KORUPSI DALAM SUDUT PANDANG PSIKOLOGIS
Oleh : Mutiara
Tourasvi Gultom, S.Psi*
Defenisi Korupsi
´ “
Penyalahgunaan Jabatan, identik dengan pencurian, tidak berjalan sesuai dengan aturan yang sesungguhnya, dan penggunaan
uang negara secara sengaja untuk
kepentingan pribadi maupun
kelompok”(Nadiatus Salama,2014)
´ Huntington
(1968) Korupsi sebagai “ behavior of public officials which deviates from accepted norms in order to serve
private ends”. Korupsi merupakan perilaku
yang menyimpang dari norma-norma yang diterima
dan di anut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang dilakukan oleh para pegawai publik
´ Korupsi
merupakan tindakan yang merusak secara keseluruhan kepercayaan masyarakat kepada pelaku korupsi,
yang bahkan juga bias menghancurkan
seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Wignjosubroto, 2004)
´ Korupsi
merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik
dan terpelajar (Masduki, 2010)
´ Korupsi
sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri
serta merugikan kepentingan umum (Acham,
dalam Brunner (ed),1981)
Mazhab Psikologi
´ Dua
mazhab besar yang sangat populer dikalangan ilmu psikologi adalah psikoanalisa dan behavioris di mana kedua
mazhab atau aliran psikologi ini
memiliki cara pandang yang berbeda mengenai mengapa seseorang dapat berperilaku tertentu.
´ Menurut
pandangan ilmu psikologi setiap perilaku manusia tentunya dilandasi oleh motif atau sebab-sebab
tertentu yang melandasi mengapa seseorang
menimbulkan perilaku tersebut, baik perilaku yang sifatnya positif maupun negatif.
Menurut Pandangan Psikoanalisa
secara psikologis untuk menjelakan mengapa seseorang bisa melakukan perbuatan korupsi dapat dijelaskan dengan
pandangan psikoanalisa yang dikemukakan
oleh Sigmund Freud, aliran ini berpendapat bahwa perilaku korupsi yang dilakukan oleh seseorang berkaitan
erat dengan masa lalunya atau masa
kecilnya di mana hal inilah yang membentuk trait atau kepribadian seseorang sehingga memberikan
pengaruh dalam ia berperilaku pada saat dewasa.
5 Tahapan Perkembangan Pada Masa Kecil menurut Psikoanalisa
- Tahap
Oral, usia 0 - 3 tahun, pada tahapan perkembangan ini pusat kenikmatan seorang anak terletak pada bagian mulutnya,
sehingga tak jarang kita menyaksikan
anak- anak pada masa in isering memasukan apapun kedalam mulutnya dan
suka mengisap jempolnya, apabila tahapan
ini tidak terlewatkan dengan baik maka
akan berpotensi menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan oral atau kejahatan
berbicara ketika dewasa kelak.
- Tahapan
Anal, adalah tahapan dimana kebanyakan anak melaluinya dengan pelatihan mengunakan kamar mandi atau
toilet training, pada masa ini anak-anak
akan membentuk atau melatih rasa percaya kepada lingkungan sekitarnya, dan jika pada tahapan
perkembangan ini anak gagal melaluinya
dnegan baik maka anak akan cenderung mengalami permasalahan dengan kepercayaan.
- Tahapan
Phallis, usia 8 – 10 tahun. Pada tahapan perkembangan ini pusat kenikmatan anak terletak pada alat
kelaminya, dan hubungan kedekatan dengan
orang tua. Salah satu dampak terhambatannya atau terjadi masalah pada masa tahapan ini akan menimbulkan
permasalahan prilaku seksual.
- Tahapan
Laten, pada tahapan ini pusat kenikmatan atau kesenagan anak terletak pada teman sebaya, kebanyakan
anak pada masa ini sudah memasuki usia
sekolah sehingga pada masa ini interaksi anak dengan lingkungan mualai terbentuk lebih luas.
Permasalahan perkembangan pada masa
ini memungkinan anak memiliki penyimpanag sosial dalam berinteraksi dan berprilaku negatif terhadap respon lingkungan.
