Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Friday, September 5, 2014

Waspada untuk Berbuah

Pada masa kini, banyak kegiatan kerohanian yang seolah-olah penggembalaan. Tapi sebenarnya dengan modus untuk mendapat dana atau uang semata. Banyak fasilitas, orang, atau kelompok yang mengatasnamakan pelayanan. Tapi ternyata tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan kelompoknya (segelintir orang saja).


Belakangan marak kita jumpai/dengar orang-orang menganggap dirinya seorang nabi, penuntun, atau pengajar yang benar. Sehingga kemudian timbul pertanyaan yang skeptis. Bagaimana kemurnian pelayanan sekarang ini? Apakah kita dan mereka bermanfaat baik bagi orang lain?


Dalam Injil Matius 7:15-23, Tuhan Yesus mengingatkan untuk waspada terhadap nabi-nabi palsu dan ajaran-ajaran palsu. Tuhan Yesus juga memberitahukan pertanda untuk mengenali mereka.


Injil Matius adalah salah satu Injil Sinoptik. Menurut tradisi gereja, Injil Matius ditulis oleh Matius, sang pemungut cukai, yang kita ketahui sebagai salah satu murid Tuhan Yesus.


Injil Matius adalah Injil Messianik yang menunjukkan bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias yang telah dijanjikan Tuhan. Sehingga kalau kita cermati, Injil Matius didominasi oleh penggenapan nubuat-nubuat dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Dan itulah yang menjadi keunikan Injil Matius dibanding Injil Sinoptik lainnya.


Perikop Matius 7:15-23 tersebut merupakan salah satu bagian dari Khotbah Tuhan Yesus di Bukit. Khotbah di Bukit merupakan pengajaran dan pelayanan awal Tuhan Yesus.


Pelayanan awal Tuhan Yesus tersebut dilakukan-Nya setelah Ia melalui 40 hari 40 malam berpuasa di padang gurun dan pencobaan Iblis. Tuhan Yesus ditempa.


Selanjutnya, dalam mewaspadai nabi-nabi palsu dan ajaran-ajaran palsu, Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk menyimak, melihat, dan memperhatikan buah-buah yang dihasilkan. Hal ini bisa kita lihat dalam ayat 16-18.


Ada aktivitas nabi-nabi palsu yang kelihatannya baik dari luar tapi tidak menghasilkan buah yang lahir. Mengatasnamakan Tuhan tapi pelayanannya tidak berbuah baik bagi sesama/orang lain.


Dalam ayat 23, Tuhan Yesus kembali menegaskan bahwa bukan orang yang memanggil “Tuhan,Tuhan” yang diselamatkan. Tapi mereka yang melakukan kehendak Tuhan. Karena hal yang esensial dari iman kita adalah disertai dengan perbuatan/tindakan.


Kita hendaknya jangan lalai melakukan tugas pokok/inti kita. Iman kita harus mewujudnyata dalam tindakan/perbuatan kita.


Kewaspadaan hendaknya senantiasa menyertai perjalanan kehidupan kita. Karena kalau kita tidak waspada, bisa jadi kita terjebak juga menjadi seperti nabi-nabi dan pengajar-pengajar palsu.


Kita harus tetap menjaga diri kita sebagai pohon yang baik dan menghasilkan buah baik di tiga medan layan kita. Kita perlu selalu mempertanyakan: Apakah suara kita lebih penting dari tindakan kita?


Melihat kehidupan Tuhan Yesus, kita bisa melihat bagaimana Tuhan Yesus ditempa/dikader dan menempa/mengkader dirinya sendiri. Kemudian Tuhan Yesus melakukan pelayanan dan pengabdian. Hal tersebut sejalan dengan Tri Panji GMKI (Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, dan Tinggi Pengabdian).


Di tengah kehidupan, kita hendaknya mengenali diri kita serta menghayati iman dan ilmu kita. Kemudian kita bergerak dengan aset dan kemampuan kita masing-masing.


Akhirnya, marilah kita terus waspada dan berbuah! 








