Ekonomi
dan lingkungan (ekologi) seringkali ditabrakkan. Padahal keduanya memiliki akar
kata yang sama dalam bahasa Yunani. Yakni oikos
yang berarti rumah tangga.
Menurut
data World Economy Forum, ada 12
pilar penilaian negara-negara di dunia. Yaitu: makro ekonomi, pasar, efisiensi
buruh, dan lain-lain. Dari data tersebut, hal yang paling menarik adalah Indonesia
unggul dalam ukuran pasar dan pertumbuhan ekonomi (secara keseluruhan/makro
ekonomi). Tapi ironisnya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berbanding lurus
dengan kondisi pendidikan dan kesehatan di Indonesia (yang memprihatinkan).
Seperti
kita ketahui dan dapat kita rasakan, pendidikan dan kesehatan Indonesia kurang
serius digarap oleh pemerintah. Bahkan seringkali mekanisme pasar dan permainan
pemodal bermain di kedua sektor tersebut.
Pendidikan
dan kesehatan sebenarnya bisa dikaitkan dengan isu kelestarian lingkungan.
Pendidikan yang kurang baik akan berakibat pada pemeliharaan kesehatan yang
kurang dan kerusakan lingkungan. Kesehatan pun mempengaruhi tingkat penyerapan
pendidikan dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang ada.
Kembali
pada pertabrakan ekonomi dan ekologi, ekonomi dianggap berlawanan dengan
ekologi karena implementasi ekonomi dan pembangunan yang salah. Industrialisasi
yang dilakukan seringkali melanggar kelestarian lingkungan. Contoh tindakan
yang bisa merusak lingkungan adalah penggantian tanaman kebun dengan kelapa
sawit seperti di Papua yang bisa mengancam cenderawasih. Contoh lain adalah
hilangnya cendana di Sumba karena salah kelola.
Pertumbuhan
serta pembangunan ekonomi dan sektor kehidupan masyarakat lainnya juga seringkali
hanya dilaksanakan dengan perspektif makro. Sering kita lihat dan dengar bahwa
pemerintah Indonesia sering membanggakan angka Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
yang besar. Padahal di dalam nilai PDB tersebut tidak hanya ekonomi Indonesia
yang berperan. Perusahaan asing yang ada di Indonesia justru lebih besar peran
sumbangan nilainya.
Kita
seharusnya membanggakan dan berusaha mencapai nilai Gross National Product (GNP) yang besar. Karena GNP benar-benar
milik Indonesia.
Terkait
dengan tata kelola ekonomi dan lingkungan Indonesia, data Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan bahwa sektor yang paling besar menyumbang
emisi karbon adalah energi, industri, dan kehutanan/deforestasi. Padahal sektor
tersebut tidak terlalu berkontribusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB)
maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Indonesia dan daerah. Contohnya
di Malinau sebenarnya pertanian lah yang menyumbang besar. Tapi pemerintah
daerah lebih membanggakan pertambangannya (pemerintah pusat pun demikian).
Di
Indonesia, sebenarnya sudah banyak penemuan energi alternaltif. Tapi tidak
digunakan dan dikembangkan. Karena mungkin adanya kepentingan negara asing
penghasil energi fosil dan pengaruh ekonomi asing terhadap Indonesia. Bahkan
sampai sebagian orang mencurigai pengembangan bio-fuel akan menimbulkan
pengalihfungsian lahan pertanian yang ada.
Isu
kelestarian lingkungan, terutama di daerah pertambangan, menjadi isu sensitif.
Karena terkait dengan kemiskinan, kesejahteraan, dan tenaga kerja. Jika
pemerintah mencabut izin pertambangan, maka akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK)
dan pengangguran selain berpengaruh juga dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sehingga seolah memakan buah simalakama.
Sebenarnya
kebijakan pembangunan Indonesia yang menjamin kelestarian lingkungan sudah ada.
Yakni dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana isu lingkungan harus masuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah dan Pusat. Karena perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup meliputi: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
Dalam
pembangunan, ada dua perspektif pembangunan. Yakni: Antroposentris (berpusat
pada manusia) atau Ekosentris (berpusat pada lingkungan).
