Friday, July 27, 2018

Melawan Gelombang Korupsi: Refleksi Teologis!


Melawan Gelombang Korupsi: Refleksi Teologis!

Oleh Pdt. DR. Albertus Patty*



1.         Korupsi adalah penyakit personal, sosial dan bahkan penyakit global yang menghancurkan keaadilan, perdamaian serta keutuhan ciptaan. Makna orisinil korupsi adalah penyimpangan atau penghancuran integritas. Oleh karena itu, lawan dari sikap korupsi adalah integritas. Kesalahan kita selama ini terlalu menekankan pada integritas moral personal untuk melawan korupsi. Padahal integritas personal harus juga ditunjang oleh integritas sistem yang dibangun secara integrated, dan integritas masyarakat baik lokal, nasional dan bahkan global. Perlu reformasi holistik personal, sosial dan bahkan global untuk mengurangi korupsi.



2.         Sejak 1990-an, makna korupsi menjadi penyalahgunaan jabatan publik demi meraih keuntungan bagi diri sendiri. Kini, maknanya diperluas menjadi penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan yang dipercayakan kepada seseorang (baik publik maupun swasta), demi meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Apa pun maknanya, orang yang melakukan praktek korupsi adalah mereka yang mengalami disintegritas, keterpecahan hidup. Orang yang fragmented secara personal cenderung segregated secara sosial. Orang ini hanya berpikir untuk kepentingan diri atau kelompoknya saja. Dia menolak berpikir dan bertindak untuk kepentingan semua termasuk kepentingan bangsa. Orang seperti ini meski packagingnya agamis, contentnya setanis. Outwarldly, bukan inwardly. Orang seperti ini lebih dituntun oleh egoisme dan selfishness-nya daripada dituntun oleh nilai-nilai agama seperti keadilan, persaudaraan dan cinta.  Oleh karena itu, meski penampilannya saleh, praktek hidupnya salah. 



3.         Korupsi sebagai pelanggaran moral-etik agama dan nilai universal sering difasilitasi oleh produk hukum dan sistem yang korup. Artinya tidak selalu produk hukum itu bagus, tetapi tidak selalu juga suatu produk hukum yang bagus ditegakkan. Kita butuh sekaligus, suatu produk hukum yang bagus, yang anti korupsi dan komitmen penegakkannya. Korupsi menciptakan dampak yang destruktif: ketidakadilan, intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat. Praktek korupsi merusak upaya mengurangi kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan menjadi biang keladi penghancuran lingkungan hidup.



4.         Ancaman terbesar korupsi adalah ia mewariskan ‘role model’ keburukan bagi politisi/generasi muda. “Bila politisi atau petinggi sebelumnya korup, mengapa kita tidak boleh korup?” Oleh karena itu, betapa pun ada pengakuan bertobat dan betapa pun sudah menjalani hukumannya, seorang koruptor tidak pantas memegang jabatan apa pun karena nilai buruk yang ia wariskan bagi politisi dan generasi muda. Oleh karena itu, yang terutama dalam korupsi bukan krisis uang, tetapi krisis moral-etik, serta krisis teologis. Ada pembusukan moral, yang berdampak pada  pembusukan hukum dan pembusukan sistem! Celakanya, agama-agama, termasuk gereja, sering mengabaikan persoalan korupsi sebagai sebuah pembusukan moral. Hampir jarang kita dengar khotbah anti korupsi, anti penyalahgunaan jabatan. Padahal, dosa pertama manusia yang dilakukan oleh Adam dan Hawa berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan demi memupuk kekuasaan bagi keuntungan diri sendiri.



5.         Korupsi adalah penyakit global. WCC mencatat bahwa di tahun 2013 saja ada 1 trilyun dollar yang menghilang dari perputaran ekonomi global baik oleh karena praktek sogok, penggelapan pajak dan penggelembungan (mark up) harga berbagai proyek pembangunan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, menurut ICW, pada 2017 kerugian negara akibat korupsi 6,5 trilyun rupiah dengan 1298 tersangka, kebanyakan pejabat tinggi lokal dan nasional. Yang lebih mengejutkan, kasus korupsi di Indonesia sudah seperti sel kanker yang menjalar kemana-mana: eksekutif, legislatif dan yudikatif, dari Mahkamah Konstitusi sampai sipir penjara.