---------------------------------------------------------------------------------------- 
Tulisan ini merupakan hasil diskusi dalam Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 4 September 2014. Di Student Centre (SC) GMKI Cabang Yogyakarta, Samirono Baru 54, Yogyakarta.
Robert Umbu Rangu (Ketua Bidang Organisasi, BPC GMKI Yogyakarta Masa Bakti 2014-2016) sebagai pelayan Firman Tuhan.

Sunday, June 1, 2014

Kepemimpinan Berintegritas

    Di era teknologi modern saat ini, jejaring sosial dan gadget  menjadi sesuatu yang tidak asing bagi kita. Hampir semua orang pun memilikinya sekarang.


    Itu semua adalah pengaruh-pengaruh yang dibawa dari orang asing atau luar negeri. Mereka menanamkan atau berinvestasi. Namun bagaimana sikap kita? Apakah kita sudah bertanggungjawab dalam memanfaatkannya?


    Dalam  1 Korintus 6:12-20, perikop Firman Tuhan tersebut berkaitan dengan Kepemimpinan yang Berintegritas. Tak selamanya apa yang dilihat oleh manusia adalah yang akan Tuhan pakai dan pilih. Tapi Tuhan melihat ketulusan hati.


    Ada beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan oleh seorang pemimpin yang berintegritas:
1.  Apakah sesuatu berguna bagi kehidupan kita?
     Setiap orang diciptakan sebagai pemimpin. Namun dalam perjalanannya, tidak sedikit orang yang kurang/tidak berhasil menjadi pemimpin. Karena terlena dengan hal-hal yang tidak berguna/bermanfaat dan tidak membantunya untuk bertumbuh.


2.  Apakah kita diperhamba oleh sesuatu (olehnya)?
     Sebagai manusia, kita semua memiliki suatu pemikiran “atuiti”. Yakni pemikiran yang berusaha menirukan sesuatu yang kita lihat. Termasuk dalam memanfaatkan teknologi.
     Perkembangan gadget  yang makin maju seringkali memicu kemerosotan moral. Sehingga perlu kita tekankan: Apakah kita diperhamba oleh teknologi dan apapun itu?


3.  Apakah menjadi batu sandungan bagi orang lain?
     Melalui 1 Korintus 8:12-13, kita diingatkan bahwa kalau kita merusak keyakinan (menjadi batu sandungan) orang lain, maka kita berdosa kepada Kristus. Sementara itu, Daging bermakna kecukupan akan kebutuhan makanan.
     Kita sering berusaha mencukupkan kebutuhan dan keinginan diri kita sendiri. Tapi seolah tidak memikirkan orang lain. Hendaknya kita mempertanyakan: Apakah upaya kita melukai orang lain?
     Kita harus mengingat bahwa tidak ada orang yang bisa hidup sendirian. Dan apa yang kita lakukan akan ditiru orang lain juga. Sehingga kita harus berpikir panjang dan luas.


4.  Apakah sesuatu/ini memuliakan Allah?
     Melalui 1 Korintus 10:31, kita diingatkan untuk melakukan apapun untuk memuliakan Allah. GMKI pun berusaha untuk terus menghidupi tujuan utama tersebut.
     Melalui 1 Yohanes 1:9, kita pun diingatkan tentang prestasi lahiriah. Seorang pemimpin harus hidup kudus di depan orang lain secara nyata. Tidak perlu omong besar dan berkoar-koar.
     Cukup dengan apa yang kita lakukan. Apakah bisa menjadi contoh? Dan yang terpenting adalah kerendahan hati. Seperti Daniel yang tetap rendah hati meskipun ia mendapat jabatan yang tinggi.
     Menyimak Yesaya 42:8, kita mendapati orang-orang di Perjanjian Lama nyata-nyata diberkati dengan bisa bertemu langsung dan berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Tapi mereka sombong dan dihukum Tuhan.
     Tuhan membenci kecongkakan. Dan kita sebagai orang yang sudah ditebus Tuhan, apa yang sudah dan akan kita lakukan? Apalagi sebagai pemimpin?
     Sebagai anak-anak Tuhan yang sudah ditebus-Nya, kita sebaiknya dan seharusnya tidak menjadi congkak. Dan berusaha mewujudkan kemanfaatan bagi orang lain.
     Untuk memimpin, kita terlebih dahulu harus bisa memimpin diri sendiri. Memang tantangan dan ujiannya berat. Pengaruh negatif bisa muncul dari diri sendiri dan orang lain.
     Misalnya: aura jahat, suasana hati yang tidak tentram, kemalasan, kebiasaan menunda, prioritas yang salah, dan lain-lain.