Dikenal
pula Teori Pembangunan Berkelanjutan. Dimana intinya adalah pembangunan yang
dilakukan bukan hanya memikirkan masa depan generasi saat ini. Tapi juga
generasi mendatang. Serta harus ada keseimbangan sektor ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
Selain
dengan kebijakan/regulasi, menjaga kelestarian lingkungan bisa dilakukan dengan
mengembalikan indigenous (local) wisdom.
Misal dengan mitos-mitos terkait lingkungan.
Kesadaran
masyarakat diperlukan juga dalam upaya pelestarian lingkungan. Karena sebagian besar
masyarakat memanfaatkan lingkungan untuk meningkatkan tingkat ekonomi.
Pemahaman
tentang lingkungan juga tidak semua diketahui oleh semua orang. Sebagian besar
upaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate
Social Responsibility/CSR) sebenarnya hanya untuk mengangkat citra
perusahaan. Karena itu, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO) yang
peduli dengan kelestarian lingkungan berusaha untuk terus mengingatkan kesadaran
lingkungan serta mengkritik kebijakan yang berpengaruh terhadap lingkungan.
Pendidikan
berwawasan lingkungan memang berperan penting. Dan hendaknya dan seharusnya
diajarkan kepada semua orang tanpa peduli latar belakangnya. Orang yang belajar
ilmu apa saja seharusnya mendapat pendidikan berwawasan lingkungan.
Jika
dalam dunia bisnis, kita bisa belajar dari Muhammad Yunus (peraih Nobel
Ekonomi). Beliau mengatakan dan berpedoman bahwa bisnis bukan untuk mencari
keuntungan tapi utk memecahkan masalah. Dalam praktek bisnisnya pun, beliau bisa
menyeimbangkan sektor ekonomi dan lingkungan.
Dalam
buku “Tugas manusia dalam bumi milik Allah”, kita (sebagai manusia) sebenarnya
mendapat tugas/mandat dari Allah untuk mengelola serta merawat ciptaan Allah
yang sudah dipercayakan kepada kita demi kesejahteraan dan kemuliaan Allah (menghadirkan
shallom Allah). Beberapa gereja mulai menerapkan berteologi ramah lingkungan
dan mencintai bumi.
Menaklukkan
dan menguasai bumi (dalam Kejadian 1:28) harus kita pahami/maknai serta jalani
sebagai tindakan mengenal dan merawat bumi beserta isinya. Bukan arogansi untuk
sesuka hati.
Seringkali
saat kita berbuat salah, kita malah menyalahkan orang lain. Bukan melakukan refleksi
pribadi. Kehendak bebas yang diberikan Tuhan seringkali kita salah artikan dan
salah gunakan. Kerusakan lingkungan yang terjadi tergantung pada sikap dan
tindakan kita.
Contoh
nyata dari perusakan lingkungan oleh manusia adalah pencemaran asap lewat pembakaran
sampah produk industri dan tembakau, penggunaan pupuk buatan secara berlebihan,
penggunaan bibit tanaman hibrida, pemakaian barang-barang industri tanpa daur
ulang, dan lain-lain.
Sudah
saatnya kita sadar dan berubah. Kita harus pintar mengelola dengan baik antara
ekonomi dan lingkungan.
Kesadaran
tentang lingkungan seharusnya juga terlihat dalam aksi nyata. Contoh aksi nyata
tersebut adalah: belajar/menambah wawasan tentang lingkungan dari berbagai
sumber, mendirikan/ikut terlibat bank sampah; tinggal bersama dengan rakyat
biasa untuk belajar, melakukan pendampingan, dan memberikan pendidikan
penyadaran lingkungan; memberikan pendidikan penyadaran lingkungan yang merata
kepada semua lapisan masyarakat; dan membantu dalam upaya penguatan regulasi
terkait lingkungan.
Jadi,
akankah ekonomi selalu bertentang dan bertabrakan dengan lingkungan/ekologi?
Mari
kita refleksikan dan bergerak!
* Hasil Diskusi Tematis GMKI Cabang Yogyakarta
tanggal 4 Juni 2013. Bertempat di SC GMKI Cabang Yogyakarta dengan narasumber
Nova Yulanda Putri Sipahutar (Korwil V,PP GMKI MB 2012-2014) dan moderator
adalah Johanis Umbu S. Anakaka (Kabid PKK,BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB
2011-2013).
0 comments:
Post a Comment