Friday, December 16, 2011

Pemuda (Terpelajar) Papua di Era Otonomi Khusus


Pertama-tama, sebagai seorang yang pernah terbina di GMKI, kami tentu merasa bangga dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada saudara Gerson Djitmau, Mantan Ketua KNPI Propinsi Papua atas keberanian dalam menulis sebuah buku berkenaan dengan sejumlah permasalahan di tanah Papua terutama yang berkaitan dengan masalah yang melilit pemuda papua dalam melakukan partisipasi pembangunan Papua.
Semua sudah sangat tahu, bahwa Papua merupakan ironi Indonesia terutama berkenaan dengan komplikasinya pengaturan hubungan pusat dan daerah, dan masalah kontemporer yang terkait dengan agenda neoliberalisme. Setidaknya ada kesan paradoks yang muncul ketika melakukan pengamatan umum dan langsung ke tanah Papua, di mana pada satu sisi Papua memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, bahkan mungkin “tidak terukur” dan menjadi daerah penghasil devisa Negara Indonesia yang sangat besar, serta kekayaannya antara lain dikelola oleh salah satu multi national corporation (MNC) pertambangan terbesar di dunia, tetapi pada sisi lain, dalam kesan umum, sumber daya manusianya masih sangat terbatas dan masyarakatnya rata-rata—utamanya masyarakat asli (indigenous people) masih dibawah “garis kemiskinan”.  Demikian pula dengan infrastrukturnya yang masih sangat terbatas.
Apa masalahnya? Secara sederhana, dapat disimpulkan dalam dua soal umum yakni: satu, Pemerintah (Jakarta) sejak pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1963, tidak memiliki kehendak baik (political will) untuk memajukan kesejahteraan rakyat Papua, tetapi lebih cenderung hanya mau menikmati kekayaan tanah Papua; dan kedua, adanya ketakutan berlebihan dari pemerintah (Jakarta) terhadap “agenda-agenda politik lokal sebagian orang Papua” antara lain masalah organisasi papua merdeka. Nah, dilatarbelakangi oleh tarik menarik pendekatan konseptual dan sejumlah perbedaan  pandangan lainnya, akhirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua kemudian disepakati menjadi solusi terhadap ketegangan kronis yang muncul antara Jakarta dan Papua.  Problemnya adalah Otsus ini kemudian diganggu oleh para elit politik yang tidak konsisiten dalam melaksanaannya.  Olehnya, otsus “tidak lagi” menjadi solusi, tetapi memunculkan sejumlah masalah baru dan krusial. Kesejahteraan rakyat papua yang menjadi tujuan suci otsus belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Dalam konteks permasalahan krusial seperti di atas, pemuda papua harus mengambil peran strategisnya dalam melakukan perubahan, pencegahan dan pemberdayaan. Tetapi pertanyaannya Apakah Pemuda (terpelajar) Papua sudah cukup memiliki kapabilitas untuk melakukan perubahan, pencegahan, dan pemberdayaan? Ataukah Pemuda Papua tidak cukup kompeten karena sering terseret dalam politik kepentingan “orang tua” yang saat ini lagi mendominasi pos politik dan birokrasi strategis, pos elit kultural strategis, pos elit perempuan stategis, pos lembaga keagamaan (gereja) strategis?
***
Fakta peradaban, bahwa dinamika perubahan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemudanya, utamanya pemuda terpelajar. Demikian halnya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua. Peran yang dimunculkan, misal saja, dari melahirkan kader politik dan birokrasi yang terbina dalam organisasi pemuda seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GmnI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),  dan organisasi lainnya, sampai dengan terlibat  aktif dalam sumbang saran gagasan otsus. Malahan pada tingkat tertentu pemuda Papua tidak saja melakukan proses kaderisasi, memberikan pemikiran, bahkan, agar ide dan perubahan dapat terimplemantasi pemuda papua melakukan hal-hal yang lebih taktis sampai pada tingkat pengorganisasian aksi massa atau demonstrasi. Dalam dinamika itu, ternyata Pemuda Papua telah menyadari bahwa perubahan dapat dilakukan tidak saja oleh mekanisme kaderisasi pemuda, mengeluarkan dan menyampaikan ide dan gagasan, tetapi pada tingkat tertentu, kalau komunikasi aspirasi dalam menyampaikan ide yang disampaikan dengan berdiskusi tidak lagi efektif, maka langkah demonstrasi dan aksi masa menjadi pilihan strategis.