5.  Seorang pemimpin harus cepat mengambil keputusan
     Ada tiga tahap/tipe seseorang dalam berpikir dan mengambil keputusan. Yakni:
a.  Analytical: berdasar/menggunakan analisis
b.  Intituitive: berdasar/menggunakan intuisi yang dibangun dari pengalaman
c.  Blank Spot: saat seseorang menghadapi situasi tanpa pengalaman dan pengetahuan

    Selanjutnya, dalam mengambil keputusan secara rasional, minimal harus ada dua dari tiga nilai (value) berikut yang perlu kita pikirkan:
a.  Biaya
b.  Waktu
c.  Kualitas

    Kita perlu memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini dalam mengambil keputusan dan bertingkah laku:
-Apakah yang kita lakukan diperkenan Allah, dibolehkan Allah, dibiarkan Allah, diberkati Allah, atau malah dikutuk Allah?
-Apakah membuat nama Tuhan dipermuliakan?
-Apakah membuat manusia menjadi makin manusiawi?
-Apakah membuat alam/lingkungan lestari?


     Akhirnya, mari kita menjadi pribadi yang memiliki spiritualitas, integritas, dan profesionalitas!
     Mari kita menjadi pemimpin yang memiliki spiritualitas, integritas, dan profesionalitas!
     Ut Omnes Unum Sint!





-----------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Yogyakarta 29 Mei 2014.
PA tersebut dilakukan di Student Centre GMKI Yogyakarta, Samirono Baru 54, Yogyakarta.
Edy Kristanto (anggota GMKI Yogyakarta dari kampus STAK Marturia) sebagai pelayan Firman Tuhan.

Thursday, May 29, 2014

Kekuasaan....?

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini bukanlah negara agama. Sekalipun agama mendapat tempat yang sangat penting di dalam hidup bernegara dan berbangsa sebagaimana terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945. Meskipun Pancasila sudah final sebagai ideologi berbangsa dan bernegara di bumi persada Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun akhir-akhir ini banyak persoalan yang sedang dihadapi di seputar hubungan agama dan pemeluknya dengan pemerintah. Tanpa bisa dipungkiri bahwa banyak intervensi pemerintah dari waktu ke waktu di tengah perjalanan kehidupan beragama di negeri ini dengan berbagai alasan.


Jika menoleh sejenak ke belakang, dalam sejarah kekristenan, hubungan antara umat percaya (baca: Gereja) dengan Negara (baca: pemerintah), seringkali diwarnai dengan ketegangan-ketegangan, kontroversi dan pasang surut. Suatu saat Negara (pemerintah) menguasai orang percaya (gereja) seperti zaman Konstatinus Agung. Namun sebaliknya ada saatnya dimana Gereja mendominasi Negara. Ini terjadi misalnya di abad pertengahan ketika kekuasaan Paus begitu hebat sampai-sampai para raja yang hendak berkuasa harus mendapat restu dari dirinya. Dalam masa itu posisi Negara (pemerintah) menjadi sub-ordinat dari gereja. Kalau demikian persoalannya, maka pertanyaan yang mencuat kepermukaan adalah bagaimana seharusnya sikap ideal yang mestinya diambil oleh orang percaya (gereja) vis a vis (berhadap-hadapan) dengan Negara (pemerintah)?


Perikop Roma 13:1-7 merupakan bagian Alkitab yang secara tegas berbicara tentang bagaimana sebenarnya sikap ideal orang percaya (gereja) terhadap  pemerintah. Tapi perikop tersebut sering dijadikan sebagai dogma bersikap terhadap pemerintah.


Di zaman penulisan surat Roma, ada kelompok Yahudi yang menekan masyarakat untuk memberontak kepada pemerintah. Sehingga menimbulkan huru-hara dan menyebabkan Bait Allah diluluhlantakkan. Serta raja Claudius mengeluarkan Maklumat untuk mengusir orang-orang Yahudi.


