Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Friday, July 27, 2018

KORUPSI DALAM SUDUT PANDANG PSIKOLOGIS

KORUPSI DALAM SUDUT PANDANG PSIKOLOGIS

Oleh : Mutiara Tourasvi Gultom, S.Psi*

Defenisi Korupsi
´  “ Penyalahgunaan Jabatan, identik dengan pencurian, tidak berjalan  sesuai dengan aturan yang sesungguhnya, dan penggunaan uang  negara secara sengaja untuk kepentingan pribadi maupun  kelompok”(Nadiatus Salama,2014)
´  Huntington (1968) Korupsi sebagai “ behavior of public officials which  deviates from accepted norms in order to serve private ends”. Korupsi  merupakan perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang diterima  dan di anut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan  pribadi yang dilakukan oleh para pegawai publik
´  Korupsi merupakan tindakan yang merusak secara keseluruhan  kepercayaan masyarakat kepada pelaku korupsi, yang bahkan juga bias  menghancurkan seluruh sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara  (Wignjosubroto, 2004)
´  Korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan dengan penuh perhitungan  oleh mereka yang justru merasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar  (Masduki, 2010)
´  Korupsi sebagai suatu tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat  dengan cara memperoleh keuntungan untuk diri sendiri serta merugikan  kepentingan umum (Acham, dalam Brunner (ed),1981)

Mazhab Psikologi
´  Dua mazhab besar yang sangat populer dikalangan ilmu psikologi adalah  psikoanalisa dan behavioris di mana kedua mazhab atau aliran psikologi ini  memiliki cara pandang yang berbeda mengenai mengapa seseorang  dapat berperilaku tertentu.
´  Menurut pandangan ilmu psikologi setiap perilaku manusia tentunya  dilandasi oleh motif atau sebab-sebab tertentu yang melandasi mengapa  seseorang menimbulkan perilaku tersebut, baik perilaku yang sifatnya  positif maupun negatif.

Menurut Pandangan Psikoanalisa
secara psikologis untuk menjelakan mengapa seseorang bisa melakukan  perbuatan korupsi dapat dijelaskan dengan pandangan psikoanalisa yang  dikemukakan oleh Sigmund Freud, aliran ini berpendapat bahwa perilaku  korupsi yang dilakukan oleh seseorang berkaitan erat dengan masa  lalunya atau masa kecilnya di mana hal inilah yang membentuk trait atau  kepribadian seseorang sehingga memberikan pengaruh dalam ia  berperilaku pada saat dewasa.

5 Tahapan Perkembangan Pada Masa Kecil menurut Psikoanalisa
  1. Tahap Oral, usia 0 - 3 tahun, pada tahapan perkembangan ini pusat kenikmatan  seorang anak terletak pada bagian mulutnya, sehingga tak jarang kita menyaksikan  anak- anak pada masa in isering memasukan apapun kedalam mulutnya dan suka  mengisap jempolnya, apabila tahapan ini tidak terlewatkan dengan baik maka  akan berpotensi menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan  permasalahan oral atau kejahatan berbicara ketika dewasa kelak.
  2. Tahapan Anal, adalah tahapan dimana kebanyakan anak melaluinya  dengan pelatihan mengunakan kamar mandi atau toilet training, pada  masa ini anak-anak akan membentuk atau melatih rasa percaya kepada  lingkungan sekitarnya, dan jika pada tahapan perkembangan ini anak  gagal melaluinya dnegan baik maka anak akan cenderung mengalami  permasalahan dengan kepercayaan.
  3. Tahapan Phallis, usia 8 – 10 tahun. Pada tahapan perkembangan ini pusat  kenikmatan anak terletak pada alat kelaminya, dan hubungan kedekatan  dengan orang tua. Salah satu dampak terhambatannya atau terjadi masalah  pada masa tahapan ini akan menimbulkan permasalahan prilaku seksual.
  4. Tahapan Laten, pada tahapan ini pusat kenikmatan atau kesenagan anak  terletak pada teman sebaya, kebanyakan anak pada masa ini sudah  memasuki usia sekolah sehingga pada masa ini interaksi anak dengan  lingkungan mualai terbentuk lebih luas. Permasalahan perkembangan pada  masa ini memungkinan anak memiliki penyimpanag sosial dalam berinteraksi  dan berprilaku negatif terhadap respon lingkungan.
  5. Tahapan genital, ini merupakan tahapan akir dari perkembangan seorang  anak, pada masa ini anak memasuki usia dewasa dan pusat kenikmatan atau  kesenagan seorang anak terletak di luar dirinya dan di luar lingkungan  keluarga, bisa saja kesenagan itu berada pada lawan jenis maupun  lingkungan sekitar. Permasalahan pada masa ini akan mempengaruhi  interaksi sosial anak baik dalam hal pribadi, serta sosialnya.
Mengapa pada masa dewasanya seseorang melakukan tindakan korupsi?
Secara psikoanalisa dapat dijelaskan, karena ia memiliki permasalahan  perkembangan pada tahapan-tahapan perkembangan psikososial yang  telah dikemukan di atas, untuk melihat tahapan mana yang lebih dominan  membentuk perilaku korupsi atau negatif pada dirinya perlu dilakukan  telaah yang lebih mendalam lagi pada mereka yang melakukan tindakan  korupsi.

