Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Friday, December 20, 2013

Perempuan Revolusioner: Belajar dari Hagar, Wasti, dan Sejarah Hari Ibu

Tanggal 22 Desember sering kita peringati sebagai Hari Ibu. Lalu mengapa itu penting dipahami oleh kita?

Sebelum kita membahas tentang Hari Ibu, kita terlebih dahulu akan memahami serta mendalami beberapa tokoh perempuan yang sering terabaikan oleh kita. Hal ini kita lakukan dengan mencoba metode “membaca ulang Alkitab” (re-read the Bible) dengan perspektif baru.

Tokoh perempuan pertama dalam Alkitab yang kita bahas adalah Hagar. Mungkin sebagian kita tahu siapa itu Hagar, tapi kebanyakan dari kita jarang mendalami kisahnya. Karena kita lebih sering mendengar dan mungkin lebih menyukai kisah tentang Abram (Abraham) dan Sarai (Sara).

Perjalanan kisah Hagar dimulai dari kisah perjumpaan Abram dengan Allah (Kejadian 15). Allah berjanji akan memberkati Abram. Termasuk akan memberikan keturunan yang banyak bagi Abram.

Selanjutnya dalam kitab Kejadian 16:1-6, Abram coba digoyahkan keyakinannya akan janji Allah. Abram didesak Sarai untuk menghampiri Hagar, hamba mereka. Sehingga Hagar mengandung dan memandang rendah nyonya-nya.

Sarai yang merasa terhina dengan perlakuan Hagar kemudian menindas Hagar. Padahal Sarai lah yang menyuruh Abram menghampiri Hagar. Hingga Hagar ingin lari jauh dari penindasan tersebut. Tetapi Malaikat Tuhan menjumpainya dan menyuruhnya kembali ke Sarai

Melihat perikop ayat tersebut, Hagar seperti tidak menghargai tuan/nyonya mereka. Tapi kita harus baca ulang perikop tersebut dengan perspektif lain.

Hagar adalah seorang perempuan Mesir, berbeda dengan Abram dan Sarai, dan menjadi hamba/budak. Ada perbedaan yang cukup banyak dengan Abram, Sara, dan masyarakat di sekitar mereka. Hagar bisa dikatakan masuk dalam golongan kelas paling rendah dalam kelas sosial Yahudi/Israel.

Dalam perikop ayat Kejadian 16:1-6 tersebut, kita bisa lihat bahwa Hagar punya keinginan untuk menyamakan diri seperti nyonya-nya. Ia ingin menaikkan kelas sosialnya dan memperjuangkan kesetaraan. Inilah yang dianggap sebagai kesalahan.

Menghadapi penindasan Sarai, Hagar sempat ingin lari jauh (Kejadian 16:7-16). Tapi (Malaikat) TUHAN menghampirinya dan menyuruhnya kembali ke Sarai. Kembalinya ke kediaman Sarai ada kemungkinan dia akan ditindas kembali, tidak ada keluarga dekat yang bisa mendukungnya secara moral karena Hagar berasal dari Mesir. Namun Hagar memilih untuk tetap kembali. Di situ kita lihat ketaatan Hagar kepada perintah Tuhan Allah.

Ketaatan Hagar terhadap Allah juga dapat kita lihat dalam kisahnya di Kejadian 21:8-21. Allah memperingatkan Abraham untuk tidak sebal terhadap Hagar dan Ismael (anak Hagar) karena desakan Sara. Tapi ternyata Abraham tidak taat dengan mengusir pergi Hagar dan Ismael.

Di tengah pergumulan di padang gurun Bersyeba, Hagar taat pada perintah Allah dan bertahan hidup bersama Ismael.

Kekuatan Hagar untuk taat dan bertahan adalah ketika ia bertemu/berjumpa dengan Tuhan Allah. Ia mampu melewati kesusahan hidup dan penindasan dengan kekuatan yang dari Allah.

Memahami kisah hidup Hagar, kita mungkin bisa mengatakan bahwa Hagar adalah seorang feminis pertama di dalam Alkitab. Ia memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan dari penindasan terhadap perempuan. Serta tanpa menghilangkan ketaatannya kepada Tuhan Allah, Sang El Roi.

Selanjutnya kita akan mencoba memahami tokoh perempuan kedua dalam Alkitab. Namanya adalah Ratu Wasti. Dia adalah Ratu sebelum Ester. Dan sering terabaikan kisahnya yang pendek oleh kita. Karena mungkin sebagian besar dari kita lebih menyukai kisah Ester yang membebaskan bangsanya dari rencana pembunuhan ras besar-besaran (genosida).

Dalam kitab Ester 1, kita melihat Ratu Wasti yang dibuang. Karena ia dianggap tidak menghormati panggilan dari sang raja. Serta tindakannya tersebut bisa mengundang isteri-isteri lain untuk tidak tunduk pada suaminya.

Tapi kisah Ratu Wasti bisa kita baca ulang dalam perspektif/cara pandang lain. Ratu Wasti menolak untuk menampilkan kemolekan/kecantikan rupanya di depan rakyat dan pembesar-pembesar kerajaan. Ia berusaha melawan raja dan sistem yang mengatur serta mengekang perempuan dengan kebiasan-kebiasaan.

Ratu Wasti melawan bahwa dia dan perempuan bukan hanya barang tontonan yang dipamerkan. Ia melawan sistem yang meng-eksploitasi perempuan. Ia juga melawan ketakutan pembesar-pembesar kerajaan terhadap hancurnya sistem patriarki. Tapi ia juga berani menerima konsekuensi untuk dibuang dari kerajaan yang “nyaman”.

Perjuangan Hagar dan Ratu Wasti tersebut bisa kita refleksikan lewat tokoh Katniss Everdeen. Terutama kisah Katniss Everdeen untuk melawan Capitol (sistem super yang menindas dan mengekang) dalam film Catching Fire. Seorang perempuan yang berani.

Setelah kita merefleksikan dua orang tokoh perempuan dalam Alkitab, kita kembali pada bahasan tentang Hari Ibu. Seringkali Hari Ibu diidentikkan dengan hari untuk kita memanjakan ibu. Sehingga terkesan hari yang lain adalah Hari Bapak/Ayah dan kurang/tidak menghargai ibu kita di hari lain.

Sebenarnya sejarah Hari Ibu bukan seperti itu. Ya, ketika ada satu hari ditetapkan untuk diperingati, pasti ada sejarah penting di baliknya. Inilah yang sering kita lupakan dan menjadi salah kaprah.

