Thursday, February 14, 2013

Indonesia Kita vs Indonesia Aku

Kondisi Indonesia saat ini sudah terlampau jauh ketika kita lihat dari segala aspek baik itu secara ekonomi, budaya, sosial,dan lain-lain. Terlampau jauh dalam hal ini sudah 67 tahun kita merdeka. Dan sekarang sudah memasuki tahun ke-68 untuk merdeka bebas dari penjajah yang sebenarnya bebas dari segala tirani ataupun dari segala lini yang secara tidak sadar bahwa kita belum seutuhnya merdeka. Kondisi ini membuat kita terkadang terlena. Bahkan juga kita cenderung untuk diam. Dalam artian diam melihat kondisi yang semakin hari semakin terasa dampaknya.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang boleh dikatakan bermartabat dan kaya akan SDA. Dimana itu semuanya cuma dongeng masa lalu yang membuat kita pun terlena, bahkan lupa akan identitas bangsa kita yang mempunyai banyak kelebihan (kita dikatakan bangsa yang multikultur). Inilah yang perlu kita cermati, apa benar pengakuan ini sudah dipahami secara matang atau masih perlu di tinjau. Yakni tentang identitas bangsa kita yang belum semuanya masyarakat akan paham tentang bangsa Indonesia yang sesungguhnya pancasila sebagai identitas bangsa yang tidak bisa di ganggu gugat lagi.
Banyak persoalan kebangsaan yang masih belum diperbaharui secara keseluruhan acapkali sering terdengar bangsa ini membutuhkan perubahan. Tapi dengan kondisi yang masih mempertahankan identitas diri atau kelompok sering terjadi di berbagai kalangan, pertikaian-pertikaian yang mengarah ke SARA masih sering terjadi dengan berbagai persoalan. Bahkan tidak mengakui bahwa ini adalah bagian dari konflik SARA.
Etnonasionalisme yang dulu sempat merupakan stimulus untuk menggapai kemerdekaan sekarang sudah berganti arah. Sekarang menuju pada pengakuan akan daerah atau kelompok saya yang benar. Inilah yang bisa di tinjau kembali apakah kesalahan masa lalu atau kesalahan segelintir orang yang menjadikan isu ini sebagai batu loncatan menuju kepentingan pribadi.
Keindonesiaan kita masih perlu untuk diperbaharui. Pertanyaannya apakah benar ini merupakan proses peradaban atau cuma khayalan di siang bolong. Dimana belum ditemukannya formula baru yang tepat sehingga masyarakat benar-benar memperoleh kedamaian dan kesejahteraan. Serta kemudian kita dikatakan 100%  merdeka.
Polemik bangsa yang akhir-akhir ini terjadi membuat kita sebagai anak bangsa merasa gelisah. Dan memang cukup memprihatinkan kondisi keindonesiaan kita. Sehingga timbul pertanyaan apakah kita harus seperti negara Ethiopia atau bahasa kasarnya negara gagal?
Keindonesian kita akhir-akhir ini lebih menonjolkan identitas yang mengarah pada kepentingan kelompok. Akibat dari sikap yang seperti ini adalah citra Indonesia yang dahulunya dikenal sebagai bangsa penganut paham gotong royong sudah berangsur-angsur hilang sekarang. Dan lebih mengarah pada sikap individual.
Tidak dapat dipungkiri mengenai sikap individu itu merupakan sebuah sikap yang menuju pada pribadi yang matang atau pada kepentingan karir. Namun kita harus jeli dalam melihat proses aktualisasi diri. Sekarang kita berada dalam kondisi yang seperti apa?
Dengan lebih mengutamakan kepentingan pribadi di tengah carut-marutnya bangsa kita saat ini, membuat bangsa kita pun kehilangan identitas yang sesungguhnya. Sehingga menimbulkan sikap eksklusif yang mengarah pada hilangnya nilai keindonesiaan yang sejati.
Indonesia kita yang diangkat pada topik ini lebih mengutamakan sikap kolektif. Yakni sama seperti bangsa Indonesia dibangun atas dasar kebutuhan karena adanya sikap kebersamaan lebih mengutamakan bangsa indonesia yang adil dan bermartabat. Dan sama seperti pada waktu para founding father/mother kita menjadikan  bangsa ini republik bukan negara bagian. Karena berdasarkan persamaan persepsi dan juga culture, hubungan antara budaya-budaya di nusantara ini hampir semua daerah memiliki persamaan dalam kultur dan lain-lainnya. Tidak salah sehingga Gadjah Mada pada waktu itu mengangkat sumpah palapanya dimana tujuannya  mempersatukan nusantara.