Menurut Pandangan Behavioris
´  Aliran ini merupakan suatu aliran dalam ilmu psikologi yang telah  melakukan banyak percobaan ilmiah mengenai terbentunya perilaku  pada seseorang. Dan menurut pandangan behavioris yang menjadi  penyebab utama seseorang melakukan perilaku korupsi ialah disebabkan  oleh lingkungan yang memberikan dorongan pada mereka sehingga  seseorang bisa melakukan tindakan kurupsi.
´  Dalam hal ini lingkungan lah yang berperan sangat aktif untuk  memunculkan perilaku korupsi tersebut. Baik yang sifatnya pemakluman  atas tindakan korupsi, hukuman yang tidak memberikan efek jera bagi  pelaku korupsi, dan juga adanya kesempatan yang tersedia untuk  melakukan tindakan korupsi tersebut.

Pendekatan Secara Biologis
´  Pendekatan biologis menitikberatkan pada perilaku sosial manusia berasal dari  sebab-sebab biologis. "ecara umum teori ini mengasumsikan bahwa segala  perilaku sosial manusia sangat erat berhubungan dengan penyebab-  penyebab yang tidak dipelajari atau bersumber dari genetis. Konrad Lorenz, seorang ethologist yang mempelajari fenomena sosial hewan. Dia beranggapan bahwa perilaku  agresimerupakan manifestasi dari insting (instinct),
´  Dorongan agresif bawaan sejak lahir yang menjadi kebutuhan untuk melawan demi menjaga diri. William McDougall (dalam Feldman, 1985:10) juga telah mendasarkan konsep genetik dalam mempelajari perilaku  sosial. Dia meyakini bahwa banyak sekali perilaku manusia yang dapat  dijelaskan oleh insting, yakni perilaku langsung yang tujuannya tidak dipelajari  terlebih dahulu
´  Pada tahap berikutnyapendekatan genetis menjelma menjadi pendekatan sosiobiologis dengan tokohnya Edmund Wilson (Bucaille, 1992;57)  Sosiobiologi beranggapan bahwa melalui proses seleksi alam, perilaku sosial terus  berkembang yang membuat spesies manusia terus bertahan hidup(survival)
´  Perilaku adaptif, misalnya, tumbuh dan berkembang untuk kelangsungan gen-gen. Perilaku yang dipertahankan atau dikembangkan manusia dalam evolusi adalah yang dapat meneruskan gengen, bukan survival indi  vidual.(Sarlito W.S 2002;65 ) Misalnya, anak yang terjebak kebakaran, maka ayah  dengan sekuat tenaga akan menolong anak
´  Berdasarakan pendekatan biologis, memang pada dasarnya manusia merupakan  mahluk yangtidak ada puasnya dengan masalah yang menyangkut masalah kebut  uhan biologis dan itumerupakan suatu sifat yang melekat pada diri manusia atau  sifat bawaan yang ada sejak lahir dengan berbagai karakterisrik, namun manusia mempunyai pilihan untuk mene  ntukan perilakunya karna perbedaan perilaku ini yang membedakan karakteristik ses  eorang antara satudengan yang lain

