Melawan Gelombang Korupsi:
Refleksi Teologis!
Oleh Pdt. DR.
Albertus Patty*
1.
Korupsi
adalah penyakit personal, sosial dan bahkan penyakit global yang menghancurkan
keaadilan, perdamaian serta keutuhan ciptaan. Makna orisinil korupsi adalah
penyimpangan atau penghancuran integritas. Oleh karena itu, lawan dari sikap
korupsi adalah integritas. Kesalahan kita selama ini terlalu menekankan pada
integritas moral personal untuk melawan korupsi. Padahal integritas personal
harus juga ditunjang oleh integritas sistem yang dibangun secara integrated, dan
integritas masyarakat baik lokal, nasional dan bahkan global. Perlu reformasi
holistik personal, sosial dan bahkan global untuk mengurangi korupsi.
2.
Sejak
1990-an, makna korupsi menjadi penyalahgunaan jabatan publik demi meraih
keuntungan bagi diri sendiri. Kini, maknanya diperluas menjadi penyalahgunaan
jabatan atau kekuasaan yang dipercayakan kepada seseorang (baik publik maupun
swasta), demi meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Apa pun maknanya, orang
yang melakukan praktek korupsi adalah mereka yang mengalami disintegritas,
keterpecahan hidup. Orang yang fragmented secara personal cenderung segregated
secara sosial. Orang ini hanya berpikir untuk kepentingan diri atau kelompoknya
saja. Dia menolak berpikir dan bertindak untuk kepentingan semua termasuk
kepentingan bangsa. Orang seperti ini meski packagingnya agamis, contentnya
setanis. Outwarldly, bukan inwardly. Orang seperti ini lebih dituntun oleh
egoisme dan selfishness-nya daripada dituntun oleh nilai-nilai agama seperti
keadilan, persaudaraan dan cinta. Oleh
karena itu, meski penampilannya saleh, praktek hidupnya salah.
3.
Korupsi
sebagai pelanggaran moral-etik agama dan nilai universal sering difasilitasi
oleh produk hukum dan sistem yang korup. Artinya tidak selalu produk hukum itu
bagus, tetapi tidak selalu juga suatu produk hukum yang bagus ditegakkan. Kita
butuh sekaligus, suatu produk hukum yang bagus, yang anti korupsi dan komitmen
penegakkannya. Korupsi menciptakan dampak yang destruktif: ketidakadilan, intimidasi
dan kekerasan terhadap masyarakat. Praktek korupsi merusak upaya mengurangi
kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan menjadi biang keladi penghancuran
lingkungan hidup.
4.
Ancaman
terbesar korupsi adalah ia mewariskan ‘role model’ keburukan bagi
politisi/generasi muda. “Bila politisi
atau petinggi sebelumnya korup, mengapa kita tidak boleh korup?” Oleh
karena itu, betapa pun ada pengakuan bertobat dan betapa pun sudah menjalani
hukumannya, seorang koruptor tidak pantas memegang jabatan apa pun karena nilai
buruk yang ia wariskan bagi politisi dan generasi muda. Oleh karena itu, yang
terutama dalam korupsi bukan krisis uang, tetapi krisis moral-etik, serta
krisis teologis. Ada pembusukan moral, yang berdampak pada pembusukan hukum dan pembusukan sistem!
Celakanya, agama-agama, termasuk gereja, sering mengabaikan persoalan korupsi
sebagai sebuah pembusukan moral. Hampir jarang kita dengar khotbah anti
korupsi, anti penyalahgunaan jabatan. Padahal, dosa pertama manusia yang
dilakukan oleh Adam dan Hawa berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan demi
memupuk kekuasaan bagi keuntungan diri sendiri.
5.
Korupsi
adalah penyakit global. WCC mencatat bahwa di tahun 2013 saja ada 1 trilyun
dollar yang menghilang dari perputaran ekonomi global baik oleh karena praktek
sogok, penggelapan pajak dan penggelembungan (mark up) harga berbagai proyek
pembangunan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, menurut
ICW, pada 2017 kerugian negara akibat korupsi 6,5 trilyun rupiah dengan 1298 tersangka,
kebanyakan pejabat tinggi lokal dan nasional. Yang lebih mengejutkan, kasus
korupsi di Indonesia sudah seperti sel kanker yang menjalar kemana-mana:
eksekutif, legislatif dan yudikatif, dari Mahkamah Konstitusi sampai sipir
penjara.
6.
