Friday, December 16, 2011

TRANSFORMASI PARADIGMA PEMIMPIN BERPOLITIK


Transformasi  sistem politik nasional hakekatnya bertujuan menciptakan  sistem politik yang memperjuangkan politik nilai, sebagai sarana untuk mencapai kebahagian manusia  (Politics is the science of the good for man, to be happiness), dan bukan menjadikan politik sebagai sarana merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Perjuangan yang dilakukan saat ini dalam meletakan kembali negara kita yang berpedomanan pada negara kesejateraan dan demokrasi yaitu mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, memajukan stabilitas sosial, memajukan inklusi sosial dan menghindari eksklusi sosial serta memajukan efiesiensi ekonomi. Dengan demikian negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme melakukan intervensi atau mengoreksi struktur ketidak setaraan, melainkan juga kekuatan dinamis menata ulang relasi sosial. Alasan utama harus melakukan  transformasi paradigma pemimpin perpolitik  adalah karena  ketidakjelasan sistem perpolitikan nasional yang  dijalangkan   sekarang, dan sistem kepemipinan nasional yang rapuh, sementara koalisi yang dibangun oleh partai adalah koalisi yang disertai dengan konspirasi, bukan pada koalisi demi menjalankan fungsi dalam rangka kemajuan bangsa.
Melihat polemik yang terjadi pada panggung perpolitikan dan kepemimpinan nasional sekarang ini, hanyalah bentuk dari bagaimana kekuatan yang ingin menjaga tampuk kekuasaannya. Proses reformasi terus berjalan namun krisis yang berkepanjangan masih terus berjalan pula, persoalan di sektor ekonomi, politik, sosial dan moral peninggalan orde baru belum mampu diselesaikan dengan tuntas. Kuatnya otoritarian kekuasaan telah menjadikan rakyat  sebagia objek dalam pengelolaan  kekuasaan, akibatnya kemiskinan, konflik antar masyarkat  sebagai bentuk permainan kekuasaan para elit, korupsi, kolusi dan nepotisme , penggusuran tanah, eksploitasi sumber daya alam oleh penguasa dan birokrat masih menjadi masalah yang sulit dihapus di republik ini. Rendahnya kontrol masyarakat terhadap kebijakan- kebijakan negara baik pusat maupun daerah telah membuat segala sesuatu berjalan begitu saja.
Kondisi ini, kemudian memunculkan krisis kepercayaan terhadap intitusi negara sebagai pengelola kontrak sosial. Reformasi yang bertujuan untuk mengembalikan negara sebagai pengelola terhadap jalannya struktur sosial yang berpihak pada kepentingan rakyat, justru masih melakukan praktek- praktek  yang menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi,  atau  hanya sebagai alat untuk melakukan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang menopang pada elit kekuasaan. Era reformasi sesungguhnya sangat memberikan harapan kepada kita semua, bahwa  peradapan sistem berpolitikan  segera lepas dari bayang- banyang kemunduran . Kita segera belajar sebagai bangsa yang jujur, terbuka, menghargai keunggulan orang lain, menghargai perbedaan pendapat, inilah menunjukan proses demokratisasi.
Pada Tahun 1999, bangsa ini  belajar berdemokrasi secara langsung, sesungguhnya sebuah kemajuan yang luar biasa bagi peradaban civil society. Potensi-potensi politik yang dulunya bersifat laten dan mengambang menemukan aktualisasi dirinya secara lugas. Namun  harus diakui  bahwa ruang terbuka ini  memang tidak dapat dimanfaatkan bijak oleh para pemegang kekuasaan saat ini, justru tercabut dari akar demokrasi yang kita tanam. Akar yang tumbuh justru melegitimasi polarisasi kekuatan – kekuatan politik.
Alih- alih dalam situasi penyemain budaya politik tidak kondusif itu, pemerintah pusat nampaknya  tidak sepenuh hati  melepas benih sipil begitu saja dengan berbagai instrumen kebijakan yang tersedia, acapkali memasung laju demokrasi itu sendiri.
Era reformasi,  semangat dan niat baik setiap warga negara untuk membentuk  partai politik  sangat meningkat jumlahnya. Pada kenyataan pembentukan partai politik  saat ini , bukanlah karena untuk tujuan perjuangan, namun hanya sebagai proses mendapatkan ruang kekuasaan. Fomomena kondisi partai dan kerakusan para politisi saat ini sangat nampak dalam kompetisi berpolitik untuk merebut “tahta dan harta”  sebagai contoh, ketika dalam ruang perebutan dan kompromi internal partai dalam kompetisi  struktur kepengurusan,  jika  terpilih  salah satu atau sebagian kelompok  kader  sesama anggota, maka sebagian kelompok dari kader yang tidak mendapatkan kesempatan beralih membentuk partai baru ataupun pindah ke partai tertentu, dengan alasan  perjuangan bagi rakyat. Namun semua ini hanyalah bentuk sandiwara, dalam mengganti jas  partai kuning, merah, biru, coklat dan berbagai macam- macam warna, yang tidak tahu sebagai bentuk dan makna dari apa?, untuk siapa semua ini penuh corakan dan hiasaan ilusi lantunan sandiwara kata- kata perjuangan dan kemakmuaran bagi rakyat Indonesia  Tercinta.