- Tahapan
genital, ini merupakan tahapan akir dari perkembangan seorang anak, pada masa ini anak memasuki usia dewasa
dan pusat kenikmatan atau kesenagan
seorang anak terletak di luar dirinya dan di luar lingkungan keluarga, bisa saja kesenagan itu berada
pada lawan jenis maupun lingkungan sekitar.
Permasalahan pada masa ini akan mempengaruhi interaksi sosial anak baik dalam hal pribadi,
serta sosialnya.
Mengapa pada masa dewasanya seseorang melakukan tindakan korupsi?
Secara psikoanalisa dapat dijelaskan, karena ia memiliki permasalahan perkembangan pada tahapan-tahapan perkembangan
psikososial yang telah dikemukan di atas,
untuk melihat tahapan mana yang lebih dominan
membentuk perilaku korupsi atau negatif pada dirinya perlu dilakukan telaah yang lebih mendalam lagi pada mereka yang
melakukan tindakan korupsi.
Menurut Pandangan Behavioris
´ Aliran
ini merupakan suatu aliran dalam ilmu psikologi yang telah melakukan banyak percobaan ilmiah mengenai terbentunya
perilaku pada seseorang. Dan menurut
pandangan behavioris yang menjadi penyebab
utama seseorang melakukan perilaku korupsi ialah disebabkan oleh lingkungan yang memberikan dorongan pada
mereka sehingga seseorang bisa melakukan
tindakan kurupsi.
´ Dalam
hal ini lingkungan lah yang berperan sangat aktif untuk memunculkan perilaku korupsi tersebut. Baik yang
sifatnya pemakluman atas tindakan
korupsi, hukuman yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi, dan juga adanya kesempatan
yang tersedia untuk melakukan tindakan
korupsi tersebut.
Pendekatan Secara Biologis
´ Pendekatan
biologis menitikberatkan pada perilaku sosial manusia berasal dari sebab-sebab biologis. "ecara umum teori ini
mengasumsikan bahwa segala perilaku
sosial manusia sangat erat berhubungan dengan penyebab- penyebab yang tidak dipelajari atau bersumber
dari genetis. Konrad Lorenz, seorang ethologist yang mempelajari
fenomena sosial hewan. Dia beranggapan bahwa perilaku agresimerupakan manifestasi dari insting (instinct),
´ Dorongan
agresif bawaan sejak lahir yang menjadi kebutuhan untuk melawan demi menjaga
diri. William McDougall (dalam Feldman, 1985:10) juga telah mendasarkan konsep genetik
dalam mempelajari perilaku sosial. Dia
meyakini bahwa banyak sekali perilaku manusia yang dapat dijelaskan oleh insting, yakni perilaku langsung
yang tujuannya tidak dipelajari terlebih
dahulu
´ Pada
tahap berikutnyapendekatan genetis menjelma menjadi pendekatan sosiobiologis dengan
tokohnya Edmund Wilson (Bucaille, 1992;57)
Sosiobiologi beranggapan bahwa melalui proses seleksi alam, perilaku
sosial terus berkembang yang membuat
spesies manusia terus bertahan hidup(survival)
´ Perilaku
adaptif, misalnya, tumbuh dan berkembang untuk kelangsungan gen-gen. Perilaku
yang dipertahankan atau dikembangkan manusia dalam evolusi adalah yang dapat meneruskan
gengen, bukan survival indi
vidual.(Sarlito W.S 2002;65 ) Misalnya, anak yang terjebak kebakaran,
maka ayah dengan sekuat tenaga akan
menolong anak
´ Berdasarakan
pendekatan biologis, memang pada dasarnya manusia merupakan mahluk yangtidak ada puasnya dengan masalah
yang menyangkut masalah kebut uhan
biologis dan itumerupakan suatu sifat yang melekat pada diri manusia atau sifat bawaan yang ada sejak lahir dengan
berbagai karakterisrik, namun manusia mempunyai pilihan untuk mene ntukan perilakunya karna perbedaan perilaku
ini yang membedakan karakteristik ses eorang
antara satudengan yang lain
Manusia Lahir dengan berbagai karakteristik yang membedakan satu
dengan yang lainnya, yaitu:
v Naluri
(Karakteristik Bawaan)
Manusia memiliki naluri untuk selalu memenuhi
kebutuhan dan tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki
v Faktor
Genetika (Karakteristik fisik yang berkembang sejak lahir)
Secara biologis, perbedaan genetika
menimbulkan perbedaan perilaku
v Pertumbuhan
Fisik sementara
Pengaruh produksi hormonal atau
perangsang otak yang dipengaruhi lingkungan dan kebutuhan biologisnya
karakteristik diatas bisa menjadi faktor utama sehingga
mereka melakukan perbuatan korupsi, perbuatan
korupsi yang mereka lakukan ini mungkin suatu
dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang tersebut sehingga melakukan perbuatan korupsi untuk memenuhi
kebutuhan biologisnya
Pendekatan Belajar
Teori belajar menjelaskan fenomena perilaku sosial melalui peran-peran atau aturan-aturansituasional dan lingkungan sebagai
penyebab tingkah laku.