Hari Ibu sebenarnya diawali dari Kongres Perempuan Indonesia Pertama tahun 1928 di Yogyakarta. Tapi penetapan peringatan 22 Desember sebagai Hari Ibu baru pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1938. Dan Sukarno menetapkannya secara nasional pada tahun 1969.

Semangat yang dibangun dari peringatan Hari Ibu tersebut adalah agar kita mengingat perjuangan perempuan untuk kesetaraan pendidikan dan posisinya dalam perkawinan/pernikahan. Atau dengan kata lain, Hari Ibu seperti Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia.

Akhirnya, mari kita membaca ulang Alkitab dan sejarah kita dengan cara pandang lain! Hidup perempuan yang berani dan melawan!







----------------------------------------------------------------------------------------- 
Tulisan ini merupakan hasil diskusi dalam Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Yogyakarta tanggal 19 Desember 2013. Bertempat di Student Centre GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54, Yogyakarta. Dan Firman Tuhan dibawakan oleh Nova Yulanda Putri Sipahutar, S.AP (Korwil V, PP GMKI MB 2012-2014). 

Sunday, October 13, 2013

Hidup untuk Memperkembangkan Kehidupan

Sekitar 2500 tahun yang lalu, seorang bijak bernama Socrates mengatakan, “Hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani”. Bagi Socrates, kalau orang tidak pernah merenungkan makna keberadaan hidupnya, tidak tahu tujuan hidupnya, dan tidak memahami apa yang mesti dilakukan dengan hidupnya, maka orang itu tidak pantas hidup. Karena orang seperti itu hanya asal hidup, asal bertahan, asal mengada, asal bisa aman, dan dapat makan. Orang semacam itu sama seperti makhluk yang lain.

Sejak itu, orang-orang Yunani terus bertanya, “Bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia? Bagaimana manusia harus hidup agar hidupnya baik atau bermakna?”. Hidup yang baik dan berhasil bagi orang-orang Yunani bukanlah sekedar mempertahankan hidup (survival), melainkan adalah hidup yang bermutu, bernilai, bermakna, dan mencapai kualitas maksimum yang dapat direalisasikan.

Lebih lanjut, orang-orang Yunani juga mengaitkan hidup yang bermakna dengan kebahagiaan. Lalu mereka bertanya, “Bagaimana mencapai kebahagiaan?”. Aristoteles memperlihatkan bahwa umumnya dikenal tiga pola hidup yang dapat membuat manusia bahagia. Pertama, mencari kenikmatan (hedonisme). Kedua, mencari kehormatan (harga diri, nama besar, dan kemuliaan diri). Ketiga, merenungkan hal-hal Ilahi dan aktualisasi diri.

Aristoteles menolak cara hidup hedonis sebagai sumber kebahagiaan. Karena itu bukan khas manusiawi. Hewan pun mencari nikmat.

Ia juga menolak kehormatan sebagai sumber kebahagiaan. Karena orang umumnya dihormati dengan adanya jabatan atau kekayaan. Lalu setelah hilang jabatan dan kekayaan, ia tidak dihormati lagi.

Menurut Aristoteles, semestinya orang dihormati karena ia adalah manusia yang bijaksana. Manusia hanya dapat mencapai hidup yang baik dan bahagia, apabila ia merenungkan hal-hal Ilahi dan mengaktualisasikan potensinya bagi orang lain. Artinya kita mesti membuat hidup kita berguna bagi sesama, bukan semata-mata mengejar kepentingan diri.

Perumpamaan yang dikatakan Yesus tentang talenta (Matius 25 : 14-30) hendak mengajak manusia untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara aktif sebagaimana dimaksud Aristoteles juga. Dalam perikop Firman Tuhan tersebut, dikisahkan tentang tiga orang yang mendapat jumlah talenta yang berbeda-beda, tetapi sesungguhnya hanya ada dua tipe manusia di situ. Tipe manusia pertama adalah orang yang mendapat lima talenta dan dua talenta. Keduanya adalah manusia aktif, mau bekerja, mau mengaktualisasikan potensi yang diberikan, mau menciptakan sesuatu, mau merealisasikan diri.

Menariknya bahwa walaupun kedua-duanya menghasilkan laba yang berbeda-beda, namun sang tuan tidak mempersoalkan besar-kecil laba yang dihasilkan. Kepada yang mendapat lima maupun dua talenta, sang tuan memberi pujian dan penghargaan yang sama. Sang tuan itupun berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”

Kedua hamba itu mendapat penghargaan yang sama, bukan karena kuantitas (jumlah) hasil yang diperoleh, melainkan karena usaha dan kemauan mereka untuk secara aktif mengembangkan potensi yang diberikan. Itulah sebabnya sang tuan menghargai mereka dan memperkenankan mereka turut menikmati kebahagiaan.

Berbeda dengan kedua orang itu, tipe manusia yang kedua adalah manusia yang malas, pasif, dan menguburkan potensinya. Ia digambarkan sebagai hamba yang setelah menerima talentanya, lalu pergi, menggali lobang, dan menyembunyikannya (ayat 18). Hamba ini dituduh sebagai jahat dan malas, maka talenta yang diberikan kepadanya ditarik kembali oleh tuan.

Jenis manusia yang pasif semacam ini tidak layak ada dan hidup. Karena keberadaannya tidak berguna sama sekali. Dengan tegas sang tuan berkata: “Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya” (ay 29). Artinya hanya manusia yang memiliki kemauan untuk secara aktif mengembangkan diri-lah yang layak diberi kesempatan.

Sementara manusia yang tidak memiliki kemauan, hanya mau pasif, mau malas-malasan, dan tidak peduli; ia tidak layak diberi kesempatan untuk mengerjakan sesuatu lagi. Ia akan kehilangan segalanya, termasuk kebahagiaan.

Tema  Hidup  untuk  Memperkembangkan Kehidupan  adalah sebuah seruan agar kita mau secara aktif mengaktualisasikan diri bagi Tuhan dan bagi orang lain (sesama). Kita tidak bisa hanya berdiam diri, pasif, tidur, malas- malasan, cuek, acuh tak acuh, ataupun hanya pikir diri sendiri. Kalau ini yang kita lakukan, maka sesungguhnya kita sudah mengubur diri kita, dan hidup kita sudah tidak bermakna lagi.

Mengembangkan kehidupan berarti secara aktif menyadari potensi-potensi diri dan mau mewujudkannya agar bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Itu berarti mau mengaktualisasikan diri.