Memang, dalam konstruksi masyarakat transisi atau sementara melakukan peralihan dari masyarakat tradisional, pemuda terpelajar dapat dikategorikan sebagai masyarakat kelas menengah. Masyarakat kelas menengah dalam terminologi politik memiliki posisi yang signifikan dalam melakukan perubahan-perubahan social dan politik melalui kritik, penyemaian ide dan pengorganisasiannya.  Masalahnya adalah Papua di era otsus ini masih belum menunjukan perbaikan, dan terus mengalami fragmentasi secara geo-politik dan geo-ekonomi. Fragmentasi itu tidak saja datang dari luar secara vulgar, tetapi juga muncul secara sistematik dengan menggunakan kelemahan dan ragam perbedaan di masayarakat Papua.
***
Dalam kondisi Papua yang masih mengalami banyak soal seperti sekarang, pertanyaannya adalah dimana posisi berdiri Pemuda Papua dan bagaimana Pemuda Papua harus berperan? Kalau menggunakan pendekatan lazim, tanpa harus menyebut secara generalisir posisi orang tua dalam konteks kategori sosial yang selalu mempertahankan status quo dan memiliki “keengganan untuk berubah”, dan membaptis posisi pemuda sebagai kelompok sosial yang  selalu berada diposisi berhadapan dengan status quo, karena harus diakui ada juga “orang tua” yang progresif pada perubahan dan orang muda yang “malas” melakukan perubahan, saya kira, kalau belajar dari sejarah bangsa ini, terdapat fakta bahwa setiap tahapan perubahan dibangsa ini selalu terjadi karena adanya ketegangan-ketegangan yang signifikan antara “kelompok orang tua” yang biasanya memiliki posisi politik yang penting dalam menentukan kebijakan politik karena mereka yang umumnya berada dalam ruang-ruang kekuasaan politik versus kelompok pemuda yang terus menerus mengalami kegelisahan dan keinginan melihat perubahan-perubahan, walaupun latar belakang kegelisahannya juga beragam, baik yang semata-mata berjuang dengan kepentingan politik kekuasaannya agar sirkulasi elite politik dan birokrasi cepat berputar atau karena kepentingan pragmatis lainnya, maupun karena semata-mata ingin melihat kehidupan masyarakat papua benar-benar sejahtera dan berkeadilan tanpa dilatarbelakangi oleh kepentingan sempit individu dan kelompok.
Untuk bisa melakukan tanggungjawab mesianik seperti itu, beberapa pra syarat yang harus menjadi perhatian pemuda papua adalah: satu, berani melakukan perubahan perilaku, dengan melepaskan diri dari jebakan-jebakan  pragmatisme dan materialisme, baik jebakan yang datang dari elite politik dan birokrasi Papua, maupun jebakan-jebakan yang datang dari luar. Pendeknya, Pemuda Papua harus memiliki Visi tentang Papua Masa depan, serta memiliki kemandirian, komitmen, konsistensi, kritis, kreatif dan inovatif; dua, pemuda papua harus menjadi pioner dalam membangun mutual trust di antara sesama elemen muda papua sendiri, diantara sesama rakyat papua yang sangat kompleks. Karena membangun masa depan Papua dengan ragam pembelahan horisontal dalam rakyat Papua, tidak akan berjalan kalau terus menerus bermunculan sikap-sikap yang segregatif dan cenderung mudah tersulut konflik; tiga,  terakhir tapi yang paling krusial adalah pengembangan sumber daya pemuda Papua secara sinergis. Mengembangkan secara sinergis adalah pengembangannya harus terarah dan terpadu. Selama ini pengembangan SDM Papua terkesan masih sporadis dan belum tersistematik menjawab kebutuhan-kebutuhan tanah Papua yang berjangka menengah dan panjang. Misal saja, banyak kader, termasuk di KNPI dan GMKI, dan organisasi lainnya  yang cenderung terdistribusi di sektor politik dan birokrasi pemerintahan. Masih sangat jarang pemuda papua memasuki sektor bisnis, apalagi yang berkaitan dengan bisnis di sektor rill. Padahal, kini, dunia tengah berada dalam bangunan kultur ekonomi. Olehnya pengembangan sumber daya pemuda yang berbasis pada rural entrepreneurial leadership menjadi titik masuk strategis dalam mengembangkan budaya kewirausahaan dalam kehidupan pemuda Papua secara khusus dan masyarakat Papua secara umum.

