Tuesday, June 11, 2013

Ekonomi vs Ekologi


Ekonomi dan lingkungan (ekologi) seringkali ditabrakkan. Padahal keduanya memiliki akar kata yang sama dalam bahasa Yunani. Yakni oikos yang berarti rumah tangga.
Menurut data World Economy Forum, ada 12 pilar penilaian negara-negara di dunia. Yaitu: makro ekonomi, pasar, efisiensi buruh, dan lain-lain. Dari data tersebut, hal yang paling menarik adalah Indonesia unggul dalam ukuran pasar dan pertumbuhan ekonomi (secara keseluruhan/makro ekonomi). Tapi ironisnya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi pendidikan dan kesehatan di Indonesia (yang memprihatinkan).
Seperti kita ketahui dan dapat kita rasakan, pendidikan dan kesehatan Indonesia kurang serius digarap oleh pemerintah. Bahkan seringkali mekanisme pasar dan permainan pemodal bermain di kedua sektor tersebut.
Pendidikan dan kesehatan sebenarnya bisa dikaitkan dengan isu kelestarian lingkungan. Pendidikan yang kurang baik akan berakibat pada pemeliharaan kesehatan yang kurang dan kerusakan lingkungan. Kesehatan pun mempengaruhi tingkat penyerapan pendidikan dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang ada.
Kembali pada pertabrakan ekonomi dan ekologi, ekonomi dianggap berlawanan dengan ekologi karena implementasi ekonomi dan pembangunan yang salah. Industrialisasi yang dilakukan seringkali melanggar kelestarian lingkungan. Contoh tindakan yang bisa merusak lingkungan adalah penggantian tanaman kebun dengan kelapa sawit seperti di Papua yang bisa mengancam cenderawasih. Contoh lain adalah hilangnya cendana di Sumba karena salah kelola.
Pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dan sektor kehidupan masyarakat lainnya juga seringkali hanya dilaksanakan dengan perspektif makro. Sering kita lihat dan dengar bahwa pemerintah Indonesia sering membanggakan angka Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang besar. Padahal di dalam nilai PDB tersebut tidak hanya ekonomi Indonesia yang berperan. Perusahaan asing yang ada di Indonesia justru lebih besar peran sumbangan nilainya.
Kita seharusnya membanggakan dan berusaha mencapai nilai Gross National Product (GNP) yang besar. Karena GNP benar-benar milik Indonesia.
Terkait dengan tata kelola ekonomi dan lingkungan Indonesia, data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan bahwa sektor yang paling besar menyumbang emisi karbon adalah energi, industri, dan kehutanan/deforestasi. Padahal sektor tersebut tidak terlalu berkontribusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Indonesia dan daerah. Contohnya di Malinau sebenarnya pertanian lah yang menyumbang besar. Tapi pemerintah daerah lebih membanggakan pertambangannya (pemerintah pusat pun demikian).
Di Indonesia, sebenarnya sudah banyak penemuan energi alternaltif. Tapi tidak digunakan dan dikembangkan. Karena mungkin adanya kepentingan negara asing penghasil energi fosil dan pengaruh ekonomi asing terhadap Indonesia. Bahkan sampai sebagian orang mencurigai pengembangan bio-fuel akan menimbulkan pengalihfungsian lahan pertanian yang ada.
Isu kelestarian lingkungan, terutama di daerah pertambangan, menjadi isu sensitif. Karena terkait dengan kemiskinan, kesejahteraan, dan tenaga kerja. Jika pemerintah mencabut izin pertambangan, maka akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran selain berpengaruh juga dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga seolah memakan buah simalakama.
Sebenarnya kebijakan pembangunan Indonesia yang menjamin kelestarian lingkungan sudah ada. Yakni dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana isu lingkungan harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah dan Pusat.  Karena perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dalam pembangunan, ada dua perspektif pembangunan. Yakni: Antroposentris (berpusat pada manusia) atau Ekosentris (berpusat pada lingkungan).