Mengaktualisasikan diri berarti tidak berdiam diri, pasif, malas- malasan, dan egoistik; melainkan secara aktif bekerja, menciptakan sesuatu, menghasilkan sesuatu dari diri kita, serta memberikannya bagi sesama. Hanya orang yang secara aktif mengaktualisasikan dirilah yang berbahagia. Karena melalui karyanya, ia bisa melihat siapa dirinya.

Apapun potensi diri kita, kecerdasan kita, bakat kita, sedikit atau banyak, harus kita wujudkan dalam hidup ini.

Sebagai pengikut Yesus, ada pekerjaan yang melekat dalam kita. Yakni tugas menghadirkan kerajaan Allah: shalom, kebaikan, damai sejahtera, kebenaran, dan keadilan. Itu berarti marilah kita senantiasa mengembangkan diri, memajukan potensi kita, menjadi manusia yang berkualitas, agar berguna secara maksimal bagi sesama. Kalau kehadiran kita mampu membuat orang lain menjadi lebih baik, maka di situ kita sudah menghadirkan kerajaan Allah. Dengan begitu hidup kita sudah dikembangkan, sudah mekar, sudah harum, dan sejuk bagi sesama.

Demikian juga hidup kita akan menjadi bermakna, sebagaimana dimaksudkan Socrates. Mau tidak mau, itu adalah bagian dari tugas memperkembangkan kehidupan yang mesti kita lakukan sebagai pengikut Yesus di tengah-tengah dunia ini, sehingga melalui hidup kita, Tuhan Yesus kita dimuliakan.

Kadang-kadang kita tidak tahu talenta/potensi dalam diri kita sepenuhnya. Setiap kita sebenarnya punya potensi yang banyak. Cara mengetahui talenta/potensi adalah dengan bertanya/berdialog dengan orang lain.

Seiring usaha kita untuk mencoba belajar, talenta kita bisa bertambah dan berkembang. Semakin maksimal talenta kita, talenta kita akan makin bermanfaat bagi orang lain. Dan semakin besar tanggung jawab kita. 

Hendaknya kita belajar dan mengembangkan banyak potensi sampai kita bisa memaksimalkan potensi kita.

Aktualisasi diri mungkin agak berat. Butuh usaha. Abraham Maslow (psikolog kepribadian) pernah berpendapat bahwa ada 5 hierarki kebutuhan manusia. Yakni: Kebutuhan Fisiologis, Kebutuhan Keamanan, Kebutuhan Sosial, Kebutuhan Penghargaan, dan Kebutuhan Aktualisasi Diri.

Itu berarti aktualisasi diri merupakan capaian tertinggi manusia. Untuk mencapainya, ada juga fase-fase yang harus dilewati dan dijalani. Sehingga perlu kesinambungan dan konsistensi.

Sudahkah hidup kita dipertanggungjawabkan?  Sudahkah hidup kita memperkembangkan kehidupan?







------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta pada tanggal 10 Oktober 2013. Bertempat di Student Centre GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54, Yogyakarta. Bahan renungan diambil dari buku Spiritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013. Disampaikan oleh Johanis Umbu S. Anakaka (Ketua Bidang Pendidikan Kader dan Kerohanian, Badan Pengurus Cabang GMKI Cabang Yogyakarta 2011-2013).

Friday, October 4, 2013

Teladan Komunikator - Organisator

Seorang pemikir (filsuf) besar Yunani Kuno bernama Aristoteles (384-322 SM) mengatakan demikian: “Manusialah satu-satunya makhluk hidup yang memiliki bahasa (language). Bahasa (yang hanya dimiliki manusia itu) berfungsi untuk memberitahukan hal-hal yang bermanfaat dan merugikan dan juga untuk memberitahukan hal-hal yang adil dan tak adil”. Apa yang unik dari manusia adalah kemampuannya untuk berkomunikasi, yakni kemampuan untuk menyatakan atau menyampaikan pendapat dengan bahasa yang jelas, sehingga dapat dimengerti oleh sesama.

Filsuf Jerman kontemporer JĂŒrgen Habermas mempertegas pendapat Aristoteles itu dengan mengatakan bahwa hubungan antar manusia ditandai oleh tindakan komunikasi. Habermas yakin bahwa dengan berkomunikasi, yakni sikap dialog yang bebas (tanpa paksaan) dengan sesama sebagai partner setara dapat tercapai saling pengertiandiantara mereka.

Apa yang diungkapan kedua pemikir di atas persis terjadi dalam kisah seorang Nehemia (Nehemia 1: 1-11; 2:1-20). Waktu itu, Nehemia menjadi juru minum raja Persia, dan Israel sedang dalam tawanan Persia. Yerusalem sebagai kota suci bangsa Israel dihancurkan.

Sebagai orang Yahudi, walaupun Nehemia menjadi pejabat di negeri orang lain, ia masih mau menanyakan kabar saudara-saudaranya yang luput dari penawanan dan bagaimana keadaan Yerusalem (pasal 1:2). Nehemia lalu diberitahu bahwa “orang-orang yang masih tinggal di Yerusalem, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar” (pasal 1:3).

Ketika mendengar kabar buruk itu, Nehemia tidak tinggal diam walau pun ia aman-aman saja di istana raja Persia. Dalam ayat 4, sikap pertama Nehemia ketika mendengar keadaan saudara-saudaranya adalah menjadi komunikator (juru bicara) antara bangsanya dan Allah melalui doa. Dalam doanya, Nehemia mengkomunikasikan keadaan bangsanya kepada Allah. Nehemia tahu bahwa penderitaan yang dialami bangsa Israel waktu itu adalah akibat pelanggaran mereka terhadap perintah Allah, dan karena itu ia memberanikan diri untuk mengkomunikasikan penyesalan dan dosa bangsanya kepada Tuhan, serta memohon Tuhan mengampuni mereka. Pasal 1: 5-11 adalah isi komunikasi/doa Nehemia kepada Allah.

Tetapi ternyata Nehemia tidak hanya mau berdoa/berbicara belaka. Ia mau menjadi teladan dari komunikasi/doanya. Ia mau melakukan apa yang dikatakannya. Itulah sebabnya Nehemia tidak hanya berkomunikasi dengan Allah melalui doa, tetapi juga berkomunikasi dengan Artahsasta (raja Persia) agar ia dijinkan kembali ke Yerusalem untuk kota itu (pasal 2).

