasi yang tidak boleh dianggap sepele oleh setiap elemen bangsa. Pasalnya, aksi terorisme ini, patut diduga kuat sengaja menyasar anak-anak yang sedang bermain di luar gedung ketika orang tua mereka sedang melakukan peribadatan.

Empat orang anak menjadi korban dalam aksi terorisme provokatif ini. Empat orang anak yang menjadi korban tersebut diketahui sedang bermain menunggu selesainya peribadatan orang tua mereka.

Diduga sekitar ratusan jemaat sedang beribadah pada saat terjadinya peledakan. Kebanyakan dari jemaat yang melakukan peribadatan adalah orang tua yang memang sengaja membawa anak-anak mereka juga untuk beribadah.

Upaya deradikalisme yang digaungkan pemerintah untuk mereduksi aksi terorisme seharusnya berbuah baik. Namun dengan adanya insiden Samarinda, membuka mata kita, kelompok teroris yang menginginkan Negara yang ber-ideologi Pancasila ini runtuh, masih subur dan bebas bergerak.

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia menyatakan :

1. Menyayangkan dan mengecam tindakan pelemparan bom yang dilakukan oleh residivis teroris di Gereja Oikoumene  Kota  Samarinda, Kalimantan Timur pada hari Minggu 13 November 2016.

2. Mengutuk keras siapapun yang mendalangi aksi terorisme yang menyasar anak-anak sebagai korban, terlepas apa pun yang mendasari tindakan tersebut.

3. Aksi pelemparan bom tersebut menjadi tanggung jawab dari Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly karena Kementerian tesebut memiliki kewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada setiap napi dan residivis teroris karena dimungkinkan untuk mengulangi tindakan kejahatan serupa yang dapat menganggu kepentingan nasional.

4. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,  Komjen Pol Suhardi Alius harus bertanggung jawab penuh karena telah membiarkan anak-anak yang tak berdosa menjadi korban terorisme di Samarinda.

5. Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur,  Irjen Pol Safaruddin gagal dalam mengantisipasi aksi terorisme yang menyasar rumah ibadah yang menjadikan anak-anak sebagai korban. Setiap kepolisian daerah di seluruh Indonesia harus serius menjaga keamanan setiap warga negara.

6. Meminta dengan rendah hati setiap tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama untuk bahu-membahu dalam menjaga kebhinekaan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan menunjukkan bahwa ideologi Pancasila tidak akan kalah dengan sekelompok orang yang ingin memecah persatuan bangsa.

7. Meminta kepada seluruh Badan Pengurus Cabang dan Anggota yang tersebar di seluruh tanah air untuk melakukan konsolidasi dengan setiap organisasi yang berbasis kepemudaan dan mahasiswa agar dapat menjaga keutuhan Bangsa.

8. GMKI  meminta agar seluruh elemen masyarakat Indonesia tidak terprovokasi atas peristiwa terorisme yang memprovokasi dengan cara  menyerang rumah ibadah dan menyasar anak-anak. Kita tunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang solid, toleran, serta damai dan tidak bisa dipecah-belah oleh pihak manapun.

Akhir kata, Pengurus Pusat GMKI menyatakan secara tegas bahwa TERORISME MERUPAKAN KEJAHATAN HAM BERAT. Untuk itu diperlukan seluruh upaya dan tindakan apapun agar dapat mengantisipasi kejadian serupa dan membongkar jaringan Terorisme di Indonesia”. Ut Omnes Unum Sint. Merdeka!!!

Teriring salam dan doa, Jakarta, 13 November 2016

Pengurus Pusat Gerakan Mahassiwa Kristen Indonesia (GMKI) Masa bakti 2016-2018

Sahat Martin Philip Sinurat  
Ketua Umum
nomor kontak : 085221272791

Alan Christian Singkali
Sekretaris Umum
nomor kontak : 081354892529

Ungkapan Ketua Umum PP GMKI (Korban Bom Samarinda)

Pagi itu, sang anak dengan begitu semangat berangkat ke Sekolah Minggu. Dia akan berjumpa dengan teman-temannya, yang mungkin sudah tidak bertemu satu minggu lamanya. Baginya ke Sekolah Minggu adalah waktu untuk bermain bersama teman seumuran.

Dia mungkin tidak peduli sama sekali dengan khotbah pendeta ataupun perkataan Guru Sekolah Minggu. Dia tidak tahu-menahu dengan persoalan apapun yang sedang terjadi di lingkungannya ataupun negaranya. Umurnya masih balita. Yang dia tahu adalah tertawa, bermain, berlari dengan teman-teman seusianya.

Dia mungkin sudah melihat orang asing sedang berjalan mendekati halaman gereja. Tapi seorang anak kecil yang sedang bermain tidak terlalu peduli dengan kondisi sekitar. Bagi sang anak, orang yang mendekat itu adalah orang baik yang hendak beribadah. Tidak ada kecurigaan sama sekali. Baginya, gereja adalah tempat yang aman dan menyenangkan.

Dan kemudian, terjadilah ledakan. Badannya terbakar. Dia merasakan sakit. Tapi tetap sang anak tidak punya rasa curiga apapun. Dia mungkin tidak tahu apa itu "bom". Bagaimana bentuknya. Dia tidak tahu apapun. Tapi kemudian sang anak tetap saja menjadi korban.

Di rumah sakit, dia mengerang. Kesakitan. Memanggil orangtuanya. Mungkin dia belum bisa berdoa dengan fasih ataupun memanggil nama Tuhan.

Dia juga tidak tahu menyalahkan siapa. Yang dia tahu luka ini sangat menyakitkan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi itu pun mungkin sulit dilakukannya lagi.

Tuhan mendengar jeritan dan melihat tangis anak yang tidak berdosa ini. Sang anak dipanggil ke pelukan-Nya, agar dia tidak merasakan luka bakar yang menyakitkan itu lagi.

Selamat jalan adik kecil.
Maaf dirimu harus merasakan rasa sakit ini.
Sekarang dirimu sudah aman dan damai di pelukan Sang Pencipta.
Dan menjadi tugas kami yang masih ada di bumi ini. Bagaimana bertanggungjawab menciptakan kedamaian di tengah bangsa yang majemuk ini.

-Sahat Martin Philip Sinurat, Ketum PP GMKI Masa Bakti 2016-2018-