Roma 13 tidak bisa dilepaskan dari konteks pengusiran. Roma 13 mengingatkan orang-orang Yahudi untuk tidak mengulangi kesalahan orang Yahudi sebelumnya. Menenangkan orang Yahudi dan Kristen untuk tidak gegabah melakukan kesalahan.


Rasul Paulus dalam nats perikop ini memberikan pengajaran yang tegas dengan sebuah pernyataan: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya …” (ay 1). Ada 3 (tiga) penekanan yang perlu diperhatikan dari pernyataan ini: Pertama, bahwa Allah adalah mutlak pemegang pemerintahan atas bangsa-bangsa. Dialah yang menempatkan para pemegang pemerintahan dan di belakang segala pemerintahan di dunia yang ada adalah kedaulatanNya. Kedua: bahwa setiap orang Kristen harus mengakui negara, menaati kekuasaan yang sah selama ketaatan ini tidak bertentangan dengan hukum Allah atau kuasa Kristus, dan mendoakan orang-orang yang memegang jabatan yang bertanggungjawab (bnd. 1 Timotius 2: 1-7).Ketiga: bahwa orang Kristen harus menaati pemerintah adalah karena suara hatinya. Maksudnya bahwa jika orang percaya melakukan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah dimana kekuasaannya datang dari Allah maka suara hatinya akan menuduh dirinya sendiri tentang apa yang baik yang sesuai dengan kehendak TUHAN.


Pemerintah dimana orang Kristen (gereja) harus takluk atau taat adalah 1) Pemerintah yang menghargai kebaikan, 2) Menghukum orang yang melakukan kejahatan, 3) Pemerintah yang mensejahterakan dan mendatangkan keamanan bagi rakyatnya. Oleh sebab itu pemerintahan yang demikian harus ditaati, sebab ia menjadi kepanjangan tangan dari Allah yang adalah Allah yang tertib dan teratur. Allah jelas tidak bisa menoleransi sebuah anarki (keadaan tanpa hukum dan peraturan). Tujuan Allah adalah agar kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan kehidupan yang penuh keharmonisan, kedamaian dan ketertiban (Lihat Roma 12:10,18).

Paulus menekankan hal tersebut pada ayat-ayat berikut:
“Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu.” (Roma 13:4)
“Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita.” (Roma 13:5)
“Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.” (Roma 13:7).


Bila yang terjadi adalah bahwa pemerintah yang ada di atas orang percaya ternyata menyalahgunakan kekuasaan yang dipegangnya, dan malah membuat orang Kristen harus bergumul dengan ketaatan imannya kepada Allah. Atau dengan kata lain, pemerintah yang dipercaya Allah ternyata “merusak” dan mengabaikan hukum Allah, dan malah membuat orang Kristen harus bergumul dengan imannya kepada Allah, maka pemerintah yang demikian tidak harus dipatuhi. Pemerintah yang demikian mesti ditentang!


Kesetiaan dan ketaatan kita terhadap pemerintah berhenti ketika pemerintah itu mulai bertindak tidak sesuai dengan hukum Allah. Ketaatan kepada Allah dan hukumnya harus lebih utama daripada ketaatan kepada pemerintah. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa ketaatan orang percaya (gereja) kepada pemerintah adalah ketika pemerintah yang memakai kuasa yang diberikan Allah untuk melayani masyarakat demi kedamaian, ketentrama, dan kesejahteraan masyarakat.


Paulus tidak menekankan kepatuhan/ketundukan yang sepenuhnya pada pemerintah. Paulus mencoba menyadarkan pembaca Roma untuk kritis terhadap pemerintah dan penguasa. Tapi tetap harus berhati-hati dan waspada. Ingat masa lalumu.


Kita bisa memakai perikop ayat tersebut untuk menyadarkan masyarakat untuk tidak gagap politik. Termasuk orang Kristiani  dan gereja.


Politik tidak sepenuhnya salah dan kotor. Politik itu penting. Kalau kita tidak tahu dan paham politik, kita akan menjadi bahan permainan politik orang lain.