Tidak hanya itu, Nehemia pun melanjutkan komunikasinya kepada raja dengan meminta dua surat penting. Pertama, surat raja kepada para bupati di daerah seberang sungai Efrat agar Nehemia diijinkan melewati wilayah-wilayah itu. Kedua, surat raja kepada pengawas taman raja, agar Nehemia diberikan kayu untuk memasang balok-balok pada pintu-pintu gerbang di benteng Bait Suci, tembok kota Yerusalem dan rumahnya nanti (pasal 2 ayat 8). Raja pun mengabulkan semua permintaan Nehemia. Akhirnya Nehemia kembali dan membangun Yerusalem.

Nehemia berhasil menjadi komunikator (juru bicara) antara bangsanya dengan Tuhan, maupun antara dirinya dan raja Persia, ketika melihat bangsanya makin hancur. Kemauan untuk menyampaikan keadaan bangsanya kepada Tuhan dan raja adalah sebuah sikap seorang nabi sejati. Nabi sejati adalah orang yang peka terhadap keadaan bangsanya ketika mengalami keterpurukan, dan berusaha menyelamatkannya. Lebih dari itu, Nehemia adalah teladan seorang komunikator (juru bicara), karena ia bukan hanya mengkomunikasikan kerinduannya pada Allah dan raja, tetapi juga mau turun langsung ke Yerusalem untuk melakukan sesuatu bagi bangsanya.

Sikap lain yang perlu kita teladani dari Nehemia adalah bertindak seturut dengan kehendak Allah.

Selain menjadi teladan sebagai tokoh komunikator, Nehemia juga bisa disebut sebagai tokoh organisator yang pandai dan cerdas mengorganisasikan orang-orang.

Kondisi bangsa Indonesia saat ini bisa dikatakan sedang mengalami keterpurukan. Keterpurukan tersebut bisa kita lihat melalui media di sekitar kita. Kalau bangsa Israel diserang bangsa lain pada masa Nehemia, sekarang ini bangsa Indonesia lebih parah. Karena diserang bangsanya sendiri. Misalnya melalui korupsi.

Bangsa kita saat ini membutuhkan orang-orang seperti Nehemia yang berintegritas. Seperti Tuhan Yesus, Nehemia menjadi teladan dengan menimbulkan rasa percaya orang lain. Nehemia juga membiasakan diri untuk berperilaku yang baik sejak kecil.

Bangsa kita memerlukan pendidikan moral dan revolusi moral. Sebagai agen perubahan, kita perlu belajar dan menegakkan moral. Kita perlu menanamkan spritualitas, integritas, serta profesionalitas dalam diri sendiri dan orang lain. Meskipun kita harus keluar dari zona nyaman kita.







----------------------------------------------------------------------------------------- 
Tulisan ini merupakan hasil diskusi Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 3 Oktober 2013. Bertempat di Student Centre (SC) GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54, Yogyakarta. Bahan renungan disampaikan oleh Christian Apri Wijaya (Sekfung Infokom, BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013). Diambil dari buku Spritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013.

Sunday, September 22, 2013

Tomat (Tobat Kumat)...?

  Kalau kita melihat televisi, berbagai isu bermunculan. Banyak kejahatan yang ter-expose oleh media. Bahkan mungkin banyak lagi yang tidak ter-expose oleh media.

  Melihat hal tersebut, kita diingatkan tentang kata “pertobatan”. Pertobatan seolah-olah menjadi hal yang sangat dibutuhkan, sering diucapkan, dan sering dilakukan. Tapi tak jarang orang yang bertobat malah kumat lagi. Sebagai orang Kristen, sudahkah kita benar-benar melakukan pertobatan atau bertobat?

  Dalam iman Kristen, pertobatan berarti menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai penyelamat serta mengikuti perintah-Nya dan jalan kebenaran-Nya. Kata pertobatan juga bisa disamakan dengan penyesalan atas segala apapun kesalahan dan dosa kita. Kita harus total dalam menerima pertobatan.

  Dalam perikop 1 Tesalonika 1:2-10, kita bisa melihat bagaimana pertobatan jemaat Tesalonika dan kehidupan iman mereka yang luar biasa. Bahkan dalam keadaan penindasan atau krisis yang mereka alami. Tertulis di dalam ayat 6: “Dan kamu telah menjadi penurut kami dan penurut Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus.”. Sedangkan dalam ayat 9 tertulis: “Sebab mereka sendiri berceritera tentang kami, bagaimana kami kamu sambut dan bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar.”

  Surat 1 Tesalonika ditulis oleh Paulus pada tahun 54 Masehi bersama Silvanus dan Timotius. Secara garis besar, surat tersebut berisi tentang kedatangan Tuhan Yesus sudah dekat. Harapan akan kedatangan-Nya kembali adalah harapan, inspirasi, dan kenyamanan terbesar dari orang Kristen sejati.

  Surat tersebut juga berisi tentang nasihat kepada jemaat Tesalonika yang kemudian dilayani oleh Timotius. Jemaat Tesalonika sering disebut sebagai “gereja model” (model church). Hal tersebut bisa kita refleksikan melalui ayat 3 (“Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita.”). Dan kesaksian kehidupan mereka bisa dikatakan relevan dengan kehidupan kita saat ini yang diwarnai krisis multidimensional (terutama di Indonesia).

  Sebagai orang Kristen, sudahkah kita melayani Allah dan menjadi teladan yang baik serta pengharapan bagi sesama kita? Bagaimana kita sebagai orang Kristen dapat berjalan sesuai kehendak-Nya? Bagaimana kita mewartakan kebenaran Firman Tuhan sehingga menjadi teladan dan pengharapan dalam kehidupan?

  Secara pribadi, kita semua mungkin belum bisa bertobat secara penuh dan bersih. Kadang kita hilang kesadaran dan dipengaruhi oleh hasrat/hal duniawi.

  Tobat mungkin hal yang tidak mudah. Tapi kita setidaknya harus selalu berusaha untuk melakukannya. Kita perlu tanamkan dan biasakan sikap2 reflektif. Kita juga hendaknya minta pertolongan, penyertaan, dan petunjuk Tuhan dalam keseharian kita.

   Setiap malam hari setelah kita beraktivitas, sebenarnya kita diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk merenungkan hidup kita dan bertobat. Tapi seringkali sebagian dari kita lupa untuk melakukannya.

  Jika kita mencermati ayat 4, ayat tersebut bicara tentang perbuatan Allah yang memilih manusia. Dan ada dua respon manusia kepada Allah: menerima atau menolak. Jemaat Tesalonika adalah orang-orang yang mau menerima dan bertobat.