Maraknya
korupsi tidak hanya membutuhkan respon moral, tetapi juga membutuhkan respon
institusional. Artinya pendekatan moral saja tidak akan pernah mampu mengurangi
korupsi terutama bila institusi yang dibangun berpusat pada kekuatan seseorang
atau sekelompok orang, tanpa transparansi dan tanpa akses pengawasan
masyarakat. Seorang yang buruk secara moral akan dipaksa menjadi baik dalam
insititusi yang menerapkan sistem yang baik. Sebaliknya, seorang yang baik
secara moral berpotensi tergoda ketika ia berada dalam sistem yang korup. Oleh
karena itu, masyarakat, yang menjadi korban, atau institusi agama harus
menyuarakan suara kenabiannya agar institusi pemerintah dibangun dalam spirit
transparansi dan akuntabel, dan agar konsisten dalam penegakan hukum sehingga
mampu bersikap tegas terhadap koruptor.
7.
China,
meski bersikap tegas dan keras terhadap koruptor, tidak bisa dijadikan contoh
karena sistem pemerintahan China yang terpusat pada sekelompok orang. Tidak ada
kontrol yang kuat terhadap pejabat
tinggi yang memerintah China. Kita tidak tahu apakah ‘koruptor’ yang
dihukum mati itu benar-benar koruptor atau sebenarnya adalah upaya penyingkiran
lawan politik dengan memberi label koruptor. Sebagai perbandingan,
negara-negara Skandinavia yang lebih bersih dari praktek korupsi tidak pernah
menghukum mati koruptor. Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi dibutuhkan
bukan saja penguatan moral, tetapi juga penguatan institusi demokratis yang
menerapkan sistem yang transparan dan akuntabel.
8.
Dalam
masyarakat yang demokratis, bersikap apatis, diam atau melalaikan pengawasan
terhadap institusi dan lembaga publik berarti ikut dalam ‘conspiracy of silence’
dalam mempertahankan budaya dan sistem yang koruptif. Meskipun demikian, pemberitaan
kasus korupsi setiap hari membuat saya khawatir karena bisa menciptakan
banalitas korupsi, yaitu korupsi menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Kalau
tidak ada korupsi aneh bin ajaib! Kita malah kangen karena sudah membudaya!
9.
Sejauh
yang saya ketahui belum ada obat mujarab yang ‘tokcer’ untuk memberantas total
korupsi. Korupsi hanya bisa dikurangi melalui strategi yang masif, sistematis dan
holistik. Salah satunya dengan membangun ‘integrated system’ yang saling
berhubungan dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, ada tiga komponen yang
perlu diperhatikan. Pertama, perlu dipupuk penguatan integritas moral-etik
personal: dari masa anak-anak sampai orang dewasa, dari pejabat paling tinggi
sampai pejabat yang terendah. Dari sejak kecil anak-anak bahkan setiap warga
negara harus dididik betapa buruknya penyalahgunaan jabatan. Kedua, penguatan struktur organisasi,
publik dan swasta, dan masyarakat yang didasarkan pada kultur akuntabilitas dan
transparansi. Ketiga, komitmen penegakan
hukum. Hak imunitas, kebijakan impunitas atau ‘pengistimewaan’ bagi siapa pun
dihapus. Ketiganya adalah ‘integrated system’ yang harus berjalan bersamaan.
Salah satu saja mengalami ketimpangan, hancurlah seluruhnya. Kesalahan kita
selama ini adalah terlalu menekankan salah satu komponen saja.
10. Gelombang korupsi yang melanda dunia
dan melanda Indonesia harus dihadapi dengan gelombang perlawanan melalui
sinergi semua pihak, baik personal maupun institusional yang berkelanjutan. Korupsi
itu persoalan yang sangat serius. Oleh karena itu sinergi institusi agama,
institusi pendidikan, berbagai kelompok anti korupsi dan organisasi kepemudaan
dan kaum intelektual harus terus ditingkatkan. Sesungguhnya saat melawan
korupsi, kita sedang mengangkat kembali manusia pada kemanusiaannya. Koruptor
butuh diangkat kemanusiaannya agar ia menjadi manusia yang dibebaskan dari
egoisme dan selfishness-nya dan menjadi manusia berintegritas, yang memiliki
relasi yang kokoh dengan Tuhan, Sang Penciptanya. Masyarakat yang miskin, korban
praktek korupsi harus diangkat kemanusiaannya melalui pembebasan mereka dari praktek
dehumanisasi, ketidakadilan dan penindasan.
Institusi public dan kebijakan kita juga harus dimanusiakan dengan
membebaskannya dari belenggu selfishness, kekuatan oligarki dan dari Kita
perlu membangun kultur dan struktur yang ‘intgrated’ untuk memfasilitasi manusia
agar mampu mencapai kemuliaannya sebagai citra dan gambar Allah, Sang Pengasih.
0 comments:
Post a Comment