Dikenal pula Teori Pembangunan Berkelanjutan. Dimana intinya adalah pembangunan yang dilakukan bukan hanya memikirkan masa depan generasi saat ini. Tapi juga generasi mendatang. Serta harus ada keseimbangan sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Selain dengan kebijakan/regulasi, menjaga kelestarian lingkungan bisa dilakukan dengan mengembalikan indigenous (local) wisdom. Misal dengan mitos-mitos terkait lingkungan.
Kesadaran masyarakat diperlukan juga dalam upaya pelestarian lingkungan. Karena sebagian besar masyarakat memanfaatkan lingkungan untuk meningkatkan tingkat ekonomi.
Pemahaman tentang lingkungan juga tidak semua diketahui oleh semua orang. Sebagian besar upaya tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) sebenarnya hanya untuk mengangkat citra perusahaan. Karena itu, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Government Organization (NGO) yang peduli dengan kelestarian lingkungan berusaha untuk terus mengingatkan kesadaran lingkungan serta mengkritik kebijakan yang berpengaruh terhadap lingkungan.
Pendidikan berwawasan lingkungan memang berperan penting. Dan hendaknya dan seharusnya diajarkan kepada semua orang tanpa peduli latar belakangnya. Orang yang belajar ilmu apa saja seharusnya mendapat pendidikan berwawasan lingkungan.
Jika dalam dunia bisnis, kita bisa belajar dari Muhammad Yunus (peraih Nobel Ekonomi). Beliau mengatakan dan berpedoman bahwa bisnis bukan untuk mencari keuntungan tapi utk memecahkan masalah. Dalam praktek bisnisnya pun, beliau bisa menyeimbangkan sektor ekonomi dan lingkungan.
Dalam buku “Tugas manusia dalam bumi milik Allah”, kita (sebagai manusia) sebenarnya mendapat tugas/mandat dari Allah untuk mengelola serta merawat ciptaan Allah yang sudah dipercayakan kepada kita demi kesejahteraan dan kemuliaan Allah (menghadirkan shallom Allah). Beberapa gereja mulai menerapkan berteologi ramah lingkungan dan mencintai bumi.
Menaklukkan dan menguasai bumi (dalam Kejadian 1:28) harus kita pahami/maknai serta jalani sebagai tindakan mengenal dan merawat bumi beserta isinya. Bukan arogansi untuk sesuka hati.
Seringkali saat kita berbuat salah, kita malah menyalahkan orang lain. Bukan melakukan refleksi pribadi. Kehendak bebas yang diberikan Tuhan seringkali kita salah artikan dan salah gunakan. Kerusakan lingkungan yang terjadi tergantung pada sikap dan tindakan kita.
Contoh nyata dari perusakan lingkungan oleh manusia adalah pencemaran asap lewat pembakaran sampah produk industri dan tembakau, penggunaan pupuk buatan secara berlebihan, penggunaan bibit tanaman hibrida, pemakaian barang-barang industri tanpa daur ulang, dan lain-lain.
Sudah saatnya kita sadar dan berubah. Kita harus pintar mengelola dengan baik antara ekonomi dan lingkungan.
Kesadaran tentang lingkungan seharusnya juga terlihat dalam aksi nyata. Contoh aksi nyata tersebut adalah: belajar/menambah wawasan tentang lingkungan dari berbagai sumber, mendirikan/ikut terlibat bank sampah; tinggal bersama dengan rakyat biasa untuk belajar, melakukan pendampingan, dan memberikan pendidikan penyadaran lingkungan; memberikan pendidikan penyadaran lingkungan yang merata kepada semua lapisan masyarakat; dan membantu dalam upaya penguatan regulasi terkait lingkungan.
Jadi, akankah ekonomi selalu bertentang dan bertabrakan dengan lingkungan/ekologi?
Mari kita refleksikan dan bergerak!







* Hasil Diskusi Tematis GMKI Cabang Yogyakarta tanggal 4 Juni 2013. Bertempat di SC GMKI Cabang Yogyakarta dengan narasumber Nova Yulanda Putri Sipahutar (Korwil V,PP GMKI MB 2012-2014) dan moderator adalah Johanis Umbu S. Anakaka (Kabid PKK,BPC GMKI Cabang Yogyakarta MB 2011-2013).

0 comments:

Post a Comment