  Selanjutnya, untuk mewartakan kebenaran Firman Tuhan, kita hendaknya/harusnya tahu dan paham bagaimana kebenaran dan kehendak Tuhan yang sebenarnya. Usaha untuk mencapainya adalah melalui aktivitas disiplin rohani. Seperti: saat teduh, berdoa, bersekutu, melayani, dan kesaksian yang rutin.

  Mari meneladani jemaat Tesalonika! Jangan sampai kita menjadi orang yang tomat (tobat lalu kumat lagi)!






--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi dalam Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 19 September 2013. Bertempat di Student Centre (SC) GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54. Dilayani oleh Usdariskhi Pratama Sumbayak (Sekcab-BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013).

Tuesday, September 17, 2013

Cinta Uang itu...?

Ada istilah dalam bahasa Inggris: Love is blind (Cinta itu Buta). Karena ada kecenderungan kita akan melakukan apapun untuk hal yang kita cintai. Tapi kalau kita sudah cinta uang, kita akan bermasalah.

Dalam 1 Timotius 6:10 tertulis bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Mengapa? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan uang, tetapi akan menimbulkan masalah jika orang menjadi cinta uang. Biasanya hati seseorang melekat pada apa yang dicintainya. Karena itu Yesus pernah mengatakan, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada,” (Matius 6:21).

Jika hati sudah melekat pada uang, maka uang akan mendapat prioritas utama dalam hidup. Dia akan menggantikan kedudukan Tuhan di dalam hati. Jika uang sudah bertakhta dalam hati seseorang, maka orang tersebut akan menjadi pelayan bagi uang itu sendiri. Sehingga bisa dikatakan bahwa orang yang sangat mencintai uang cenderung mengesampingkan iman dan lebih mengejar harta duniawi.

Yang menjadi sumber persoalannya bukan jumlah uang yang kita miliki. Tapi hasrat hati kita yang tak pernah merasa cukup.

Orang yang cinta uang juga memiliki kecenderungan untuk tidak mau berbagi. Uang kita hendaknya menjadi berkat untuk memberkati orang lain. Bukan malah untuk terlalu memikirkan kepentingan pribadi tanpa kepedulian.

Dalam sebuah forum Sekolah Perubahan yang digagas beberapa pegiat ekonomi kerakyatan, ada seorang ibu bekerja memasok ikan. Dia memperoleh keuntungan besar.

Uniknya dia memiliki pemahaman ekonomi yang berbagi. Dia membentuk kelompok tani untuk saluran dana bantuan kepada para petani. Dia berbuat demikian karena takut akan Tuhan.

Melalui Surat 1 Timotius, Rasul Paulus memberikan nasehat untuk Timotius yang melayani jemaat Efesus (Surat Penggembalaan). Namun juga bisa juga memberikan peringatan bagi kita. Dimana secara garis besar tentang bagaimana menjadi saksi Kristus yang benar.

Dalam pasalnya yang ke-6, Rasul Paulus menasehatkan untuk tidak terlalu mencintai uang dan untuk berbagi. Nasehat tersebut ditempatkan dalam konteks bahwa sebagian jemaat cenderung memiliki hasrat yang berlebihan untuk menjadi kaya pada waktu itu. Pada dasarnya, menjadi kaya bukanlah suatu masalah, tetapi hasrat yang berlebihan akan membuat orang gelap mata dan menghalalkan segala cara.

Tampaknya, budaya yang berkembang dalam kehidupan sosial jemaat pada waktu itu telah melenceng dari ajaran Firman Tuhan. Sikap kedengkian, fitnah, saling curiga, dan pertikaian karena orang-orang telah kehilangan akal sehat. Ditambah lagi, jemaat melaksanakan Firman Tuhan diiringi dengan giatnya memperoleh keuntungan material. Mereka bahkan mengharapkan keuntungan material dari ibadah itu sendiri. Seluruh aktivitas keagamaan harus menjadi bagian dari upaya mendatangkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya.

Karena itu, tepat sekali jika Rasul Paulus menyebut mereka ini adalah orang-orang yang cinta uang. Bukan berarti kita tidak butuh uang. Namun Paulus hendak mengajarkan akan sikap yang pantas terhadap barang milik. Kita hendaknya mengubah orientasi serta manajemen kebutuhan kita akan uang. Kita harus paham kebutuhan kita dan memilih prioritas kebutuhan kita. Kita harus mencukupkan diri dan tidak berlebihan.

Di dalam GMKI, kita punya aset. Sebagai orang yang aktif di dalam GMKI, kita harus membatasi kepentingan orang yang “cinta uang”. Kita harus mau dan mampu menjaga nilai kesejarahan perjuangan.

Akhirnya, Jangan biarkan uang mengontrol hidup kita! Tapi berusahalah agar kita mampu mengontrol uang kita.






------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi dalam Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 12 September 2013. Bertempat di Student Centre (SC) GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54.
Bahan diskusi diambil dari buku Spiritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013. Dilayani oleh Robert Umbu Rangu (Sekfung Organisasi-BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013).

Thursday, September 12, 2013

Kekuasaan yang Melayani dan Dipatuhi

Jika menoleh sejenak ke belakang, dalam sejarah kekristenan, hubungan antara umat percaya (baca: Gereja) dengan Negara (baca: pemerintah) seringkali diwarnai dengan ketegangan-ketegangan, kontroversi dan pasang surut. Suatu saat, Negara (pemerintah) menguasai orang percaya (gereja) seperti zaman Konstatinus Agung. Namun sebaliknya ada saatnya dimana Gereja mendominasi Negara. Ini terjadi misalnya di abad pertengahan ketika kekuasaan Paus begitu hebat sampai-sampai para raja yang hendak berkuasa harus mendapat restu dari dirinya. Dalam masa itu, posisi Negara (pemerintah) menjadi sub-ordinat dari gereja. Kalau demikian persoalannya, maka pertanyaan yang mencuat ke permukaan adalah bagaimana seharusnya sikap ideal yang mestinya diambil oleh orang percaya (gereja) vis a vis (berhadap-hadapan) dengan Negara (pemerintah)?

Perikop Surat Roma 13:1-7 merupakan bagian Alkitab yang secara tegas berbicara tentang bagaimana sebenarnya sikap ideal orang percaya (gereja) terhadap  pemerintah. Rasul Paulus dalam nats perikop ini memberikan pengajaran yang tegas dengan sebuah pernyataan: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya …” (ayat  1).