3 Mekanisme dalam belajar, yaitu :
v Asosiasi,
atau yang lebih dikenal dengan classical conditioning
v Reinforcement;
orang belajar menampilkan perilaku karena disertai sesuatu yang menyenangkan, (demikian juga sebaliknya)
v Imitasi;
sering kali seseorang mempelajari sikap dan perilaku dengan mengimitasi sikap dan perilaku orang yang menjadi
model.
Pendekatan Insentif
Berdasarkan pandangan teori insentif, para koruptor
melakukan tindakan yang sepertiitu berdasarkan
pada keuntungan dan kerugian yang akan diterima setelah mereka melakukan tindakan tersebut usai. Pada
kasus ini para koruptor mempunyai beberapa
pilihan yakni mereka dapat melarikan diri atau menyerah pada KPK Jika mereka menyerah maka akan ditangkap dan dipenjarakan
(insentif negatif). Dengan melarikan diri maka merekan akan bersenang-senang dengan
hasil uang korupsi yang mereka dapat (insentif positif)
Teori Kognitif
Kurt Lewin dengan teori lapangannya beranggapan bahwa perilaku
(behavior)adalah fungsi dari keadaan diri pribadi (personality) dan
lingkungan(environment)(Sarwono,2002:81)
Secara kognitif, orang cenderung mengelompokkan obyek atas
dasar prinsip kesamaan,kedekatan, dan
pengalaman yang cenderung menginterpretasi
aspek yang tak jelas pada diri orang. Interpretasi ini merupakan implikasi
dari caranya mengamati orang lain dan
situasi sosial
Teori Kognitif menekankan pada 2 hal yaitu :
´ Memusatkan
perhatian pada interpretasi (organisasi perseptual)mengenai keadaan saat ini bukan masa lalu. (bagaimana
korupsi itu dilakukan karena
kebutuhannya sekarang untuk memperkaya dirinya tanpa melihat keadaan masa lalunya. Sehingga bisa jadi dulu
yang dia adalah orang yang baik namun
karena dalam kesempatan yang dia dapatkan dia
dapat melakukan korupsi karena posisi dia saat ini yang menguntungkan
´ Sebab-sebab
perilaku terletak pada persepsi (interpretasi) individu terhadap situasi, bukan pada realitas
situasinya sendiri. (Bagaimana seorang
yang korupsi menginterpretasikan situasi(waktu itu) merupakan hal yang penting, dari pada bagaimana sebenarnya situasi
itu. Sehingga waktu yang dipikirkan itu tidak
akan pernah dilewatkan untuk melakukan
korupsi.
“Budaya Korupsi “(Normalisasi Korupsi)
´ Korupsi
merupakan suatu tindak yang sering sekali dianggap suatu tindakan yang sudah membudaya. Pandangan seperti
ini membut korupsi menjadi tindakan yang
dianggap normal atau biasa.
´ Perilaku
korupsi merupakan perilaku individu yang terkait dengan orang lain. Dalam hal ini adalah organisasi tempat individu
tersebut melakukan korupsi. Perilaku
korupsi dapat dipandang sebagai patologi sosial, yaitu suatu tindakan individu atau sekelompok orang yang
menyimpang dari norma sosial. Korupsi
dalam masyarakat sosial dipandang sebagai suatu yang bertentangan dengan norma dan nilai-nilai sosial.