Manusia Lahir dengan berbagai karakteristik yang membedakan satu dengan yang lainnya,  yaitu:
v  Naluri (Karakteristik Bawaan)
           Manusia memiliki naluri untuk selalu memenuhi kebutuhan dan tidak pernah puas dengan apa             yang sudah dimiliki
v  Faktor Genetika (Karakteristik fisik yang berkembang sejak lahir)
Secara biologis, perbedaan genetika menimbulkan perbedaan perilaku
v  Pertumbuhan Fisik sementara
Pengaruh produksi hormonal atau perangsang otak yang dipengaruhi lingkungan dan kebutuhan biologisnya

karakteristik diatas bisa menjadi faktor utama sehingga mereka  melakukan perbuatan korupsi, perbuatan korupsi yang mereka lakukan ini  mungkin suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang tersebut  sehingga melakukan perbuatan korupsi untuk memenuhi kebutuhan biologisnya

Pendekatan Belajar
Teori belajar menjelaskan fenomena perilaku sosial melalui peran-peran  atau aturan-aturansituasional dan lingkungan sebagai penyebab  tingkah laku.

3 Mekanisme dalam belajar, yaitu :
v  Asosiasi, atau yang lebih dikenal dengan classical conditioning
v  Reinforcement; orang belajar menampilkan perilaku karena disertai  sesuatu yang menyenangkan, (demikian juga sebaliknya)
v  Imitasi; sering kali seseorang mempelajari sikap dan perilaku dengan  mengimitasi sikap dan perilaku orang yang menjadi model.

Pendekatan Insentif
Berdasarkan pandangan teori insentif, para koruptor melakukan tindakan yang  sepertiitu berdasarkan pada keuntungan dan kerugian yang akan diterima setelah  mereka melakukan tindakan tersebut usai. Pada kasus ini para koruptor mempunyai  beberapa pilihan yakni mereka dapat melarikan diri atau menyerah pada KPK Jika  mereka menyerah maka akan ditangkap dan dipenjarakan (insentif negatif). Dengan melarikan diri maka merekan akan bersenang-senang dengan hasil uang korupsi yang mereka dapat (insentif positif)

Teori Kognitif
Kurt Lewin dengan teori lapangannya beranggapan bahwa perilaku (behavior)adalah fungsi dari keadaan diri pribadi (personality) dan lingkungan(environment)(Sarwono,2002:81)
Secara kognitif, orang cenderung mengelompokkan obyek atas dasar prinsip  kesamaan,kedekatan, dan pengalaman yang cenderung menginterpretasi  aspek yang tak jelas pada diri orang. Interpretasi ini merupakan implikasi dari  caranya mengamati orang lain dan situasi sosial
Teori Kognitif menekankan pada 2 hal yaitu :
´  Memusatkan perhatian pada interpretasi (organisasi perseptual)mengenai  keadaan saat ini bukan masa lalu. (bagaimana korupsi itu dilakukan  karena kebutuhannya sekarang untuk memperkaya dirinya tanpa melihat  keadaan masa lalunya. Sehingga bisa jadi dulu yang dia adalah orang  yang baik namun karena dalam kesempatan yang dia dapatkan dia  dapat melakukan korupsi karena posisi dia saat ini yang menguntungkan
´  Sebab-sebab perilaku terletak pada persepsi (interpretasi) individu  terhadap situasi, bukan pada realitas situasinya sendiri. (Bagaimana  seorang yang korupsi menginterpretasikan situasi(waktu itu) merupakan hal  yang penting, dari pada bagaimana sebenarnya situasi itu. Sehingga  waktu yang dipikirkan itu tidak akan pernah dilewatkan untuk melakukan  korupsi.

“Budaya Korupsi “(Normalisasi Korupsi)
´  Korupsi merupakan suatu tindak yang sering sekali dianggap suatu  tindakan yang sudah membudaya. Pandangan seperti ini membut korupsi  menjadi tindakan yang dianggap normal atau biasa.
´  Perilaku korupsi merupakan perilaku individu yang terkait dengan orang lain.  Dalam hal ini adalah organisasi tempat individu tersebut melakukan korupsi.  Perilaku korupsi dapat dipandang sebagai patologi sosial, yaitu suatu tindakan  individu atau sekelompok orang yang menyimpang dari norma sosial. Korupsi  dalam masyarakat sosial dipandang sebagai suatu yang bertentangan  dengan norma dan nilai-nilai sosial.