Ada 3 (tiga) penekanan yang perlu diperhatikan dari pernyataan ini. Pertama, Allah adalah mutlak pemegang pemerintahan atas bangsa-bangsa. Dialah yang menempatkan para pemegang pemerintahan dan di belakang segala pemerintahan di dunia yang ada adalah kedaulatanNya. Kedua, setiap orang Kristen harus mengakui negara, menaati kekuasaan yang sah selama ketaatan ini tidak bertentangan dengan hukum Allah atau kuasa Kristus, dan mendoakan orang-orang yang memegang jabatan yang bertanggungjawab (bandingkan dengan 1 Timotius 2: 1-7). Ketiga, orang Kristen harus menaati pemerintah adalah karena suara hatinya.

Pemerintah dimana orang Kristen (gereja) harus takluk atau taat adalah pemerintah yang menghargai kebaikan, menghukum orang yang melakukan kejahatan, mensejahterakan rakyatnya, dan mendatangkan keamanan bagi rakyatnya. Pemerintah yang harus kita patuhi/tunduk adalah pemerintah yang mampu mengayomi, menjadi teladan, bersih, tegas, dan, takut akan Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan yang demikian harus ditaati, sebab ia menjadi kepanjangan tangan dari Allah yang penuh kasih, tertib, dan teratur (Bandingkan Matius 25:36-41).

Dalam perikop surat Rasul Paulus kepada jemaat Roma tersebut juga, Rasul Paulus menyebut “pemerintah” dengan “exousia”  (bahasa Yunani) yang berarti kekuatan yang supranatural, kekuatan yang luar biasa. Tapi ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pemerintah/penguasa yang ada. Karena Rasul Paulus jelas menyebutkan bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak berasal dari Allah. Sehingga pemerintah yang memerintah/mengatur tetap punya tanggung jawab etis moral kepada Allah.

Allah jelas tidak bisa menoleransi sebuah anarki (keadaan tanpa hukum dan peraturan). Tujuan Allah adalah kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan kehidupan yang penuh keharmonisan, kedamaian, dan ketertiban (Lihat Roma 12:10,18). Bila yang terjadi adalah pemerintah yang ada di atas orang percaya ternyata menyalahgunakan kekuasaan yang dipegangnya atau pemerintah yang dipercaya Allah ternyata “merusak” dan mengabaikan hukum Allah serta malah membuat orang Kristen harus bergumul dengan imannya kepada Allah, maka pemerintah yang demikian tidak harus dipatuhi. Pemerintah yang demikian harus ditentang!

Kesetiaan dan ketaatan kita terhadap pemerintah berhenti ketika pemerintah itu mulai bertindak tidak sesuai dengan hukum Allah. Ketaatan kepada Allah dan hukumnya harus lebih utama daripada ketaatan kepada pemerintah. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa ketaatan orang percaya (gereja) kepada pemerintah adalah ketika pemerintah yang memakai kuasa yang diberikan Allah untuk melayani masyarakat demi kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai bukti ketaatan orang Kristen kepada pemerintah dalam kehidupan sehari-hari, Paulus menyatakan: “Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah. Bayarlah kepada orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat (Roma 13: 7).

Saat ini, kekuasaan seringkali dipandang sebagai merangkul semua orang dan berbuat yang “wow”. Padahal setiap kita sebenarnya memiliki kekuasaan sendiri-sendiri. Tidak harus menjadi politisi/wakil rakyat.

Sebagai contoh, ada kepatuhan pasien TBC di suatu tempat yang ingin sembuh dengan rajin minum obat mereka. Tapi petugas medis (kesehatan) yang melayani mereka kurang/tidak patuh terhadap peraturan medis. Mereka lalai terhadap tugas pelayanannya sehingga membuat banyak pasien TBC tidak terselamatkan.

Dalam kajian kebijakan publik, ada teori yang mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa sepenuhnya menjadi hakim yang netral. Ada keberpihakan. Sikap orang Kristen (sebagai rakyat dan bersama rakyat lain) terhadap pemerintah seharusnya mengingatkan serta menegur dengan berbagai cara. Karena kita masing-masing memiliki hak, kekuasaan, dan kewajiban untuk itu.

  T.B Simatupang mengatakan bahwa partisipasi Kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya positif (selalu berusaha memberikan sumbangsih yang baik bagi pemerintah dan warga lainnya), konstruktif (ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsanya), dan sekaligus kritis (tidak boleh takut-takut untuk memberikan masukan dan koreksi kepada pemerintah demi kebaikan rakyat dan diberlakukannya hukum Tuhan).

Suatu kali, beberapa teman Kristen mengajak teman-teman Kristen lain untuk ikut aksi damai. Tapi respon mereka yang diajak seolah sinis. Mereka berkata, “Orang Kristen kok demo? Kok melawan pemerintah? Biarlah kita berdoa saja.”

Berkaca pada kisah tersebut, kita perlu ingat kembali bahwa pemerintah/penguasa juga adalah manusia. Manusia tidak bisa sempurna sepenuhnya. Pasti ada hal yang kurang atau salah. Dan kita harus bertindak untuk mengkritik, menegur, atau mengingatkan.

Coba bayangkan kalau Tuhan Yesus hanya berdoa tanpa turun ke bumi. Apakah manusia akan diselamatkan?






------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta 5 September 2013. Bertempat di Student Centre (SC) GMKI Cabang Yogyakarta.
Bahan diskusi diambil dari buku Spiritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013. Dan disampaikan oleh Arthon Teny Wunu (Sekfung Minat dan Bakat-BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013)

Wednesday, September 4, 2013

Hakikat Kekuasaan

Kita tentu kenal pendapat umum yang mengatakan bahwa kekuasaan selalu korup. Kekuasaan cenderung dipakai untuk melindungi diri dan kepentingan sendiri sambil pada saat yang sama merusak dan menghancurkan hidup orang lain. Pendapat umum ini hendak menegaskan bahwa kekuasaan adalah suatu realita yang tidak netral. Ia selalu berpihak apakah kepada kebaikan dan kesejahteraan bersama atau kepada kebaikan dan kesejahteraan sendiri.

Belajar dari kenyataan kekuasaan yang cenderung berpihak itu, sepanjang sejarah, manusia menyusun dan menetapkan konsep-konsep yang berguna untuk mengatur dan mengendalikan kekuasaan ke arah kebaikan dan kesejahteraan semua (bersama), yang secara implisit mengandung di dalamnya tujuan untuk mencegah penggunaan kekuasaan secara destruktif.