6.         Maraknya korupsi tidak hanya membutuhkan respon moral, tetapi juga membutuhkan respon institusional. Artinya pendekatan moral saja tidak akan pernah mampu mengurangi korupsi terutama bila institusi yang dibangun berpusat pada kekuatan seseorang atau sekelompok orang, tanpa transparansi dan tanpa akses pengawasan masyarakat. Seorang yang buruk secara moral akan dipaksa menjadi baik dalam insititusi yang menerapkan sistem yang baik. Sebaliknya, seorang yang baik secara moral berpotensi tergoda ketika ia berada dalam sistem yang korup. Oleh karena itu, masyarakat, yang menjadi korban, atau institusi agama harus menyuarakan suara kenabiannya agar institusi pemerintah dibangun dalam spirit transparansi dan akuntabel, dan agar konsisten dalam penegakan hukum sehingga mampu bersikap tegas terhadap koruptor.



7.         China, meski bersikap tegas dan keras terhadap koruptor, tidak bisa dijadikan contoh karena sistem pemerintahan China yang terpusat pada sekelompok orang. Tidak ada kontrol yang kuat terhadap pejabat  tinggi yang memerintah China. Kita tidak tahu apakah ‘koruptor’ yang dihukum mati itu benar-benar koruptor atau sebenarnya adalah upaya penyingkiran lawan politik dengan memberi label koruptor. Sebagai perbandingan, negara-negara Skandinavia yang lebih bersih dari praktek korupsi tidak pernah menghukum mati koruptor. Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi dibutuhkan bukan saja penguatan moral, tetapi juga penguatan institusi demokratis yang menerapkan sistem yang transparan dan akuntabel.  



8.         Dalam masyarakat yang demokratis, bersikap apatis, diam atau melalaikan pengawasan terhadap institusi dan lembaga publik berarti ikut dalam ‘conspiracy of silence’ dalam mempertahankan budaya dan sistem yang koruptif. Meskipun demikian, pemberitaan kasus korupsi setiap hari membuat saya khawatir karena bisa menciptakan banalitas korupsi, yaitu korupsi menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Kalau tidak ada korupsi aneh bin ajaib! Kita malah kangen karena sudah membudaya!



9.         Sejauh yang saya ketahui belum ada obat mujarab yang ‘tokcer’ untuk memberantas total korupsi. Korupsi hanya bisa dikurangi melalui strategi yang masif, sistematis dan holistik. Salah satunya dengan membangun ‘integrated system’ yang saling berhubungan dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, ada tiga komponen yang perlu diperhatikan. Pertama,  perlu dipupuk penguatan integritas moral-etik personal: dari masa anak-anak sampai orang dewasa, dari pejabat paling tinggi sampai pejabat yang terendah. Dari sejak kecil anak-anak bahkan setiap warga negara harus dididik betapa buruknya penyalahgunaan jabatan. Kedua, penguatan struktur organisasi, publik dan swasta, dan masyarakat yang didasarkan pada kultur akuntabilitas dan transparansi. Ketiga, komitmen penegakan hukum. Hak imunitas, kebijakan impunitas atau ‘pengistimewaan’ bagi siapa pun dihapus. Ketiganya adalah ‘integrated system’ yang harus berjalan bersamaan. Salah satu saja mengalami ketimpangan, hancurlah seluruhnya. Kesalahan kita selama ini adalah terlalu menekankan salah satu komponen saja.   



10.     Gelombang korupsi yang melanda dunia dan melanda Indonesia harus dihadapi dengan gelombang perlawanan melalui sinergi semua pihak, baik personal maupun institusional yang berkelanjutan. Korupsi itu persoalan yang sangat serius. Oleh karena itu sinergi institusi agama, institusi pendidikan, berbagai kelompok anti korupsi dan organisasi kepemudaan dan kaum intelektual harus terus ditingkatkan. Sesungguhnya saat melawan korupsi, kita sedang mengangkat kembali manusia pada kemanusiaannya. Koruptor butuh diangkat kemanusiaannya agar ia menjadi manusia yang dibebaskan dari egoisme dan selfishness-nya dan menjadi manusia berintegritas, yang memiliki relasi yang kokoh dengan Tuhan, Sang Penciptanya. Masyarakat yang miskin, korban praktek korupsi harus diangkat kemanusiaannya melalui pembebasan mereka dari praktek dehumanisasi, ketidakadilan dan penindasan.  Institusi public dan kebijakan kita juga harus dimanusiakan dengan membebaskannya dari belenggu selfishness, kekuatan oligarki dan   dari Kita perlu membangun kultur dan struktur yang ‘intgrated’ untuk memfasilitasi manusia agar mampu mencapai kemuliaannya sebagai citra dan gambar Allah, Sang Pengasih.     

*Pemateri pada Sekolah Penggerak Anti Korupsi 2018 yang diadakan atas kerjasama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, 27-29 Juli 2018


0 comments:

Post a Comment