Orang Kristiani dan Gereja seharusnya jangan terlalu apatis dengan lingkungan dan fenomena yang ada. Bukan cuma ramai dengan kerohanian. Tapi selayaknya Gereja di Amerika Latin yang bahkan bisa menjadi gerakan sosial.


T.B Simatupang adalah seorang tokoh yang pertama kali mengatakan bahwa partisipasi Kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya sekaligus positif yang artinya selalu berusaha memberikan sumbangsih yang baik bagi pemerintah dan warga lainnya, konstruktif yakni orang Kristen harus ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsanya, dan sekaligus kritis yang artinya orang Kristen juga tidak boleh takut-takut untuk memberikan masukan dan koreksi kepada pemerintah demi kebaikan rakyat dan diberlakukannya hukum Tuhan.


Sebagai orang Kristen, kita hendaknya bisa menjadi cermin garam dan terang bagi orang lain. Kita menjadi cerminan dari Allah.


Kita perlu mengingat bahwa di dalam kasih, harus ada ketegasan juga. Teguran, kritik, dan nasehat perlu kita biasakan dalam mengasihi negara/pemerintah. Kita pun bisa berperan aktif dalam/melalui lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.



------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi dalam ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Yogyakarta 22 Mei 2014.
Di Student Centre GMKI Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54, Yogyakarta.
Bang Hobert (mahasiswa S-2 Teologi UKDW) sebagai pelayan Firman Tuhan.

Thursday, May 22, 2014

Sudah Bangkit dan Merdeka?