Salah satu konsep yang dianggap sangat efektif adalah konsep demokrasi yang secara khusus yang membagi kekuasaan itu dalam tiga badan: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Seperti sudah ditegaskan, tujuan dari penetapan tiga badan ini dimaksud untuk mengelola kekuasaan bagi kebaikan bersama (bunom communi). Inilah hakikat kekuasaan, yakni melayani kebaikan dan keselamatan bersama.

Injil Markus 11:14 menunjukkan kekuasaan Yesus atas alam. Dia mengutuk sebuah pohon ara. Begitu dahsyat kekuasaan Yesus itu. Hari berikutnya, murid-murid Yesus mendapati pohon ara itu kering sampai ke akar-akarnya, alias pohon ara itu mati.

Sedangkan dalam Injil Markus 11:15, Yesus menggunakan kekuasaan yang ada pada-Nya untuk mengusir orang-orang yang berjualan di Bait Allah. Ia menjungkir-balikkan meja para penukar uang dan memporak-porandakan lemari-lemari penjualan yang berisi binatang kurban seperti merpati. Ia menghalau orang-orang untuk tidak membawa barang jualan di sekitar Bait Allah.

Kuasa yang ada pada Yesus sebagaimana kita temukan dalam kedua ayat tersebut amatlah besar dan dahsyat. Saat membaca kedua ayat tersebut, kita mendapat kesan bahwa Yesus menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Kekuasaan itu Dia pakai untuk membunuh (pohon ara) dan menyengsarakan para pedagang dan keluarga mereka yang menggantungkan hidup dari hasil penjualan binatang kurban di Bait Allah. Dilihat secara sepintas, Yesus dapat kita golongkan sebagai seorang perusak alam maupun pengacau kehidupan ibadah di Bait Allah.

Kesan tersebut keliru. Kutukan Yesus terhadap pohon ara terjadi bukan tanpa alasan. Peristiwa itu terjadi ketika Yesus dan para murid berada di Yerusalem untuk merayakan Paskah. Paskah orang Yahudi jatuh pada bulan Abib (Ulangan 16:1), yang sama dengan pertengahan Maret. Pada bulan tersebut, para petani Palestina mulai melakukan panen buah-buah sulung. Pohon ara itu tidak berbuah di musim yang seharusnya dia memberi buah.

Peristiwa ini memiliki arti analogi yang sangat kuat. Alkitab banyak menggambarkan hidup manusia seperti pohon. Mazmur 1:1-6 adalah salah satu contohnya. Hidup yang dikehendaki Allah adalah hidup yang memberi buah, buah roh seperti disebut dalam Galatia 5:22. Bagi orang-orang yang selama hidupnya tidak memberi buah kebaikan apapun bagi sesamanya, hidup orang tersebut dianggap tidak berguna dan hanya akan dibuang ke dalam api (Yoh. 15:6). Inilah makna analogi dari peristiwa pohon ara yang dikutuk Yesus.

Mencerna secara jernih kisah penyucian Bait Allah oleh Yesus (Markus 11:14-15), kita mendapat pengertian/kejelasan bahwa kekuasaan tidaklah netral. Para imam dan pemimpin masyarakat Yahudi menggunakan kuasa mereka untuk melanggengkan kedudukan dan memperkaya diri. Ada unsur kecurangan dan permainan Bait Allah saat itu. Mereka menerapkan sistem korban sembelihan di Bait Allah yang ber-kong kalikong dengan para penjual hewan di Bait Allah.

Dalam kisah Yesus mengobrak-abrik kegiatan penjualan di Bait Allah tersebut, kita berhadapan di situ dengan praktek mark-up harga yang sangat memberatkan orang-orang yang datang ke Bait Allah untuk berdoa. Penjualan binatang/hewan kurban di Bait Allah sudah menjadi satu praktek mafia pemerasaan yang dikendalikan oleh para imam. Mereka menetapkan bahwa hanya binatang kurban yang dibeli di dalam Bait Allah saja yang sesuai dengan ketentuan agama untuk dijadikan korban. Lalu harga yang mereka tetapkan bisa mencapai 25 kali lebih besar dari harga binatang yang sama di pasar rakyat.

Yesus menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk memihak kepada kebaikan rakyat. Yesus menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk membebaskan orang miskin dari penindasan para pemimpin masyarakat dan agama. Yesus bertindak mengakhiri pemerasan berkedok agama dan memutuskan rantai mafia korupsi yang dikendalikan para imam dan pemimpin Yahudi. Yesus menggunakan kuasa yang ada padaNya untuk kesejahteraan rakyat yang miskin dan menderita. Yesus melakukan apa yang seharusnya. Ia “membersihkan” Bait Allah.

Dalam perikop-perikop sebelumnya, Yesus dimuliakan di gunung. Saat di Bait Allah tersebut, Tuhan Yesus menunjukkan kuasanya. Dengan Dia menunjukkan kuasa-Nya, Dia membuktikan perbedaannya dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat.

Pada waktu itu, ada kesalahpahaman tentang Kerajaan Allah yang akan datang. Kedatangan Yesus dipersepsikan sebagai kedatangan Raja yang baru dan Kekuasaan yang baru. Berarti mengambil kekuasaan yang sudah ada di situ.

Konsep Kerajaan Allah yang akan datang sebenarnya adalah menghadirkan kesejahteraan Allah bagi rakyat. Seperti pemerintahan Indonesia yang seharusnya menyejahterakan rakyatnya.

Kembali kepada kisah tentang pohon ara, Injil Matius 21:19-21 menuliskan bahwa seketika itu pohon ara itu kering/mati. Saat murid-murid bertanya, Yesus mengungkapkan tentang kuasa yang dimiliki orang percaya. Peristiwa tersebut mengkorelasikan kekuasaan dan iman. Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kekuasaan adalah mandat Tuhan secara imanen dan bertanggungjawab secara moral.

Setiap orang sebenarnya diberikan suatu kekuasaan oleh Tuhan. Dan harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan teladan Tuhan Yesus.

Orang yang menyalahgunakan kekuasaan sepertinya lepas dari hati nuraninya. Sehingga seringkali kita mendengar/membaca slogan dalam politik: “Pertemanan dan kekeluargaan bisa berakhir tapi kepentingan bisa abadi”.

Di Indonesia sendiri, pemisahan kekuasaan ke dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebenarnya tidak terlalu jelas. Sebagai contoh adalah DPR. Lembaga ini menjalankan fungsi legislasi tapi sekaligus sebagai yudikatif terhadap eksekutif.