Semoga !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!




PEMEKARAN MENJAWAB KEPENTINGAN ELIT
 Sebuah Catatan Reflektif
Oleh :
 Bung Elias Ijie

v  Sebenarnya Pemekaran dilakukan Untuk Siapa?
Sengaja saya tidak lagi menguraikan lagi mengapa dan seperti apa tujuan pemekaran daerah secara teoritis dan tidak lagi mengangkat tentang kepentingan pemekaran sebagai wacana "idealisme" para elit politik dan masyarakat, katakanlah begitu. Tetapi pada bagian ini saya ingin "to the point" untuk melihat pemekaran secara lebih pragmatis. Melihat dengan lebih pragmatis bagi saya lebih cocok pada konteks kini karena kita semua ingin melakukan evaluasi terhadap politik pemekaran yang dilakukan oleh para elit politik di tanah Papua selama bebarapa tahun belakangan ini. Pertanyaan besarnya adalah Pemekaran dilakukan untuk siapa?
Bagi saya, dan ini bukan rahasia lagi, bahwa pemekaran daerah di tanah Papua, yang kini nyaris tak terbendung adalah kehendak politik dan ekonomi yang datang dari tiga pilar masyarakat yakni para elite politik lokal, birokrat lokal dan pengusaha lokal. Mantan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf, tidak menyangkal kemungkinan bermainnya tiga pilar elite lokal ini dalam mendorong pemekaran wilayah, khusus pasca pemilihan kepala daerah. Umumnya calon yang kalah berusaha mendorong terbentuknya wilayah baru agar ia bisa menjadi Bupati/Walikota atau mendapatkan posisi elite lainnya di wilayah yang di mekarkan itu.
. Selain itu, menurut syarif Hidayat, peneliti dari LIPI, pemekaran yang terjadi di Indonesia sebagaian besar di bentuk berdasarkan kriteria yang tidak realistis. Hanya dengan lobby, jaringan politik dan membayar sejumlah besar uang membuat daerah yang sebenarnya tidak layak di mekarkan akhirnya bisa menjadi daerah otonomi baru. Menurutnya, “pemekaran bukan karena kenyataan tetapi pernyataan.” Baginya sebagian besar daerah pemekaran di bentuk atas usul sekelompok elite politik daerah bukan atas usul masyarakat.
Dari pendapat mengenai pemekaran di atas, dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar daerah pemekaran adalah rekayasa elite yang nantinya bermuara kepada kepentingan mereka. Elite sering membodohi rakyat dengan menyelewengkan otonomi daerah, seolah-olah otonomi daerah bagian dari pemekaran. Pada hal otonomi  daerah itu bukan pemekaran. “Otonomi itu mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, memberdayakan masyarakat sehingga mereka mampu menyelesaikan persoalan sendiri dan menghasilkan  kebijakan kesejahteraan rakyat yang memihak kepada mereka. Apa artinya pelayanan dekat, tetapi kesejahteraan menurun.
Belum lagi kalau kita melihat pemekaran Papua dari perspektif geo-politik dan geo-ekonomi nasional, regional dan internasional. Di mana dalam konteks ini, Papua sesungguhnya merupakan daerah yang banyak diperebutkan oleh para kaum kapitalis yang berada dalam struktur politik dan ekonomi nasional, regional, dan internasional. Saya kira sebabnya sudah kita tahu bersama, karena tanah ini memiliki sumber daya alam yang luar biasa kaya-nya. Karena alasan itulah, saya ingin memberikan dua tanda awas sebagai berikut: satu, bahwa diduga ketidaksiapan elit dan masyarakat terhadap proses pemekaran daerah, akan membawa implikasi yang tidak menguntungkan bagi masyarakat daerah yang dimekarkan; dua, bahwa pemekaran daerah yang terjadi di tanah papua sehingga terbagi dalam wilayah-wilayah yang kecil akan memudahkan untuk dilakukan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan diantara tiga pilar lokal yakni  elite politik lokal, birokrat lokal dan pengusaha lokal dengan para elit politik nasional dan pengusaha nasional yang memiliki jaringan dengan kaum kapitalis internasional". Kalau sudah begitu, maka keuntungan pemekaran akan lebih dinikmati oleh segelintir orang yakni sebagian orang lokal, sebagian orang nasional, dan satu dua orang/perusahan internasional. Sampai disini terlihat jelas aktor-aktor yang paling diuntukngkan dari  pemekaran daerah di tanah Papua.
