Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Sunday, October 13, 2013

Hidup untuk Memperkembangkan Kehidupan

Sekitar 2500 tahun yang lalu, seorang bijak bernama Socrates mengatakan, “Hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani”. Bagi Socrates, kalau orang tidak pernah merenungkan makna keberadaan hidupnya, tidak tahu tujuan hidupnya, dan tidak memahami apa yang mesti dilakukan dengan hidupnya, maka orang itu tidak pantas hidup. Karena orang seperti itu hanya asal hidup, asal bertahan, asal mengada, asal bisa aman, dan dapat makan. Orang semacam itu sama seperti makhluk yang lain.

Sejak itu, orang-orang Yunani terus bertanya, “Bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia? Bagaimana manusia harus hidup agar hidupnya baik atau bermakna?”. Hidup yang baik dan berhasil bagi orang-orang Yunani bukanlah sekedar mempertahankan hidup (survival), melainkan adalah hidup yang bermutu, bernilai, bermakna, dan mencapai kualitas maksimum yang dapat direalisasikan.

Lebih lanjut, orang-orang Yunani juga mengaitkan hidup yang bermakna dengan kebahagiaan. Lalu mereka bertanya, “Bagaimana mencapai kebahagiaan?”. Aristoteles memperlihatkan bahwa umumnya dikenal tiga pola hidup yang dapat membuat manusia bahagia. Pertama, mencari kenikmatan (hedonisme). Kedua, mencari kehormatan (harga diri, nama besar, dan kemuliaan diri). Ketiga, merenungkan hal-hal Ilahi dan aktualisasi diri.

Aristoteles menolak cara hidup hedonis sebagai sumber kebahagiaan. Karena itu bukan khas manusiawi. Hewan pun mencari nikmat.

Ia juga menolak kehormatan sebagai sumber kebahagiaan. Karena orang umumnya dihormati dengan adanya jabatan atau kekayaan. Lalu setelah hilang jabatan dan kekayaan, ia tidak dihormati lagi.

Menurut Aristoteles, semestinya orang dihormati karena ia adalah manusia yang bijaksana. Manusia hanya dapat mencapai hidup yang baik dan bahagia, apabila ia merenungkan hal-hal Ilahi dan mengaktualisasikan potensinya bagi orang lain. Artinya kita mesti membuat hidup kita berguna bagi sesama, bukan semata-mata mengejar kepentingan diri.

Perumpamaan yang dikatakan Yesus tentang talenta (Matius 25 : 14-30) hendak mengajak manusia untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara aktif sebagaimana dimaksud Aristoteles juga. Dalam perikop Firman Tuhan tersebut, dikisahkan tentang tiga orang yang mendapat jumlah talenta yang berbeda-beda, tetapi sesungguhnya hanya ada dua tipe manusia di situ. Tipe manusia pertama adalah orang yang mendapat lima talenta dan dua talenta. Keduanya adalah manusia aktif, mau bekerja, mau mengaktualisasikan potensi yang diberikan, mau menciptakan sesuatu, mau merealisasikan diri.

Menariknya bahwa walaupun kedua-duanya menghasilkan laba yang berbeda-beda, namun sang tuan tidak mempersoalkan besar-kecil laba yang dihasilkan. Kepada yang mendapat lima maupun dua talenta, sang tuan memberi pujian dan penghargaan yang sama. Sang tuan itupun berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.”

Kedua hamba itu mendapat penghargaan yang sama, bukan karena kuantitas (jumlah) hasil yang diperoleh, melainkan karena usaha dan kemauan mereka untuk secara aktif mengembangkan potensi yang diberikan. Itulah sebabnya sang tuan menghargai mereka dan memperkenankan mereka turut menikmati kebahagiaan.

Berbeda dengan kedua orang itu, tipe manusia yang kedua adalah manusia yang malas, pasif, dan menguburkan potensinya. Ia digambarkan sebagai hamba yang setelah menerima talentanya, lalu pergi, menggali lobang, dan menyembunyikannya (ayat 18). Hamba ini dituduh sebagai jahat dan malas, maka talenta yang diberikan kepadanya ditarik kembali oleh tuan.

Jenis manusia yang pasif semacam ini tidak layak ada dan hidup. Karena keberadaannya tidak berguna sama sekali. Dengan tegas sang tuan berkata: “Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya” (ay 29). Artinya hanya manusia yang memiliki kemauan untuk secara aktif mengembangkan diri-lah yang layak diberi kesempatan.

