Papan Nama SC GMKI Yogyakarta

Menyambut setiap orang yang datang ^^

Drama Paskah,

Sebuah Kreasi Refleksi Iman

Suasana setelah Diskusi,

SC Masih tetap Ramai

Proses Membasuh Kaki,

Simbol Pelayanan dan Penyambutan kepada Anggota Baru GMKI

Sidang Pleno 1 BPC 2011-2013,

Forum Pembahasan Program Cabang

Pelatihan Appreciative Inquiry,

Melatih untuk Bergerak dengan Aset!

Pelatihan Kemampuan Dasar Berorganisasi,

Bekal Perserta dalam Berorganisasi

Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Forum Pembahasan Nasional GMKI

Delegasi Kongres GMKI ke-33 di Manado,

Pejuang dan Penyumbang Pemikiran

Usaha Dana Kaos GMKI,

Kreasi Pengumpulan Dana untuk Kebutuhan Delegasi Kongres ke-33

Kecab Palembang-Kecab Jogja,

Keluarga dalam Tuhan dan GMKI

Berkunjung ke Rumah Senior,

Upaya untuk Menjaga Relasi

Stand Expo Pergerakan di FT UGM

Upaya Pengenalan dan Aksi Pelayanan Perguruan Tinggi

Aksi Tolak Kenaikan Harga BBM,

Bentuk Aksi Pelayanan Masyarakat dari GMKI

Refleksi dan Ziarah Hari Pahlawan,

Upaya Mengenang dan Membangkitkan Semangat Para Pahlawan

Friday, December 16, 2011

Pokok – Pokok Pikiran GMKI Cab Yogyakarta



Pada Dasarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI), didirikan karena seluruh elemennya ingin mencapai visi baru yang lengkap dengan kemandirian di segala bidang. Visi baru itu bernama kesejahteraan, keadilan, keamanan, kedamaian dan masa depan baru.Namun melihat kondisi empiris sosial masyarakat saat ini, Negara seakan  tidak hadir  dalam proses penyelesaian berbagai bentuk tindakan kekerasan  yang berlarut- larut terjadi di negeri ini. Kekerasan belakangan ini disebabkan akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak berjalannya penegakan hukum formal. Hal ini membuat rakyat  lalu mencari jalan sendiri karena jalan hukum di negeri ini tidak menyelesaikan persoalan “ jalan penyelesaian institusi penegakan hukum justru memunculkan masalah baru,ketidakadilan baru, kekerasan baru. Kondisi ini menimbulkan frustasi sosial di masyarakat,sulit mempercayakan dan mengharapkan aktor-aktor negara mengutamakan  mewujudkan pelayanan kepentingan publik. Berbagai bentuk tindakan kekerasan yang terjadi, memang disadari selalu disebabkan oleh kehidupan intoleransi antar umat beragama, namun juga disebabkan oleh berbagai hal yaitu persoalan ekonomi, dan kesenjangan pembangunan ataupun   aspek produk kebijakan yang dalam ruang implementasi  tidak menjawab persoalan substantitif dalam kehidupan masyarakat. Salah satu produk kebijakan yang menjadi perdebatan  pada ruang elit, maupun kelompok kepentingan  adalah Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri (PBM), Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Memelihara  Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadah. Dalam semangat produk Peraturan   Bersama Dua 2 Menteri, ini adalah menjunjung tinggi hubungan umat beragama yang dilandasi sikap toleransi,saling pengertian,saling menghormati, menghargai kesetaraan  pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar  1945.
Dalam menjamin kerukunan umat beragama yang hidup saling menghormati  tentu menjadi harapan ideal bagi setiap warga negara, harapan ini harus dijaga serta dijamin oleh negara dalam  penentuan dan pengambilan kebijakan yang tidak merugika masyarakat, maupun elemen kelompok masyarakat tertentu. Pemerintah  sebagai pengelola kebijakan diharapkan mampu menjamin serta memelihara kesatuan  yang bernuansa pada pembangunan karakter bangsa. Indonesia   dikenal sebagai bangsa  yang majemuk, dari sisi suku, agama, ras dan budaya, dari potensi dan sumber kemajukan ini, selalu dikelola dengan sikap perlindungan dari negara maupun sikap toleransi dan saling menghargai antar sesama umat, hal ini tentu menjadi kebanggaan  bersama dalam menata kehidupan tersebut.