Olehnya, dapat di tarik benang merahnya, bahwa pemekaran daerah di tanah Papua tidak bisa dilihat dengan menggunakan kaca mata kuda saja atau satu arah saja, tetapi memiliki dimensi-dimensi yang lebih luas dari sekedar definisi teoritis sebuah pemekaran daerah yakni untuk memutus mata rantai rentang kendali pelayanan pemerintahan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran.
v  Merefleksikan Masalah Pemekaran?
Besarnya energi dan biaya yang di keluarkan para elite politik dalam "memperjuangkan pemekaran" membuat mereka "memperjuangkan pengembalian modal” sebagai kompensasi atau balas jasa ke elite politik yang "memperjuangkan pemekaran" tersebut. Selain itu, sejumlah besar dana APBD digunakan untuk pembangunan fisik seperti pembangunan rumah dinas, kantor pemerintah dan sebagainya. Padahal, 70% APBD adalah disumbangkan Negara. Orang yang di tempatkan dalam lingkaran kekuasaan adalah orang-orang dekat sang elite politik. Para pengusaha yang dekat dan pernah berjasa dalam pemekaran dan mendukung sukses sang elite politik  berperan dalam pembanguann fisik. Dan tentunya pembangunan fisik selalu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Oleh karena itu, tidak heran jika dibalik gedung-gedung pemerintahan yang mega berderet gubuk-gubuk miskin milik masyarakat lokal. Anggaran untuk kesejahteraan mereka tersedot oleh para elite politik dan pengusaha yang katanya “berjasa” memekarkan daerah.
Di samping itu, karena ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM),  masyarakat lokal yang tadinya diharapkan dapat menduduki sejumlah posisi di kantor-kantor pemerintah ternyata terganjal karena masalah SDM tersebut, dan masalah kontrak-kontrak sosial dan politik yang terjalin antara elite dengan kekuatan di luar masyarakat lokal. Harapan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan infra struktur jalan, jembatan yang menghubungkan kota kabupaten dengan kampung-kampung serta jalan trans antar kabupaten dan kota, ternyata peluang ini sudah dicermati lebih dahulu oleh mereka yang bukan penduduk lokal. Hasilnya berbagai mata rantai perdagangan/bisnis masuk menjajaki ke wilayah pemekaran mulai dari pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan pengusaha besar, yang menguasai dan mengatur sistem perekonomian di kota-kota hingga kampung-kampung misalnya seperti kios-kios, rumah makan, pemangkas rambut, jasa angkut dan lain sebagainya yang di dominasi oleh kaum migran. Jasa angkut di wilayah-wilayah pemekaran benar-benar di kuasai oleh kaum migran. Padahal tadinya diharapkan dengan adanya perbaikan infrastruktur oleh pemerintah, masyarakat lokal dapat berakses terutama dalam dunia ekonomi.
Barangkali contoh-contoh di atas  dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa pemekaran yang katanya bisa meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua perlu di pertanyakan? sejumlah prasarana dan sarana yang di gunakan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal, sangat kecil dampaknya. Malah, kaum imigran yang cekatan menggunakan fasilitas tersebut untuk berbisnis. Barang-barang dagangan diangkut dengan kapal perintis, bahkan kapal-kapal perintis ini  telah mengangkut ratusan kendaraan roda dua secara  bertahap untuk di jadikan jasa tranportasi ojek di daerah pemekaran. Selain itu, dengan dibukanya jalan-jalan trans, daerah-daerah yang dulu  tidak ada orang berjualan, mulai terlihat satu demi satu membuka kios dan usaha lainnya. Penduduk lokal hanya sekedar menggunakan sarana  transportasi laut yang tersedia dan infrastruktu jalan raya guna mengunjungi kaum keluarga atau pulang pergi liburan sekolah bagi anak-anak sekolah.
Lagi-lagi, pemekaran akhirnya tidak menjawab dua kebutuhan strategis diatas yakni: satu, kebutuhan pengelolaan pembangunan dan pelayanan public yang terkelola dengan baik dan dekat dengan kebutuhan public itu sendiri; dua, kebutuhan  historis kritis "otsus Papua", bahwa "tanah dan orang Papua" haruslah di proteksi (to protect), dipromosikan (to promote), di penuhi (to fulfill) hak-hak sipil politiknya (sipol) dan hak-hak ekonomi, social, budaya (ekosob).

                                   Semoga.....................!!!!!!

0 comments:

Post a Comment