Ada
seorang penginjil yang mengkritik penginjilan melalui aksi sosial (seperti yang
dilakukan GMKI dan gereja Katolik) serta menghendaki penginjilan langsung. Padahal
sebenarnya penginjilan melalui aksi sosial juga diperlukan untuk daerah-daerah tertentu
yang belum terpenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam
perikop Injil Lukas 10:38-42 dan Yohanes 11, Maria dan Marta sama-sama dekat
dengan Tuhan Yesus. Perbedaannya bisa kita lihat Yohanes 11:32 “Setibanya
Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan
kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: "Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini,
saudaraku pasti tidak mati."
Maria
lebih memilih dekat dengan Tuhan Yesus untuk duduk diam dan
mendengarkan/berbicara dengan Tuhan Yesus. Sedangkan Marta melayani dalam
pekerjaan rumah tangga (kemungkinan menyiapkan makanan dan minuman).
Jika
kita cermati Lukas 10:39b, kita mendapati bahwa Maria lebih serius dengan
mencari kebenaran dan Kerajaan Sorga dari Tuhan Yesus. Maria pernah meminyaki
kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. Ada semacam ketulusan hati Maria.
Dalam
konteks budaya Yahudi, konteks budaya Indonesia, atau konteks budaya universal yang
“paternalistik”; apa yang dilakukan Marta nampaknya sudah benar. Sebagai nyonya
rumah atau pemilik rumah, tentu ia akan melayani tamunya dengan baik. Tapi
anehnya Tuhan Yesus menegur Marta. Mengapa Tuhan Yesus menegurnya?
Dari
perkataan yang diucapkan Marta, kita bisa mendapati suatu ekspresi mengeluh terhadap
apa yang diperbuat oleh Maria, saudaranya.
Selain
itu, Marta sibuk sekali melayani (Lukas 10:40 dalam bahasa Yunani “perispaĆ”
dan dalam terjemahan ESV “distracted”).
Sehingga ia menjadi tidak fokus dengan pelayanannya.
Berkaca
dengan kisah Maria dan Marta tersebut, bagaimanakah dengan diri pribadi kita
dan pelayanan kita?
Bagaimanapun
sibuknya kita hendaknya kita kembali dekat dengan Tuhan. Ada waktu kita untuk
kita mendengar Tuhan dan ada waktu kita untuk berbuat/berpelayanan.
Marilah
kita memiliki hati seperti Maria di dunia Marta. Menjadi Maria dan Menjadi
Marta.