Isu pendidikan saat ini menjadi
fenomena klasik yang tidak habis dibahas. Misalnya tentang kurikulum yang terus
berganti menyesuaikan menteri pendidikan dan kebudayaan yang menjabat.
Pendidikan sesungguhnya menjadi
pergumulan bangsa dan “urat nadi” bangsa. Hal tersebut sesuai dengan yang
tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD
RI 1945)tentang tujuan negara Indonesia. Yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita melihat sejarah, pendidikan
di Indonesia kemungkinan bermula dari pendidikan di zaman kolonial Belanda
(bagian dari politik Etis). Kemudian pendidikan berkembang menjadi diselenggarakan
dan dikelola oleh rakyat Indonesia. Dimana saat ini pendidikan yang didirikan
oleh kalangan rakyat biasa dan masih bertahan adalah institusi pendidikan milik
Ki Hajar Dewantara (Tamansiswa), NU,
Muhammadiyah, Yayasan Kristen, dan Yayasan Katolik.
Di tengah pendidikan Indonesia
yang beragam tersebut, ada beberapa masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan
Indonesia. Kurikulum Indonesia lebih banyak merupakan adopsi dari negara asing.
Hal tersebut dimungkinkan karena Indonesia masuk dalam Organisasi Perdagangan
Dunia (World Trade Organization/WTO) dan
pemerintah Indonesia dipengaruhi oleh kepentingan negara maju tentang
pendidikan.
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) juga
mempengaruhi pengelolaan pendidikan Indonesia oleh pemerintah. Pendidikan
menjadi komoditas yang diperjualbelikan (berorientasi pasar). Pendidikan
seringkali menjadi previledge. Padahal
sesuai amanat UUD RI 1945, pendidikan merupakan hak setiap warga negara dan negara
wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional .
Pendidikan Indonesia yang berorientasi
pasar tersebut bisa kita lihat dengan orientasi pengelolaan pendidikan yang
mengejar pemenuhan kebutuhan pasar. Contoh nyatanya adalah desain memperbanyak Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) yang menyediakan tenaga siap kerja (bahkan melebihi
jumlah SMA). Sehingga melihat realitas-realitas tersebut, perlu kiranya adanya
pencabutan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 yang meratifikasi pendirian WTO.
Kembali pada masalah kurikulum,
rancangan kurikulum 2013 pun menuai reaksi negatif dari masyarakat. Kurikulum
terbaru tersebut berpotensi menghapuskan mata/materi pelajaran (mapel) muatan
lokal dan kearifan lokal. Yakni mapel yang mempelajari bahasa daerah dan budaya
daerah dimana institusi pendidikan berada.
Fenomena pendidikan yang tidak berbasis
lokalitas memang sudah berlangsung lama di Indonesia. Misalnya melalui buku
pelajaran dan istilah-istilah pendidikan yang berorientasi Jawa. Tapi kurikulum
2013 akan lebih besar pengaruhnya bagi hilangnya pendidikan berbasis lokalitas.
Fenomena permasalahan kurikulum
pendidikan nasional Indonesia lainnya adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) seringkali menciptakan kurikulum baru terus. Padahal tidak ada
evaluasi dari kurikulum sebelumnya atau kurikulum yang sudah dilaksanakan.
Guru sebagai orang yang
mempraktekkan kurikulum pun seringkali tidak dimintai partisipasi dalam
pembuatan kurikulum. Sehingga kemungkinan besar kurikulum dan pelaksanaannya
tidak sesuai dengan realitas tempat para guru mengajar.
Akhirnya, pendidikan seharusnya menjadi sarana
olah nalar/pikir dan rasa manusia. Timbul juga beberapa pertanyaan tentang
dunia pendidikan Indonesia. Apakah mungkin pendidikan Indonesia yang
berorientasi pasar untuk menghadapi persaingan/perdagangan bebas 2015? Sudah
siapkah kita dan rakyat Indonesia bersaing secara global? Lalu, bagaimana dan
dimana peran orang kristiani dan yayasan pendidikan kristiani?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hasil diskusi tematis rutin GMKI Cabang Yogyakarta
tentang “Pendidikan Nasional” tanggal 14 Mei 2013. Bertempat di SC GMKI Cabang Yogyakarta.
Gloriansi Umbu Heingu Deta/Orrie (Kecab) yang menjadi narasumber dan
dimoderatori oleh Roberto Tanduk (Kabid Or).