Disonansi Kognitif
´ Ketidaksesuaian
antara sikap perilaku dapat memunculkan gejala disonansi kognitif, suatu perasaan tidak nyaman ketika sikap dan perilaku
tidak sinkron atau dengan kata lain individu
tersebut mengalami konflik batin (Walgito, 1999). Seorang koruptor
ketika pertama kali melakukan tindakan
ini tentunya akan mengalami gejala ini.
´ Disonansi
kognitif merupakan suatu keadaan yang memunculkan ketidaknyamanan, kalau keadaan ini terus berlarut-larut, akan
menyebabkan gejala-gejala klinis seperti stress hingga depresi
´ Paling
tidak ada dua cara yang dilakukan individu untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh disonansi kognitif
yaitu merubah sikapnya agar sesuai dengan
perilaku atau sebaliknya merubah perilakunya agar sesuai dengan sikap
yang dimiliki.
´ Sayangnya
yang sering terjadi pada kebanyakan pelaku korupsi adalah cara yang pertama yaitu mengubah sikap agar sesuai dengan perilaku
korupsi bukan malah sebaliknya
Rasionalisasi
´ Salah
satu tindakan yang dilakukan pelaku korupsi ketika merubah sikapnya agar sesuai dengan tindakan korupsi adalah melalui
proses rasionalisasi
´ Rasionalisasi
sendiri merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri manusia ketika mengalami tekanan secara psikis
dengan cara merasionalisasi
tindakan-tindakannya agar dapat diterima dam menganggap apa yang dilakukannya adalah tindakan yang benar.
´ Dalam
konteks korupsi, rasionalisasi menolak interpretasi negatif dengan menganggap korupsi yang dilakukan dapat diterima
atau dimaklumi. Budiman, Roan, dan Callan
(2013) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk rasionalisasi yang sering ditemukan antara lain: pertama, menolak
tanggung jawab, pelaku korupsi menganggap
bahwa tindakan korupsi dilakukan karena tidak ada pilihan lain
Moral Disengagement
´ Dari
proses-proses rasionalisasi ini kemudian berkembang norma-norma yang seoalah mengabaikan norma yang berlaku di masyarakat
luas. Apabila tindakan ini terus dilakukan
individu akan mengalami apa yang disebut
Bandura (1999) sebagai moral disengagement
´ Moral
disengagement menjelaskan mengapa individu tertentu dapat melakukan tindakan-tindakan salah dan tidak manusiawi
tanpa merasa bersalah
´ Rasionalisasi
yang dilakukan berulang-ulang akan memunculkan norma tersendiri yang pada akhirnya merubah
sikapnya. Pelaku tindakan korupsi pada
titik ini tidak akan merasa bersalah atas tindakan yang dilakukan
Normalisasi/Divergent Norm
´ Pada
level organisasi atau kelompok, individu-individu yang mengalami moral disengagement saling menguatkan satu sama lain.
Dari praktek yang telah berulang-ulang dan
kecenderungan kelompok atau individu di dalamnya untuk mempertahankan keuntungan dari perilaku ini,
kemudian korupsi cenderung dipelihara.
´ Sehingga
tindakan korupsi akan dipandang sebagai suatu tindakan yang dapat diterima. Pada titik inilah terjadinya proses
normalisasi korupsi.
´ Devergent
norm yaitu proses berkembangnya norma dalam suatu kelompok yang jauh dari norma yang diterima oleh masyarakat
luas (Nieuwenboer dan Kaptein (2008)
Proses Normalisasi Korupsi
Disonansi Kognitif (konflik Batin) → Rasionalisasi (menyeimbangkan tindakan dengan sikap) → Moral Disengagement (tidak ada rasa bersalah atas tindakan yang dilakukan) → Divergent Norm (individu
dalam organisasi atau kelompok saling
menguatkan atas tindakan korupsi yang mereka
lakukan)
Sumber
Wa Ode Kasrawati;Desember 2012
M. Untung Manara Fakultas Psikologi, Universitas Merdeka
Malang
Winda Pransiska Oktapiani Isti; Taskomi.com
Nadiatus Salama; JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 41, NO. 2, DESEMBER
2014: 149 – 164
Anna Mariana; Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; 2015
*Pemateri pada Sekolah Penggerak Anti Korupsi 2018 yang
diadakan atas kerjasama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) – Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di Jakarta, 27-29 Juli 2018