Enam Puluh Lima Tahun Kita  telah merdeka,  dirayakan dengan kebanggaan semua komponen elemen bangsa ini. Negara menjamin kemerdekaan itu dengan kebebasan, kemandirian, persatuan dan  kebersamaan. Oleh sebab itu tentu adanya potensi menjaga  sistem tata kelola kehidupan yang tidak terjebak dalam bentuk sikap dan tindakan atas nama kelompok, suku, agama dan apapun itu, namun kiranya yang dikehendaki dan dijamin adalah  negara perlu  membangun komunikasi serta  solidaritas demi kemajuan dan kedamaian.
Maka atas nama persatuan, kebebasan dan kerukunan umat manusia yang mendiami bangsa Indonesia, menyampaikan pokok   pikiran yang tentu dapat dijalankan secara bersama-sama  oleh semua  elemen anak bangsa ini yaitu:
1.    Negara  harus mampu mengatasi situasi konflik yang terjadi saat ini yang dilatarbelakangi atas nama suku,agama,rasa dan antar golongan, maupun resistensi persaingan ekonomi dan perebutan lahan karena negara tidak mampu menciptakan akses lapangan pekerjaan dan serta mengembangkan kewajiban untuk menghormati(to respect), tetapi juga melindungi(to protect), dan menjami kebebasan dasar(fundamental freedom). Jangan membiarkan rakyat bertindakn sendiri seakan negara tidak hadir ataupun kondisi negara menuju weak state  (negara lemah)
2.      Tidak menghendaki  segala bentuk tindakan yang  menghambat pertumbuhan laju demokrasi di bangsa ini seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, konflik atas nama apapun.
3.      Memohon  kepada Pemerintah  untuk  melakukan peninjauan kembali tentang  Peraturan  Bersama Dua Menteri  dalam beberapa  Bab dan Pasal yang menurut pengamatan kami sangat berpotensi mereduksi semangat toleransi dan bertolak belakang dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang termuat di bawah ini antara lain:
a.   BAB III Tentang Forum Kerukunan Umat Beragama Pasal 10 point 3 Mengenai Komposisi kepengurusan FKUB provinsi dan kabupaten/kota yang ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat. Hal ini sangat bertentangan dengan asas semangat kebersamaan dan asas pemerataan keterwakilan.
b.  BAB IV Tentang Pendirian Rumah Ibadah, Pasal 14 point 2.b Mengenai  dukungan masyarakat setempat yang paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/ kepala desa setempat. Dipandang bahwa poin pada pasal  ini  bertentangan dengan UUD 1945  Pasal 29 ayat 2 yang menyatakan Negara  menjamin  kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
4.      Pemerintah diharapkan untuk menunda  rencana  pembuatan Peraturan Bersama  Dua Menteri yang akan dijadikan sebagai Rancangan Undang-Undang, dengan pertimbangan hal ini akan hanya memperburuk kondisi bangsa ini.
5.      Pemerintah Daerah, baik itu provinsi dan kabupaten/kota diharapkan mampu mengelola konflik dengan baik,mengedepankan sikap bijak dalam menjamin dan melindungi kebebasan setiap kelompok elemen masyarakat di wilayah pemerintahannya.
6.      Yogjakarta sebagai  kota  yang dikenal dan dikenang sebagai kota  toleransi yang tinggi, diharapkan kita semua saling menjunjung sikap toleransi lebih pada kerukunan dan keharmonisan hidup.
Demikian pandangan dan pokok-pokok pikiran Gerakan Mahasiswa Kristen  Indonesia Cabang Yogyakarta (GMKI Cab Yogyakarta) Semoga perjuangan melawan lupa tentu harus berakhir. Salam Perjuangan.