Jika kita kembali membaca sejarah teori politik, teori Trias Politika muncul untuk membatasi kekuasaan yang mutlak. Tiga badan tersebut di Indonesia bersifat check and balance. Mungkin kita bisa menyeimbangkan fungsi/peran masing-masing ketiga badan tersebut. Dan peran kita bisa diwujudkan dalam dua macam: politik praktis dan/atau politik etis. Seperti Tuhan Yesus yang berpolitik melalui sikap, perbuatan, dan perkataan yang simbolik dalam Alkitab.

Melalui kisah kehidupannya, Yesus juga mengingatkan bahwa kita perlu mengutamakan aksi untuk hal positif. Jangan terlalu banyak berwacana. Serta memanfaatkan kekuasaan sesuai dengan porsinya. Jangan terlalu berlebihan.






----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
Tulisan ini merupakan hasil diskusi Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 29 Agustus 2013. Bertempat di SC GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54. Dimana bahan diskusinya diambil dari buku Spritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013 yang disampaikan oleh Oland Abago (Kabid Akspel-BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013).

Friday, August 30, 2013

Berdoa yang Baik,Berdoa untuk Baik

Pengajaran tentang hal berdoa dikutip secara khusus oleh Matius. Doa merupakan ritus penting bagi orang Yahudi. Seperti kita tahu bahwa Injil Matius ditulis untuk orang/umat Yahudi.

Di sini yang penting adalah perspektif kita tentang doa. Apa yang kita pikirkan saat kita mendengar kata doa?
Doa bisa berarti mengucap syukur, permohonan, penyerahan, berkaitan dengan apa yang kita terima dan apa yang kita mohon kepada Tuhan. Doa bisa berarti berkomunikasi dengan Tuhan atau hubungan pribadi batiniah dengan Tuhan. Doa juga bisa diartikan kekuatan dan roh orang beriman. Ya, ternyata doa itu penting dalam kehidupan orang beriman.

Lalu bagaimana doa yang berkenan bagi Tuhan?

Doa kita seringkali seperti didominasi dengan list/daftar permohonan dan ucapan syukur jarang ditemukan. Jawaban doa dari Tuhan sebenarnya ada tiga. Yakni: Ya, Tidak, Tunggu Nanti.
Kemudian hari, doa seolah berubah menjadi bargaining position dengan Tuhan. Kita menjadi “bos” yang memerintah.

Dalam Injil Matius 6:5-15, Tuhan Yesus mengajarkan kita bagaimana cara kita berdoa yang baik dan benar. Doa seharusnya menjadi waktu khusus dalam hidup kita dan tidak terlalu bertele-tele. Doa seharusnya diawali dengan ucapan syukur dan sanjungan kepada Tuhan (penyerahan diri kepada Tuhan). Lalu sampaikan permohonan kita, refleksi dengan meminta pengampunan dosa dan perlindungan Tuhan, serta diakhiri lagi dengan sanjungan dan penyerahan kepada Tuhan.

Dalam Matius 7:7-10, tertulis tentang hal pengabulan doa. Ternyata Tuhan mengabulkan yang baik/terbaik untuk kita. Meskipun hal yang baik tersebut tidak selalu sesuai dengan keinginan.

Dalam film  “Evan Almighty”, kita bisa berefleksi bahwa saat Tuhan akan memberikan hal yang baik bagi kita, Tuhan tidak langsung memberikannya begitu saja. Ada banyak cara yang dipakai Tuhan untuk memberikan yang baik dan terbaik untuk kehidupan kita.

Doa Bapa Kami sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menjadi hafalan saja. Tapi merupakan contoh doa yang diajarkan Tuhan Yesus.

Dalam perikop tentang hal pengabulan doa, “mintalah” bisa dimaknai dengan mintalah apa saja sesuai keinginan hatimu dengan jujur dan bebas. Tidak sepenuhnya merupakan sesuatu hal yang sakral, tradisi, dan formal. Yang terpenting dalam doa kita adalah fokus kita pada Tuhan.





------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 
* Tulisan ini merupakan hasil diskusi  Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 22 Agustus 2013. Bertempat di Student Centre GMKI Cabang Yogyakarta. Dipandu oleh Victor Ivan Christiantoni (Sekfung Kerohanian, BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013) dengan MC Oland Abago (Kabid Akspel, BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013).

Friday, July 26, 2013

Menjadi Maria,Menjadi Marta

Ada seorang penginjil yang mengkritik penginjilan melalui aksi sosial (seperti yang dilakukan GMKI dan gereja Katolik) serta menghendaki penginjilan langsung. Padahal sebenarnya penginjilan melalui aksi sosial juga diperlukan untuk daerah-daerah tertentu yang belum terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam perikop Injil Lukas 10:38-42 dan Yohanes 11, Maria dan Marta sama-sama dekat dengan Tuhan Yesus. Perbedaannya bisa kita lihat Yohanes 11:32 “Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati."
Maria lebih memilih dekat dengan Tuhan Yesus untuk duduk diam dan mendengarkan/berbicara dengan Tuhan Yesus. Sedangkan Marta melayani dalam pekerjaan rumah tangga (kemungkinan menyiapkan makanan dan minuman).
Jika kita cermati Lukas 10:39b, kita mendapati bahwa Maria lebih serius dengan mencari kebenaran dan Kerajaan Sorga dari Tuhan Yesus. Maria pernah meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. Ada semacam ketulusan hati Maria.
Dalam konteks budaya Yahudi, konteks budaya Indonesia, atau konteks budaya universal yang “paternalistik”; apa yang dilakukan Marta nampaknya sudah benar. Sebagai nyonya rumah atau pemilik rumah, tentu ia akan melayani tamunya dengan baik. Tapi anehnya Tuhan Yesus menegur Marta. Mengapa Tuhan Yesus menegurnya?
Dari perkataan yang diucapkan Marta, kita bisa mendapati suatu ekspresi mengeluh terhadap apa yang diperbuat oleh Maria, saudaranya.
Selain itu, Marta sibuk sekali melayani (Lukas 10:40 dalam bahasa Yunani “perispaƍ” dan dalam terjemahan ESV “distracted”). Sehingga ia menjadi tidak fokus dengan pelayanannya.
Berkaca dengan kisah Maria dan Marta tersebut, bagaimanakah dengan diri pribadi kita dan pelayanan kita?
Bagaimanapun sibuknya kita hendaknya kita kembali dekat dengan Tuhan. Ada waktu kita untuk kita mendengar Tuhan dan ada waktu kita untuk berbuat/berpelayanan.
      Marilah kita memiliki hati seperti Maria di dunia Marta. Menjadi Maria dan Menjadi Marta.