Disonansi Kognitif
´  Ketidaksesuaian antara sikap perilaku dapat memunculkan gejala disonansi kognitif, suatu  perasaan tidak nyaman ketika sikap dan perilaku tidak sinkron atau dengan kata lain individu  tersebut mengalami konflik batin (Walgito, 1999). Seorang koruptor ketika pertama kali  melakukan tindakan ini tentunya akan mengalami gejala ini.
´  Disonansi kognitif merupakan suatu keadaan yang memunculkan ketidaknyamanan, kalau  keadaan ini terus berlarut-larut, akan menyebabkan gejala-gejala klinis seperti stress hingga  depresi
´  Paling tidak ada dua cara yang dilakukan individu untuk menghilangkan perasaan tidak  nyaman yang disebabkan oleh disonansi kognitif yaitu merubah sikapnya agar sesuai dengan  perilaku atau sebaliknya merubah perilakunya agar sesuai dengan sikap yang dimiliki.
´  Sayangnya yang sering terjadi pada kebanyakan pelaku korupsi adalah cara yang pertama  yaitu mengubah sikap agar sesuai dengan perilaku korupsi bukan malah sebaliknya

Rasionalisasi
´  Salah satu tindakan yang dilakukan pelaku korupsi ketika merubah sikapnya agar  sesuai dengan tindakan korupsi adalah melalui proses rasionalisasi
´  Rasionalisasi sendiri merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri  manusia ketika mengalami tekanan secara psikis dengan cara merasionalisasi  tindakan-tindakannya agar dapat diterima dam menganggap apa yang  dilakukannya adalah tindakan yang benar.
´  Dalam konteks korupsi, rasionalisasi menolak interpretasi negatif dengan  menganggap korupsi yang dilakukan dapat diterima atau dimaklumi. Budiman,  Roan, dan Callan (2013) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk rasionalisasi yang  sering ditemukan antara lain: pertama, menolak tanggung jawab, pelaku korupsi  menganggap bahwa tindakan korupsi dilakukan karena tidak ada pilihan lain

Moral Disengagement
´  Dari proses-proses rasionalisasi ini kemudian berkembang norma-norma yang  seoalah mengabaikan norma yang berlaku di masyarakat luas. Apabila  tindakan ini terus dilakukan individu akan mengalami apa yang disebut  Bandura (1999) sebagai moral disengagement
´  Moral disengagement menjelaskan mengapa individu tertentu dapat  melakukan tindakan-tindakan salah dan tidak manusiawi tanpa merasa  bersalah
´  Rasionalisasi yang dilakukan berulang-ulang akan memunculkan norma  tersendiri yang pada akhirnya merubah sikapnya. Pelaku tindakan korupsi pada  titik ini tidak akan merasa bersalah atas tindakan yang dilakukan

Normalisasi/Divergent Norm
´  Pada level organisasi atau kelompok, individu-individu yang mengalami moral  disengagement saling menguatkan satu sama lain. Dari praktek yang telah  berulang-ulang dan kecenderungan kelompok atau individu di dalamnya untuk  mempertahankan keuntungan dari perilaku ini, kemudian korupsi cenderung  dipelihara.
´  Sehingga tindakan korupsi akan dipandang sebagai suatu tindakan yang dapat  diterima. Pada titik inilah terjadinya proses normalisasi korupsi.
´  Devergent norm yaitu proses berkembangnya norma dalam suatu kelompok yang  jauh dari norma yang diterima oleh masyarakat luas (Nieuwenboer dan Kaptein  (2008)

Proses Normalisasi Korupsi
Disonansi Kognitif (konflik Batin) Rasionalisasi  (menyeimbangkan tindakan dengan sikap) Moral  Disengagement (tidak ada rasa bersalah atas tindakan  yang dilakukan) Divergent Norm (individu dalam  organisasi atau kelompok saling menguatkan atas  tindakan korupsi yang mereka lakukan)

Sumber
Wa Ode Kasrawati;Desember 2012
M. Untung Manara Fakultas Psikologi, Universitas Merdeka Malang
Winda Pransiska Oktapiani Isti; Taskomi.com
Nadiatus Salama; JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 41, NO. 2, DESEMBER 2014: 149 – 164
Anna Mariana; Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2015

*Pemateri pada Sekolah Penggerak Anti Korupsi 2018 yang diadakan atas kerjasama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, 27-29 Juli 2018


Melawan Gelombang Korupsi: Refleksi Teologis!


Melawan Gelombang Korupsi: Refleksi Teologis!

