Kebangkitan
Nasional Indonesia ditandai dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 yang
disertai berdirinya perkumpulan/organisasi pemuda lainnya. Perkumpulan atau
organisasi tersebut mengangkat persoalan-persoalan bangsa. Pemuda sebagai tokoh
sentral gerakan kebangkitan nasional Indonesia. Sampai goal-nya
pada kemerdekaan Indonesia.
Setelah
satu abad lebih (106 tahun) Kebangkitan Nasional Indonesia berlalu, wacana-wacana
kebangsaan yang lama masih terus diangkat sampai sekarang. Misalnya kemiskinan,
kebodohan, penindasan, kekerasan, dan lain-lain.
Hari
Kebangkitan Bangsa/Nasional Indonesia sudahkah dimaknai dengan Kebangkitan dari
persoalan bangsa/nasional sekarang? Bagaimana dengan nilai-nilai Pancasila saat
ini?
Kebangkitan
Nasional Indonesia hampir dilupakan. Terutama di tahun politik saat ini.
Sehingga perlu ada usaha untuk membangun kesadaran masyarakat tentang
kebangkitan nasional Indonesia.
Mulai
21 Mei 1998, kita masuk era Reformasi. Reformasi bisa diartikan sebagai proses pembaruan.
Apa kabarnya Reformasi kita hari ini?
Merefleksi Kebangkitan Nasional Indonesia saat ini, agenda reformasi seperti stagnan. Pasca Reformasi
1998, seharusnya perlu ada cetak biru (blue
print) tentang Indonesia yang dicita-citakan. Reformasi seharusnya bukan
cuma struktural saja. Tapi menyangkut ideologi dan sistem.
Pemiskinan
dan pembodohan masih relevan menjadi isu sentral saat ini. Pemiskinan dan
pembodohan juga bisa kita jadikan musuh bersama saat ini.
Sejarah
Gereja menunjukkan isu yang menjadi sorotan adalah pendidikan dan kesehatan. Visi
mewujudkan shallom Allah menjadi visi yang menjiwai. Ironisnya, Gereja saat ini
terkesan lebih sibuk dengan program-program internal dan kerohanian. Kurang
mendalami permasalahan bangsa.
Kembali
ke Pancasila, nilai-nilai Pancasila perlu kembali digelorakan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Bukan hanya pemanis regulasi.
Membangun
integritas menjadi kebutuhan krusial di tengah permasalahan etika moral bangsa
saat ini. Orang yang getol menyuarakan etika moral politik. Ternyata malah
melanggarnya. Yang salah orangnya atau sistemnya?
Ekonomi
Indonesia saat ini dibatasi dengan sistem yang kurang/tidak menimbulkan
interaksi antar personal. Pasar modern memudarkan dan menghilangkan interaksi
antar personal. Termasuk mempengaruhi budaya masyarakat.
Tiap
orang saat ini menjadi hedonis dan individualis. Budaya dan ekonomi liberal
merasuk juga dalam dunia pendidikan dan kesehatan. Ekonomi lokal Indonesia
seolah kalah dengan ekonomi asing. Dan memunculkan pertanyaan: Sudah siapkah
Indonesia sebagai negara berkembang menghadapi perdagangan bebas?
Indonesia
saat ini belum sepenuhnya merdeka. Paradigma hukum perlu kita luruskan. Hukum
untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Kesenjangan sosial dan budaya
kolonial saat ini juga masih terasa mempengaruhi sistem dan struktur sosial
Indonesia. Untuk itu, Indonesia membutuhkan persatuan dan kesatuan memecahkan
permasalahan bangsa yang kompleks.
Aksi
untuk memecahkan masalah bukan hanya turun ke jalan. Aksi intelektual dan aksi
nyata bisa juga kita kembangkan. Mengkritik dengan tulisan, menginisiasi
pendidikan alternaltif, dan lain-lain.
Orang-orang
besar lahir dari tindakan dan karya yang nyata. Dimana tindakan dan karya
tersebut dilandasi pengetahuan/referensi yang kuat. Membaca, berdiskusi, menulis,
dan bersosialisasi menjadi aktivitas penting. Karena mahasiswa yang sejati
adalah mahasiswa yang kritis, terasah kepekaan sosialnya, mengaplikasikan
ilmunya, dan mampu berinteraksi/bersosial.
Dari
pelaksanaan peraturan-peraturan yang ada, kita bisa cari celah untuk
mengkritisi dan melakukan aksi nyata. Bidang pekerjaan apapun bisa kita
manfaatkan untuk melakukan sesuatu yang mengarah pada kebaikan. Ada banyak hal
yang bisa dilakukan.
Potensi
yang ada perlu diberdayakan dan dimaksimalkan meskipun menjadi minoritas
kreatif. Isu budaya populer bisa kita manfaatkan untuk membangun kesadaran dan
rasa kebangsaan.
Kearifan
lokal sangat perlu diangkat dalam permasalahan bangsa saat ini. Karena
sebenarnya inti dari permasalahan bangsa Indonesia saat ini adalah kehilangan
integritas.
Sebagai
negara dunia ketiga, kita perlu memantapkan lagi identitas diri. Tapi sekarang
ini ada semacam standarisasi pendidikan tanpa pemenuhan fasilitas yang memadai.
Kita
dipaksa untuk bisa dan hebat oleh negara. Padahal fasilitas sistem tidak
mendukung. Motivator pun menjadi makin marak belakangan ini untuk
“menyemangati” orang-orang yang kebingungan.
Dalam
GMKI, kekristenan yang oikumene harus juga dilandasi dengan nasionalisme. Fungsi
kritik dan kontrol perlu dilakukan setiap saat. Sehingga menjadi garam dan
terang dalam konteks ke-Indonesia-an.
GMKI,
sebagai gereja incognito, perlu lebih lagi menjiwai kesatuan tubuh Kristus.
Konflik internal dan eksternal yang ada perlu disikapi serta dipecahkan dengan
bijak. Sehingga tidak menimbulkan perpecahan dan menghambat peran kita untuk
mewujudkan shallom Allah.
Jangan
kita hanya berdiskusi dan berkoar-koar tentang idealisme. Tapi kita juga perlu
berdiskusi dan berupaya untuk mempertahankan idealisme di dunia nyata. Karena
seringkali idealisme bisa hilang karena kebutuhan yang harus dipenuhi dan
kenyamanan hidup (jabatan dan kedudukan).
Akhirnya,
mari kita mencapai tujuan untuk menjadi orang yang memiliki spritualitas, integritas,
dan profesionalitas!
Hasil diskusi tematis GMKI Cabang Yogyakarta 21 Mei 2014 bertema “Kebangkitan
Nasional dan Refleksi Reformasi Indonesia”. Diskusi dipantik oleh Gloriansi
Umbu Heingu Deta (Ketua Cabang BPC GMKI Yogyakarta 2011-2013) dan dimoderatori oleh
Herman Ngkaia (Sekfung Akspel, BPC GMKI Yogyakarta 2014-2016).