Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Thursday, September 12, 2013

Kekuasaan yang Melayani dan Dipatuhi

Jika menoleh sejenak ke belakang, dalam sejarah kekristenan, hubungan antara umat percaya (baca: Gereja) dengan Negara (baca: pemerintah) seringkali diwarnai dengan ketegangan-ketegangan, kontroversi dan pasang surut. Suatu saat, Negara (pemerintah) menguasai orang percaya (gereja) seperti zaman Konstatinus Agung. Namun sebaliknya ada saatnya dimana Gereja mendominasi Negara. Ini terjadi misalnya di abad pertengahan ketika kekuasaan Paus begitu hebat sampai-sampai para raja yang hendak berkuasa harus mendapat restu dari dirinya. Dalam masa itu, posisi Negara (pemerintah) menjadi sub-ordinat dari gereja. Kalau demikian persoalannya, maka pertanyaan yang mencuat ke permukaan adalah bagaimana seharusnya sikap ideal yang mestinya diambil oleh orang percaya (gereja) vis a vis (berhadap-hadapan) dengan Negara (pemerintah)?

Perikop Surat Roma 13:1-7 merupakan bagian Alkitab yang secara tegas berbicara tentang bagaimana sebenarnya sikap ideal orang percaya (gereja) terhadap  pemerintah. Rasul Paulus dalam nats perikop ini memberikan pengajaran yang tegas dengan sebuah pernyataan: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya …” (ayat  1).

Ada 3 (tiga) penekanan yang perlu diperhatikan dari pernyataan ini. Pertama, Allah adalah mutlak pemegang pemerintahan atas bangsa-bangsa. Dialah yang menempatkan para pemegang pemerintahan dan di belakang segala pemerintahan di dunia yang ada adalah kedaulatanNya. Kedua, setiap orang Kristen harus mengakui negara, menaati kekuasaan yang sah selama ketaatan ini tidak bertentangan dengan hukum Allah atau kuasa Kristus, dan mendoakan orang-orang yang memegang jabatan yang bertanggungjawab (bandingkan dengan 1 Timotius 2: 1-7). Ketiga, orang Kristen harus menaati pemerintah adalah karena suara hatinya.

Pemerintah dimana orang Kristen (gereja) harus takluk atau taat adalah pemerintah yang menghargai kebaikan, menghukum orang yang melakukan kejahatan, mensejahterakan rakyatnya, dan mendatangkan keamanan bagi rakyatnya. Pemerintah yang harus kita patuhi/tunduk adalah pemerintah yang mampu mengayomi, menjadi teladan, bersih, tegas, dan, takut akan Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan yang demikian harus ditaati, sebab ia menjadi kepanjangan tangan dari Allah yang penuh kasih, tertib, dan teratur (Bandingkan Matius 25:36-41).

Dalam perikop surat Rasul Paulus kepada jemaat Roma tersebut juga, Rasul Paulus menyebut “pemerintah” dengan “exousia”  (bahasa Yunani) yang berarti kekuatan yang supranatural, kekuatan yang luar biasa. Tapi ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pemerintah/penguasa yang ada. Karena Rasul Paulus jelas menyebutkan bahwa tidak ada kekuasaan yang tidak berasal dari Allah. Sehingga pemerintah yang memerintah/mengatur tetap punya tanggung jawab etis moral kepada Allah.

Allah jelas tidak bisa menoleransi sebuah anarki (keadaan tanpa hukum dan peraturan). Tujuan Allah adalah kehidupan manusia dalam masyarakat merupakan kehidupan yang penuh keharmonisan, kedamaian, dan ketertiban (Lihat Roma 12:10,18). Bila yang terjadi adalah pemerintah yang ada di atas orang percaya ternyata menyalahgunakan kekuasaan yang dipegangnya atau pemerintah yang dipercaya Allah ternyata “merusak” dan mengabaikan hukum Allah serta malah membuat orang Kristen harus bergumul dengan imannya kepada Allah, maka pemerintah yang demikian tidak harus dipatuhi. Pemerintah yang demikian harus ditentang!

Kesetiaan dan ketaatan kita terhadap pemerintah berhenti ketika pemerintah itu mulai bertindak tidak sesuai dengan hukum Allah. Ketaatan kepada Allah dan hukumnya harus lebih utama daripada ketaatan kepada pemerintah. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa ketaatan orang percaya (gereja) kepada pemerintah adalah ketika pemerintah yang memakai kuasa yang diberikan Allah untuk melayani masyarakat demi kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai bukti ketaatan orang Kristen kepada pemerintah dalam kehidupan sehari-hari, Paulus menyatakan: “Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah. Bayarlah kepada orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat (Roma 13: 7).

Saat ini, kekuasaan seringkali dipandang sebagai merangkul semua orang dan berbuat yang “wow”. Padahal setiap kita sebenarnya memiliki kekuasaan sendiri-sendiri. Tidak harus menjadi politisi/wakil rakyat.

Sebagai contoh, ada kepatuhan pasien TBC di suatu tempat yang ingin sembuh dengan rajin minum obat mereka. Tapi petugas medis (kesehatan) yang melayani mereka kurang/tidak patuh terhadap peraturan medis. Mereka lalai terhadap tugas pelayanannya sehingga membuat banyak pasien TBC tidak terselamatkan.

Dalam kajian kebijakan publik, ada teori yang mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa sepenuhnya menjadi hakim yang netral. Ada keberpihakan. Sikap orang Kristen (sebagai rakyat dan bersama rakyat lain) terhadap pemerintah seharusnya mengingatkan serta menegur dengan berbagai cara. Karena kita masing-masing memiliki hak, kekuasaan, dan kewajiban untuk itu.

  T.B Simatupang mengatakan bahwa partisipasi Kristen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harusnya positif (selalu berusaha memberikan sumbangsih yang baik bagi pemerintah dan warga lainnya), konstruktif (ikut ambil bagian dalam pembangunan bangsanya), dan sekaligus kritis (tidak boleh takut-takut untuk memberikan masukan dan koreksi kepada pemerintah demi kebaikan rakyat dan diberlakukannya hukum Tuhan).

Suatu kali, beberapa teman Kristen mengajak teman-teman Kristen lain untuk ikut aksi damai. Tapi respon mereka yang diajak seolah sinis. Mereka berkata, “Orang Kristen kok demo? Kok melawan pemerintah? Biarlah kita berdoa saja.”

Berkaca pada kisah tersebut, kita perlu ingat kembali bahwa pemerintah/penguasa juga adalah manusia. Manusia tidak bisa sempurna sepenuhnya. Pasti ada hal yang kurang atau salah. Dan kita harus bertindak untuk mengkritik, menegur, atau mengingatkan.

Coba bayangkan kalau Tuhan Yesus hanya berdoa tanpa turun ke bumi. Apakah manusia akan diselamatkan?






------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini merupakan hasil diskusi Ibadah Pendalaman Alkitab (PA) GMKI Cabang Yogyakarta 5 September 2013. Bertempat di Student Centre (SC) GMKI Cabang Yogyakarta.
Bahan diskusi diambil dari buku Spiritualitas GMKI Edisi Juli-Desember 2013. Dan disampaikan oleh Arthon Teny Wunu (Sekfung Minat dan Bakat-BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB. 2011-2013)