Oleh Pdt. DR. Albertus Patty*



1.         Korupsi adalah penyakit personal, sosial dan bahkan penyakit global yang menghancurkan keaadilan, perdamaian serta keutuhan ciptaan. Makna orisinil korupsi adalah penyimpangan atau penghancuran integritas. Oleh karena itu, lawan dari sikap korupsi adalah integritas. Kesalahan kita selama ini terlalu menekankan pada integritas moral personal untuk melawan korupsi. Padahal integritas personal harus juga ditunjang oleh integritas sistem yang dibangun secara integrated, dan integritas masyarakat baik lokal, nasional dan bahkan global. Perlu reformasi holistik personal, sosial dan bahkan global untuk mengurangi korupsi.



2.         Sejak 1990-an, makna korupsi menjadi penyalahgunaan jabatan publik demi meraih keuntungan bagi diri sendiri. Kini, maknanya diperluas menjadi penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan yang dipercayakan kepada seseorang (baik publik maupun swasta), demi meraih keuntungan bagi dirinya sendiri. Apa pun maknanya, orang yang melakukan praktek korupsi adalah mereka yang mengalami disintegritas, keterpecahan hidup. Orang yang fragmented secara personal cenderung segregated secara sosial. Orang ini hanya berpikir untuk kepentingan diri atau kelompoknya saja. Dia menolak berpikir dan bertindak untuk kepentingan semua termasuk kepentingan bangsa. Orang seperti ini meski packagingnya agamis, contentnya setanis. Outwarldly, bukan inwardly. Orang seperti ini lebih dituntun oleh egoisme dan selfishness-nya daripada dituntun oleh nilai-nilai agama seperti keadilan, persaudaraan dan cinta.  Oleh karena itu, meski penampilannya saleh, praktek hidupnya salah. 



3.         Korupsi sebagai pelanggaran moral-etik agama dan nilai universal sering difasilitasi oleh produk hukum dan sistem yang korup. Artinya tidak selalu produk hukum itu bagus, tetapi tidak selalu juga suatu produk hukum yang bagus ditegakkan. Kita butuh sekaligus, suatu produk hukum yang bagus, yang anti korupsi dan komitmen penegakkannya. Korupsi menciptakan dampak yang destruktif: ketidakadilan, intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat. Praktek korupsi merusak upaya mengurangi kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan menjadi biang keladi penghancuran lingkungan hidup.



4.         Ancaman terbesar korupsi adalah ia mewariskan ‘role model’ keburukan bagi politisi/generasi muda. “Bila politisi atau petinggi sebelumnya korup, mengapa kita tidak boleh korup?” Oleh karena itu, betapa pun ada pengakuan bertobat dan betapa pun sudah menjalani hukumannya, seorang koruptor tidak pantas memegang jabatan apa pun karena nilai buruk yang ia wariskan bagi politisi dan generasi muda. Oleh karena itu, yang terutama dalam korupsi bukan krisis uang, tetapi krisis moral-etik, serta krisis teologis. Ada pembusukan moral, yang berdampak pada  pembusukan hukum dan pembusukan sistem! Celakanya, agama-agama, termasuk gereja, sering mengabaikan persoalan korupsi sebagai sebuah pembusukan moral. Hampir jarang kita dengar khotbah anti korupsi, anti penyalahgunaan jabatan. Padahal, dosa pertama manusia yang dilakukan oleh Adam dan Hawa berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan demi memupuk kekuasaan bagi keuntungan diri sendiri.



5.         Korupsi adalah penyakit global. WCC mencatat bahwa di tahun 2013 saja ada 1 trilyun dollar yang menghilang dari perputaran ekonomi global baik oleh karena praktek sogok, penggelapan pajak dan penggelembungan (mark up) harga berbagai proyek pembangunan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, menurut ICW, pada 2017 kerugian negara akibat korupsi 6,5 trilyun rupiah dengan 1298 tersangka, kebanyakan pejabat tinggi lokal dan nasional. Yang lebih mengejutkan, kasus korupsi di Indonesia sudah seperti sel kanker yang menjalar kemana-mana: eksekutif, legislatif dan yudikatif, dari Mahkamah Konstitusi sampai sipir penjara.



6.         Maraknya korupsi tidak hanya membutuhkan respon moral, tetapi juga membutuhkan respon institusional. Artinya pendekatan moral saja tidak akan pernah mampu mengurangi korupsi terutama bila institusi yang dibangun berpusat pada kekuatan seseorang atau sekelompok orang, tanpa transparansi dan tanpa akses pengawasan masyarakat. Seorang yang buruk secara moral akan dipaksa menjadi baik dalam insititusi yang menerapkan sistem yang baik. Sebaliknya, seorang yang baik secara moral berpotensi tergoda ketika ia berada dalam sistem yang korup. Oleh karena itu, masyarakat, yang menjadi korban, atau institusi agama harus menyuarakan suara kenabiannya agar institusi pemerintah dibangun dalam spirit transparansi dan akuntabel, dan agar konsisten dalam penegakan hukum sehingga mampu bersikap tegas terhadap koruptor.