Kebangkitan Nasional Indonesia ditandai dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 yang disertai berdirinya perkumpulan/organisasi pemuda lainnya. Perkumpulan atau organisasi tersebut mengangkat persoalan-persoalan bangsa. Pemuda sebagai tokoh sentral gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Sampai  goal-nya pada kemerdekaan Indonesia.
Setelah satu abad lebih (106 tahun) Kebangkitan Nasional Indonesia berlalu, wacana-wacana kebangsaan yang lama masih terus diangkat sampai sekarang. Misalnya kemiskinan, kebodohan, penindasan, kekerasan, dan lain-lain.
Hari Kebangkitan Bangsa/Nasional Indonesia sudahkah dimaknai dengan Kebangkitan dari persoalan bangsa/nasional sekarang?  Bagaimana dengan nilai-nilai Pancasila saat ini?
Kebangkitan Nasional Indonesia hampir dilupakan. Terutama di tahun politik saat ini. Sehingga perlu ada usaha untuk membangun kesadaran masyarakat tentang kebangkitan nasional Indonesia.
Mulai 21 Mei 1998, kita masuk era Reformasi. Reformasi bisa diartikan sebagai proses pembaruan. Apa kabarnya Reformasi kita hari ini?
Merefleksi Kebangkitan Nasional Indonesia saat ini, agenda reformasi seperti stagnan. Pasca Reformasi 1998, seharusnya perlu ada cetak biru (blue print) tentang Indonesia yang dicita-citakan. Reformasi seharusnya bukan cuma struktural saja. Tapi menyangkut ideologi dan sistem.
Pemiskinan dan pembodohan masih relevan menjadi isu sentral saat ini. Pemiskinan dan pembodohan juga bisa kita jadikan musuh bersama saat ini.
Sejarah Gereja menunjukkan isu yang menjadi sorotan adalah pendidikan dan kesehatan. Visi mewujudkan shallom Allah menjadi visi yang menjiwai. Ironisnya, Gereja saat ini terkesan lebih sibuk dengan program-program internal dan kerohanian. Kurang mendalami permasalahan bangsa.
Kembali ke Pancasila, nilai-nilai Pancasila perlu kembali digelorakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan hanya pemanis regulasi.
Membangun integritas menjadi kebutuhan krusial di tengah permasalahan etika moral bangsa saat ini. Orang yang getol menyuarakan etika moral politik. Ternyata malah melanggarnya. Yang salah orangnya atau sistemnya?
Ekonomi Indonesia saat ini dibatasi dengan sistem yang kurang/tidak menimbulkan interaksi antar personal. Pasar modern memudarkan dan menghilangkan interaksi antar personal. Termasuk mempengaruhi budaya masyarakat.
Tiap orang saat ini menjadi hedonis dan individualis. Budaya dan ekonomi liberal merasuk juga dalam dunia pendidikan dan kesehatan. Ekonomi lokal Indonesia seolah kalah dengan ekonomi asing. Dan memunculkan pertanyaan: Sudah siapkah Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi perdagangan bebas?
Indonesia saat ini belum sepenuhnya merdeka. Paradigma hukum perlu kita luruskan. Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Kesenjangan sosial dan budaya kolonial saat ini juga masih terasa mempengaruhi sistem dan struktur sosial Indonesia. Untuk itu, Indonesia membutuhkan persatuan dan kesatuan memecahkan permasalahan bangsa yang kompleks.
Aksi untuk memecahkan masalah bukan hanya turun ke jalan. Aksi intelektual dan aksi nyata bisa juga kita kembangkan. Mengkritik dengan tulisan, menginisiasi pendidikan alternaltif, dan lain-lain.
Orang-orang besar lahir dari tindakan dan karya yang nyata. Dimana tindakan dan karya tersebut dilandasi pengetahuan/referensi yang kuat. Membaca, berdiskusi, menulis, dan bersosialisasi menjadi aktivitas penting. Karena mahasiswa yang sejati adalah mahasiswa yang kritis, terasah kepekaan sosialnya, mengaplikasikan ilmunya, dan mampu berinteraksi/bersosial.
Dari pelaksanaan peraturan-peraturan yang ada, kita bisa cari celah untuk mengkritisi dan melakukan aksi nyata. Bidang pekerjaan apapun bisa kita manfaatkan untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada kebaikan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan.
Potensi yang ada perlu diberdayakan dan dimaksimalkan meskipun menjadi minoritas kreatif. Isu budaya populer bisa kita manfaatkan untuk membangun kesadaran dan rasa kebangsaan.
Kearifan lokal sangat perlu diangkat dalam permasalahan bangsa saat ini. Karena sebenarnya inti dari permasalahan bangsa Indonesia saat ini adalah kehilangan integritas.
Sebagai negara dunia ketiga, kita perlu memantapkan lagi identitas diri. Tapi sekarang ini ada semacam standarisasi pendidikan tanpa pemenuhan fasilitas yang memadai.
Kita dipaksa untuk bisa dan hebat oleh negara. Padahal fasilitas sistem tidak mendukung. Motivator pun menjadi makin marak belakangan ini untuk “menyemangati” orang-orang yang kebingungan.
Dalam GMKI, kekristenan yang oikumene harus juga dilandasi dengan nasionalisme. Fungsi kritik dan kontrol perlu dilakukan setiap saat. Sehingga menjadi garam dan terang dalam konteks ke-Indonesia-an.
GMKI, sebagai gereja incognito, perlu lebih lagi menjiwai kesatuan tubuh Kristus. Konflik internal dan eksternal yang ada perlu disikapi serta dipecahkan dengan bijak. Sehingga tidak menimbulkan perpecahan dan menghambat peran kita untuk mewujudkan shallom Allah.
Jangan kita hanya berdiskusi dan berkoar-koar tentang idealisme. Tapi kita juga perlu berdiskusi dan berupaya untuk mempertahankan idealisme di dunia nyata. Karena seringkali idealisme bisa hilang karena kebutuhan yang harus dipenuhi dan kenyamanan hidup (jabatan dan kedudukan).
Akhirnya, mari kita mencapai tujuan untuk menjadi orang yang memiliki spritualitas, integritas, dan profesionalitas!







Hasil diskusi tematis GMKI Cabang Yogyakarta 21 Mei 2014 bertema “Kebangkitan Nasional dan Refleksi Reformasi Indonesia”. Diskusi dipantik oleh Gloriansi Umbu Heingu Deta (Ketua Cabang BPC GMKI Yogyakarta 2011-2013) dan dimoderatori oleh Herman Ngkaia (Sekfung Akspel, BPC GMKI Yogyakarta 2014-2016).