Konteks politik yang semakin plural dan kompetitif di era transisi memaksa politisi maupun partai politik memberikan respon dengan melakukan proses investasi politik jangka pendek. Logika untuk memenangkan kompetisi partai politik inilah yang selanjutnya membuat tipe dan pola rekruitmen partai politik di Indonesia cenderung berubah ke arah cath all partay dan pola survival. Perubahan tingkah laku politisi dan partai politik tentu menarik untuk dikaji: pertama, karena, seluruh aktifitas politik yang dilakukan menghadapi dan memenagkan kompetisi politik. Kedua, untuk mendukung logika kompetisi, kepemilikan modal finansial dan modal sosial menjadi sumber daya kekuasaan yang semakin menentukan. Untuk memenangkan pemilihan, kepemilikan modal ekonomi menjadi penting dalam kompetisi karena politisi perlu “memoles diri” secara baik, memperkuat, memelihara basis pendukung dan bahkan selanjutnya harus memperluas dukungan pemilih, dengan mengabaikan aspek penting dalam hal kepemimpinan seperti kapasitas, kapabilitas, integritas, dan loyalitas.
Kehadiran kekerasan komunal, kelas- kelas perantara sebagai shadow state dan politik biaya tinggi  dalam realitas politik Indonesia kontemporer sejalan dengan lemahnya kapasitas negara ( state capacity),  dalam menjalangkan fungsi- fungsi dasar. Beberapa kajian terakhir justru menempatkan Indonesia dalam “ label” negara yang lemah ( weak state),  atau bahkan berkembang sebagai negara yang gagal. Ketika negara semakin lemah dan gagal menjalangkan fungsinya maka negara terancam dikuasai oleh dua kekuatan yang sama dominannya; yakni fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Di satu sisi kegagalan negara untuk menjalangkan fungsi pelayanan publik, menjadi pembenaran bagi aktor- aktor kapital besar dalam sistem ekonomi pasar untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam sektor- sektor publik. Partai politik harus merubah minsdset perpikir dalam membenah sisitem berpolitik di Indonesia seperti  memperkuat publik action hal ini bisa dilakukan melalui: pertama, memperbesar ruang keterlibatan (space of engagement)  masyarakat dalam proses politik. Hal ini penting dilakukan karena tanpa ruang yang cukup maka peluang bagi warga masyarakat untuk terlibat menjadi terbatas. Kedua, perlu penguatan dan upaya memperdalam tingkat keterlibatan warga dalam proses politik. Kesemarakan partisipasi tidak akan berarti sama sekali kalau tidak diikuti dengan semakin dalamnya tingkat keterlibatan. Ketiga, warga perlu melibatkan diri sebagai critical angagment ( keterlibatan kritis), di mana keterlibatan ini bukan berarti masuk menguasai negara sebagai negara, melainkan melakukan peranan kritis dalam proses control pemerintah.
Unit dasar struktur politik adalah peran individu. Peran individu merupakan pola perilaku yang teratur, yang tentukan oleh harapan- harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain. Struktur senantiasa melibatkan fungsi-fungsi politik, dan karena pendekatan yang digunakan biasa disebut sebagai struktur fungsional. Struktur politik dapat di bedakan ke dalam sistem, proses dan aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada organisasi yang memelihara atau mengubah ( maintain change) struktur politik dan secara khusus struktur menampilkan fungsi – fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik.
 Ketiga fungsi ini selalu ada dalam sistem politik. Fungsi sosialisasi politik merupakan fungsi di mana generasi muda  dan anak- anak mendapatkan sosialisasi kehidupan politik dari berbagai institusi seperti keluarga, tempat- tempat ibadah, lingkungan kerja, sekolah dan lain sebagainya. Dalam kaitan fungsi sosialisasi politik sering menjadi hal yang tabu dalam ruang-ruang institusi seperti  diatas, karena kita selalu terjebak pada kewenangan dan ruang hak menyampaikan politik, dimana sosialisasi politik selalu dikaitkan dengan hak dan kewenangan institusi partai politik, karena pola dan sistem politik  selalu terjebak  pada ranah politik paktis  pada ruang kompetisi menjelang momentum pesta demokrasi, atau ruang perebutan kekuasaan. Dan hal ini sering  dialami oleh  masyarakat   yang secara pendidikan politik masih rendah, sehingga dalam ruang momentum  terjadi mobilisasi person, bukan partisipasi person sebagai asas hak politik.