7.         China, meski bersikap tegas dan keras terhadap koruptor, tidak bisa dijadikan contoh karena sistem pemerintahan China yang terpusat pada sekelompok orang. Tidak ada kontrol yang kuat terhadap pejabat  tinggi yang memerintah China. Kita tidak tahu apakah ‘koruptor’ yang dihukum mati itu benar-benar koruptor atau sebenarnya adalah upaya penyingkiran lawan politik dengan memberi label koruptor. Sebagai perbandingan, negara-negara Skandinavia yang lebih bersih dari praktek korupsi tidak pernah menghukum mati koruptor. Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi dibutuhkan bukan saja penguatan moral, tetapi juga penguatan institusi demokratis yang menerapkan sistem yang transparan dan akuntabel.  



8.         Dalam masyarakat yang demokratis, bersikap apatis, diam atau melalaikan pengawasan terhadap institusi dan lembaga publik berarti ikut dalam ‘conspiracy of silence’ dalam mempertahankan budaya dan sistem yang koruptif. Meskipun demikian, pemberitaan kasus korupsi setiap hari membuat saya khawatir karena bisa menciptakan banalitas korupsi, yaitu korupsi menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Kalau tidak ada korupsi aneh bin ajaib! Kita malah kangen karena sudah membudaya!



9.         Sejauh yang saya ketahui belum ada obat mujarab yang ‘tokcer’ untuk memberantas total korupsi. Korupsi hanya bisa dikurangi melalui strategi yang masif, sistematis dan holistik. Salah satunya dengan membangun ‘integrated system’ yang saling berhubungan dan berkelanjutan. Sehubungan dengan itu, ada tiga komponen yang perlu diperhatikan. Pertama,  perlu dipupuk penguatan integritas moral-etik personal: dari masa anak-anak sampai orang dewasa, dari pejabat paling tinggi sampai pejabat yang terendah. Dari sejak kecil anak-anak bahkan setiap warga negara harus dididik betapa buruknya penyalahgunaan jabatan. Kedua, penguatan struktur organisasi, publik dan swasta, dan masyarakat yang didasarkan pada kultur akuntabilitas dan transparansi. Ketiga, komitmen penegakan hukum. Hak imunitas, kebijakan impunitas atau ‘pengistimewaan’ bagi siapa pun dihapus. Ketiganya adalah ‘integrated system’ yang harus berjalan bersamaan. Salah satu saja mengalami ketimpangan, hancurlah seluruhnya. Kesalahan kita selama ini adalah terlalu menekankan salah satu komponen saja.   



10.     Gelombang korupsi yang melanda dunia dan melanda Indonesia harus dihadapi dengan gelombang perlawanan melalui sinergi semua pihak, baik personal maupun institusional yang berkelanjutan. Korupsi itu persoalan yang sangat serius. Oleh karena itu sinergi institusi agama, institusi pendidikan, berbagai kelompok anti korupsi dan organisasi kepemudaan dan kaum intelektual harus terus ditingkatkan. Sesungguhnya saat melawan korupsi, kita sedang mengangkat kembali manusia pada kemanusiaannya. Koruptor butuh diangkat kemanusiaannya agar ia menjadi manusia yang dibebaskan dari egoisme dan selfishness-nya dan menjadi manusia berintegritas, yang memiliki relasi yang kokoh dengan Tuhan, Sang Penciptanya. Masyarakat yang miskin, korban praktek korupsi harus diangkat kemanusiaannya melalui pembebasan mereka dari praktek dehumanisasi, ketidakadilan dan penindasan.  Institusi public dan kebijakan kita juga harus dimanusiakan dengan membebaskannya dari belenggu selfishness, kekuatan oligarki dan   dari Kita perlu membangun kultur dan struktur yang ‘intgrated’ untuk memfasilitasi manusia agar mampu mencapai kemuliaannya sebagai citra dan gambar Allah, Sang Pengasih.     

*Pemateri pada Sekolah Penggerak Anti Korupsi 2018 yang diadakan atas kerjasama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, 27-29 Juli 2018