Atau kita cermati lagi makna sumpah pemuda yang belum terlalu jauh kita rayakan. Keinginan dan kebutuhan yang sama secara kolektif sehingga diangkatnya sebuah sumpah pemuda yang arahannya lebih pada kepentingan bersama. Karena adanya kepercayaan (trust) antara pemuda pada waktu itu sehingga munculnya sumpah yang sangat berpengaruh sampai saat ini.
Pancasila yang kita anut sebagai paham bangsa haruslah  di jaga identitasnya. Karena banyak nilai yang tertanam didalamnya yang bisa kita arahkan pada rasa saling percaya antara suku, ras dan agama. Timbulnya rasa ini jika adanya  kemauan di antara perbedaan budaya dan agama, maka sikap yang sudah di bangun pada waktu itu tentunya akan terus ada pada saat ini. Misalnya di daerah Yogyakarta mengangkat sebuah istilah hamemayu hayuning buwana[1] yang merupakan istilah yang pakai bagi sultan sebagai raja atau ksatria. Ini diangkat sebagai kearifan lokal yang harus dijaga sultan sebagai raja bagi orang Yogya. Kepercayaan ini harus dijaga agar kharismanya bisa terjaga.
Istilah hamemayu hayuning buwana ini merupakan rasa keutuhan dan rasa kemanusiaan yang perlu dijaga. Ini membutuhkan rasa saling percaya sehingga terbangun sebuah kebersamaan. Dimana masing-masing orang menyadari bahwa manusia itu sama tidak ada perbedaan golongan yang dilihat adalah rasa kemanusiannya dan sesama ciptaan Tuhannya bukan untuk menguasai satu sama lain.
Melihat kondisi indonesia yang multikultur ini, ada semboyan bahwa “ Pelangi memiliki banyak perbedaan warna. Ketika perbedaan warna itu beragam, justru menghadirkan sebuah keindahan”. Kita kaitkan dengan Indonesia yang banyak suku, ras, dan agama; tentunya banyak keragaman. Tapi ketika semuanya memiliki kesamaan tekad untuk bersatu, tentunya akan mengalami keindahan.
Rasa nasionalisme yang harus di jaga bukan karena adanya kepentingan dan karena adanya kebutuhan dari aspek politik, ekonomi, ketahanan, dan sosial. Kadang istilah ini sering dijadikan sebagai pemantik untuk ajang mencari popularitas. Memang ketika diterjemahkan atau dimaknai dalam lingkup bela negara, itu perlu. Tapi kadang ini malah dijadikan janji-janji yang justru menjebak publik karena adanya kepentingan sesaat.
Marilah kita menelaah lebih jauh makna nasionalisme lebih pada ke-KITA-an bukan pada ke-AKU-an. Di sini bisa kita lihat sebagai kebutuhan bersama untuk mencapai bangsa yang benar-benar bermartabat dari berbagai sektor. Baik itu ekonomi, sosial, maupun budaya.
Rasa memiliki terhadap bangsa ini kita bangun atas dasar kebutuhan yang sama. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap yang minoritas. Kita perlu ingat bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar mayoritas dan minoritas, tapi karena adanya kebutuhan yang sama. Bung Karno sebagai founding father kita sempat menegaskan bahwa “Di dalam Indonesia merdeka itu, perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dari perjuangan sekarang. Nanti kita bersama–sama sebagai bangsa, bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang di cita-citakan di dalam Pancasila. (Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945).
Bhineka Tunggal Ika, sebagai semboyan bangsa kita yang punya latar belakang keragaman perbedaan, marilah dilihat sebagai pengakuan bersama atas kepercayaan yang harus kita bangun sebagai bentuk solidaritas membangun bangsa untuk menuju kesejahtraan dan kedamaian bersama.
Melihat keindonesiaan saat ini, tentunya perlu ditinjau kembali mengenai identitas dan status yang benar-benar menunjukan identitas. Yakni lewat karya yang nyata. Sehingga timbul kepercayaan (trust) dalam lingkup anak negeri. Karena sikap ke-AKU-an sudah semakin merasuk dan mengakibatkan runtuhnya sikap rasa cinta tanah air.
Sebagai anak bangsa, saat ini kita pun sudah berada dalam lingkup sikap seperti itu. Dengan semakin maraknya kondisi kebangsaan yang mengarah pada konflik SARA, justru membuat kita kehilangan identitas. Sebagaimana sudah dijelaskan mengenai Bhineka Tunggal Ika tadi yang mengarah pada pengembangan rasa saling percaya. Dan mengarah pada kepentingan Indonesia yang ke-KITA-an, bukan pada kepentingan individu atau kelompok.