Rekruitmen politik melibatkan proses di mana pemimpin-pemimpin politik direkrut melalui partai- partai politik. Lahirnya pemimpin  yang memiliki komitmen dan kapasitas barang tentu pernah melalui sebuah jenjang pengkaderan, maupun proses perjalanan organisatorisnya melalui tahapan waktu yang lama. Hal ini tentu bisa dinilai bahwa sudah tepat dan sistematiskah partai politik  melakukan mekanisme rekruitmen pemimpin politik?. Realitas pemilu legislatif tahun 2004 dan tahun 2009, telah membuktikan  bahwa partai politik  gagal dalam melakukan mekanisme dan fungsi ini, banyaknya artis , para tokoh masyarakat dan pengusaha yang telah menghiasi wajah perpolitikan bangsa ini. Hal ini membuat kaum  intelektual, aktivis dan para politis yang memiliki kapasitas yang teruji secara pengalaman selalu dikalahkan dengan sistem dan mekanisme politik yang diterapkan dengan sistem menampilkan wajah tanpan, tokoh  yang memilki infestasi basis masa, dan pengusaha  modal besar, sebagi bentuk transaksional politik  mendapatkan kedudukan,  mengalahkan sebagian anak bangsa yang siap berdikari dalam ruang gagasan intelektual dan insting politik gagasan   demi kemajuan bangsa ini.  Secara sadar  sistem dan pola rekruitmen politik tentu harus dirubah dengan  pola  selektif,  seperti melihat kemampuan secara politik, proses pengkaderan secara partai dan kapasitas, kapabilitas, sikap komitmen dan loyalitas atas perjuangan. Dan sudah barang tentu harus  meninggalkan  pola rekruitmen secara instan  demi kepentingan memenangkan kompetisi pemilu maupun memenuhi suara partai, hal ini sesungguhnya bukan sisten berpolitik yang baik.
Hal yang ketiga adalah komunikasi politik untuk menyambungkan bagi keseluruhan sistem agar dapat bekerja sebagai mana mestinya, seperti melakukan artikulasi kepentingan, agresi kepentingan, pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Kita tentu berharap bahwa komunikasi politik tidak hanya sebatas pada ruang struktur formal antara legislatif, eksekutif dan yudikatif ataupun sesama partai pemilik kekuasaan bersama, namun komunikasi politik harus melibatkan para buruh, petani, pedagang, pemulung, dan kelompok yang sampai saat ini tidak pernah merasakan kehadiran negara dalam memenuhi hak hidup.
               Kuatnya orientasi  mengejar kekuasaan di kalangan elit,  sering terjadi pada lembaga  eksekutif  tetapi juga mencakup partai politik, legislatif dan  lembaga peradilan. Ini merupakan salah satu   tujuan dan orientasi  partai politik, di mana setiap partai politik dan pemimpin politik mempunyai argumentasi yang rasional tentang kehadirannya , yang tetap mengedepankan asas dan tujuan utama perjuangan demi kesejahteraan maupun mempertahankan kedaulatan negara. Ketika pada posisi kekuasan partai politik dan pemimpin politik  mempoles  diri dengan komestik argumentasi dan pencitraan, menjadi  pelantunan lagu- lagu perubahan di panggung politik , di depan    ratapan wajah  cemberut dan kulit  kusam anak bangsa,  penuh dengan air mata  dan keringat.
                        Harus disadari dan dilakukan secara komprehensif adalah partai politik segera merubah format pengambilan keputusan yang secara subjektif dengan tidak melibatkan masyarakat dalam ruang partisipasi politik, sehingga dampaknya kebijakan tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.  Partai politik dan pemimpin bangsa ini,  diingatkan kembali bahwa  partisipasi politik warga negara merupakan  tolak ukur untuk menilai berhasil tidaknya perwujudan negara demokrasi. Kedewasaan dan atau kematangan berpolitik suatu negara sangat dipengaruhi oleh derajat pastisipasi politik dalam pembangunan. Dengan kata lain, kematangan politik bangsa berbanding lurus dengan terwujudnya kehidupan yang mengakui dan menjamin adanya partisipasi politik warga negara dalam semua aspek kehidupan untuk mewujudkan  perjuangan politik nilai ( kesejahteraan, keadilah, kebebasan dan lain sebagainya).
               Sebagai bangsa yang dewasa dari segi usia,  perlu melakukan refleksi  apakah kita juga telah matang dan dewasa dalam kehidupan berpolitik? Jikalau belum sudah saatnya kita memulai dari pada tidak sama sekali, dan jika telah ada kematangan marilah  tingkatkan kearah yang lebih demokratis.
                                    S e m o g a.................!

0 comments:

Post a Comment