Sementara manusia yang tidak memiliki kemauan, hanya mau pasif, mau malas-malasan, dan tidak peduli; ia tidak layak diberi kesempatan untuk mengerjakan sesuatu lagi. Ia akan kehilangan segalanya, termasuk kebahagiaan.

Tema  Hidup  untuk  Memperkembangkan Kehidupan  adalah sebuah seruan agar kita mau secara aktif mengaktualisasikan diri bagi Tuhan dan bagi orang lain (sesama). Kita tidak bisa hanya berdiam diri, pasif, tidur, malas- malasan, cuek, acuh tak acuh, ataupun hanya pikir diri sendiri. Kalau ini yang kita lakukan, maka sesungguhnya kita sudah mengubur diri kita, dan hidup kita sudah tidak bermakna lagi.

Mengembangkan kehidupan berarti secara aktif menyadari potensi-potensi diri dan mau mewujudkannya agar bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Itu berarti mau mengaktualisasikan diri.

Mengaktualisasikan diri berarti tidak berdiam diri, pasif, malas- malasan, dan egoistik; melainkan secara aktif bekerja, menciptakan sesuatu, menghasilkan sesuatu dari diri kita, serta memberikannya bagi sesama. Hanya orang yang secara aktif mengaktualisasikan dirilah yang berbahagia. Karena melalui karyanya, ia bisa melihat siapa dirinya.

Apapun potensi diri kita, kecerdasan kita, bakat kita, sedikit atau banyak, harus kita wujudkan dalam hidup ini.

Sebagai pengikut Yesus, ada pekerjaan yang melekat dalam kita. Yakni tugas menghadirkan kerajaan Allah: shalom, kebaikan, damai sejahtera, kebenaran, dan keadilan. Itu berarti marilah kita senantiasa mengembangkan diri, memajukan potensi kita, menjadi manusia yang berkualitas, agar berguna secara maksimal bagi sesama. Kalau kehadiran kita mampu membuat orang lain menjadi lebih baik, maka di situ kita sudah menghadirkan kerajaan Allah. Dengan begitu hidup kita sudah dikembangkan, sudah mekar, sudah harum, dan sejuk bagi sesama.

Demikian juga hidup kita akan menjadi bermakna, sebagaimana dimaksudkan Socrates. Mau tidak mau, itu adalah bagian dari tugas memperkembangkan kehidupan yang mesti kita lakukan sebagai pengikut Yesus di tengah-tengah dunia ini, sehingga melalui hidup kita, Tuhan Yesus kita dimuliakan.

Kadang-kadang kita tidak tahu talenta/potensi dalam diri kita sepenuhnya. Setiap kita sebenarnya punya potensi yang banyak. Cara mengetahui talenta/potensi adalah dengan bertanya/berdialog dengan orang lain.

Seiring usaha kita untuk mencoba belajar, talenta kita bisa bertambah dan berkembang. Semakin maksimal talenta kita, talenta kita akan makin bermanfaat bagi orang lain. Dan semakin besar tanggung jawab kita. 

Hendaknya kita belajar dan mengembangkan banyak potensi sampai kita bisa memaksimalkan potensi kita.

Aktualisasi diri mungkin agak berat. Butuh usaha. Abraham Maslow (psikolog kepribadian) pernah berpendapat bahwa ada 5 hierarki kebutuhan manusia. Yakni: Kebutuhan Fisiologis, Kebutuhan Keamanan, Kebutuhan Sosial, Kebutuhan Penghargaan, dan Kebutuhan Aktualisasi Diri.

Itu berarti aktualisasi diri merupakan capaian tertinggi manusia. Untuk mencapainya, ada juga fase-fase yang harus dilewati dan dijalani. Sehingga perlu kesinambungan dan konsistensi.

Sudahkah hidup kita dipertanggungjawabkan?  Sudahkah hidup kita memperkembangkan kehidupan?







------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta pada tanggal 10 Oktober 2013. Bertempat di Student Centre GMKI Cabang Yogyakarta, Wisma Immanuel, Samirono Baru 54, Yogyakarta. Bahan renungan diambil dari buku Spiritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013. Disampaikan oleh Johanis Umbu S. Anakaka (Ketua Bidang Pendidikan Kader dan Kerohanian, Badan Pengurus Cabang GMKI Cabang Yogyakarta 2011-2013).