Konsep pembangunan bangsa ini, dari masa kemerdekaan sampai pada masa reformasi, memilki banyak persepsi yang berbeda-beda. Zaman Soekarno dengan konsep pembangunan dan rasa nasionalisme yang lebih ditekankan. Sedangkan zaman Soeharto lebih pada konsep pembangunan ekonomi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa era Soeharto lebih nyata pembangunan dari segi ekonomi. Tapi justru mendatangkan hutang bagi kita generasi penerusnya.
Kalau dikaji lagi dalam berbagai aspek, tentunya banyak sekali persoalan kebangsaan yang sebenarnya bisa kita lihat dan mampu dijadikan pedoman untuk konsep pembangunan bangsa yang menjadi tantangan kita kedepannya. Kebutuhan bangsa saat ini adalah bagaimana menciptakan generasi yang kreatif, inovatif, afektif, dan tentunya rasa cinta tanah air. Karena dari hal inilah, timbul generasi yang benar-benar solid dan juga bela tanah air melalui memahami kembali sejarah dan juga memaknai arti dari bela tanah air yang sesungguhnya.
Keragaman Indonesia yang menjadi kebanggaan sudah luntur dan bahkan hilang dari berbagai sudut pandang. Baik itu dari aspek budaya, sosial, maupun ketahanan negara. Makin menurunnya budaya kolektif yang sudah dibangun dari para pendahulu kita, membuat makin melemahnya pemahaman tentang Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan bagi kita generasi penerus.
Pemaknaan otonomi daerah yang sudah sekian lamanya dipertentangkan, sampai saat ini pun masih mencari format harus yang seperti apa. Di sini dapat dilihat apakah dengan persoalan etnonasionalisme melalui konsep otonomi daerah ini yang membuat kita terjebak. Misalnya dengan konsep kepala daerahnya adalah anak daerah, kemudian memunculkan sikap sektarian dan primordialisme. Dan dari hal inilah yang membuat nasionalisme memudar bahkan hilang.
Ideologi bangsa Indonesia, dengan empat pilar kebangsaan yang menjadi pedoman demi mencapai bangsa Indonesia yang di cita-citakan, menjadi kebutuhan yang setiap era atau zaman tidak akan selesai dibicarakan. Karena di berbagai era tentunya persoalan yang dihadapi berbeda.
Susahnya  mendefinisikan persoalan bangsa yang menjadi pokok dari sekian banyaknya persoalan kadang menimbulkan banyak penafsiran. Sehingga kita, sebagai kaum muda yang menganggap bahwa letak masa depan bangsa itu ada di pundak kita, hendaknya banyak berefleksi tentang konsep negara yang sudah dibangun. Sehingga memacu kita untuk memaknai apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan bangsa saat ini.
Maraknya kasus korupsi merupakan salah satu contoh rendahnya pemahaman tentang rasa nasionalisme yang berujung pada hilangnya identitas bangsa. Sehingga bangsa kita hilang akan posisi tawarnya dengan bangsa/negara lain. Karena membuat moral bangsa kita rendah dalam pandangan bangsa lain.
Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai anak negeri menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang beradab. Tentunya dalam mengaktualisasikan diri, kita (mulai dari diri sendiri) lebih mengutamakan kepentingan atau kebutuhan bersama. Sehingga dalam berproses, kesalahan atau keagungan masa lalu tidak menjadi batu sandungan dalam berkarya.


Daftar Pustaka:
Mintoraharjo,Sukowaluyo.2006.Kebangsaan Kita dan Tantangan Masa Depan.dalam buku Kontekstualisasi GMKI di Gereja, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat di Era Reformasi Indonesia dan Globalisasi Dunia. Bandung:GMKI Cabang Bandung.hal. 8-18.
Patty,Albertus.2006.Etnonasionalisme.dalam buku Kontekstualisasi GMKI di Gereja, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat di Era Reformasi Indonesia dan Globalisasi Dunia. Bandung:GMKI Cabang Bandung.hal. 3-7.
Sri Sultan Hamengku Buwono X.2008.Yogyakarta untuk Nusantara:Renungan Kebangsaan menyambut 63 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.Yogyakarta:Forum Rakyat Yogyakarta.






Tulisan dalam mengikuti Lomba penulisan esai yang di selenggarakan oleh Pengurus Pusat GMKI menyambut DIES NATALIS ke 63

0 comments:

Post a Comment