           Yogyakarta, 12 Oktober 2010

MENUJU NEGARA GAGAL (WEAK STATE)

Pembangunan bangsa Indonesia bertujuan memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.Pilar pembangunan adalah demokrasi yang berlandaskan pada kebebasan menyatukan gagasan dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, melalui perangkat dan mekanisme dalam sistem ketatanegaraan. Bung karno menata pembangunan dengan mengedepankan tiga pilar utama yaitu, pertama  berdaulat dalam bidang politik,  kedua mandiri dalam bidang ekonomi, dan  ketiga berkepribadian secara budaya. Hal ini menjadi landasan  analisis jauh dengan memandang bangsa Indonesia secara konprehensif. Berdaulat dalam bidang politik diartikan sebagai hak politik bangsa Indonesia, agar tidak tercampur intervensi politik pihak luar. Terjadi pemimdahan pusat pemerintahan dari jakarta ke jogjakarta menunjukan  masih adanya sikap hegemoni kolonial, yang ingin kembali menguasi bangsa Indonesia, hal ini menunjukan bahwa jika sistem dan perangkat desain politik yang lemah maka keinginan dan intervensi kolonial masih ada.
Namun hal yang dilakukan oleh resim orde lama  menjadi bumerang bagi rezimnya, di mana Amerikan dan sekutunnya memandang rezim orde lama   sebagai musuh yang harus jatuhkan, karena tidak mengakomodir keinginan dan kepentingan. Maka  pesekongkolan  antara militer  Indonsia  dan CIA mendesain strategi  menumbangkan  rezim orde lama.
Maka berkuasalah rezim orde baru senagai  rezim yang berkuasa menjalangkan kepentingan asing di dalam negera, ketergantungan politik dan ekonomi bangsa Indonesia dimulai dengan konsensus bersama Soeharto dengan lembaga IMF dan World Bank sebagai bagian dari perpanjangan tangan memberikan bantuan bagi negara- negara berkembang. Ketergantungan bangsa Indonesia pada IMF dan Worl Bank dapat di lihat dalam beberapa hal:
1.    Kekuatan pasar akan memainkan peran vital dalam stabilisasi ekonomi
2.    Perusahan-perusahan negara akan beroperasi berdasarkan persaingan dengan sektor swasta
3.    Sektor swasta diberi dorongan melalui penghapusan beberapa pembatas lisensi impor  terhadap bahan baku pelengkap
4.    Penanaman modal asing akan diransang dengan undang-undang penanaman modal yang baru, yang akan memberikan keringan pajak dan insentif lainnya.
Dalam tataran pembangunan ekonomi di atas, dikategorikan dalam perspektif pembangunan ekonomi dengan mindset ekonomi liberalisme, bukan ekonomi statist natonalist dan economi populisme.
            Maka dimulailah drama lama dengan konteks yang baru  Indonesia menjadi pasien yang baru oleh IMF dan World bank. Beberapa hal yang direkomendasikan oleh IMF dan World Bank  adalah Privatisasi, pengurangan subsidi, liberalisasi ekonomi, dan reformasi sistem perbankan. Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi bangsa Indonesia lebih pada ekonomi liberalisme. Hal tersebut  sah secara kontitusional karena dilegalkan melalui Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) mulai dari tahun 1967, Keanggotaan  WTO pada tahun 1995 Indonesia melakukan serangkaian liberalisasi keuangan,dan tahun 1997 Indoensia menandatangai perjanjian dengan IMF dengan bantuan 40 miliar dollar AS untuk menyelamtakan Indnonesia dari crisis dan tahun 2010 komitmen Indonesia terhadap organisasi perdagangan bebas seperti AFTA, APEC, Dan  WTO. Tahun 2008 pemerintah berusaha akan privatisasi 37 BUMN, gelombang privatisasi paling jelas dapat dilihat dari keluarnya UU PMA  Nomor 25 Tahun 2007.
Maka hal yang harus dilakukan adalah Peninjauan kembali terhadap produk UU PMA dan Nasionalisasi Aset- aset SDA. Gambaran sisi ekonomi.
            Perlawanan yang paling berat adalah perjuangan melawan penjajahan bangsa sendiri, inilah ungkapan Bung Karno. Pejuangan melawan penjajahan yang tangan tidak terlihat (invisible hand), baik melalui sisi ideologi dan struktur. Pengelolaan kekuasan yang baik adalah di mana mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok dan golongan. Dimaknai secara lebih jauh bahwa ungkapan ini mempunyai makna mendalam yaitu  kekuasaan pragmatis dengan mengarah pada privelese  atau hak istimewa dari penguasa dalam menentukan apa yang menjadi keinginan dan kepentingan, bukan menentukan apa yang menjadi kepentingan  bangsa dan rakyatnya. Berbagai bentuk produk kebijakan yang hanya mengarah pada kepentingan kelompok dan kepentingan asing.  Ikatan kekuatan antara pemodal dan negara semakin kuat, dibanding ikatan dan ruang komunikasi antara negara dan masyarakatanya, atau negara kita masih pada kondisi persinggungan mega sistem, semisalnya hubungan antara negara dan pasar dalam hal penentuan persaingan ekonomi.
Berbagai problematika tersebut hanya menjadi satu tujuan yaitu mendapatkan kapital. Penguasaan Sumber Daya Alam, penguasaan ekonomi, perebutan kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif dengan harapan  yaitu mendapat kapital. yang besar. Sejak saman orde baru manipulatif  kebijakan menguntungkan sekelompok orang. Kepentingan tidak bisa dihindari dalam sistem dan tata kelola pemerintahan. Secara piramida terbalik ataupun dengan sistem gelas sampanye. Bahwa sekitar 90 persen penduduk Indonesia menguasai sumber perputaran modal dalam negeri  10 persen, dan  10 persen penduduk Indonensia menguasai 90 persen perpurtaran modal dalam negeri. Maka pertanyaan siapakah masyarakat yang jumlahnya 90 persen tersebut dan masyarakat kelas manakah 10 persen jumlahnya?. Masyarakat jumlahnya 90 persen dengan menguasai 10 persen sumber dana adalah masyarakat dengan strata kelas bawah yaitu petani, buruh, nelayan dan kaum miskin kota. Dan  10 persen dengan menguasai 90 persen dana adalah dengan katergori kelas  atas yaitu birokrat, pengusaha, politisi dll.  Alokasi dana untuk pembelajaan aparatur juga menjadi salah satu penyebab terkendalanya pembangunan dan perkembangan bangsa ini, pengalokasian dana sekitar 70 persen digunakan untuk belanja aparatur pemerintah dan 30 persen digunakan untuk sektor vital yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi mikro, subsidi usaha rakyat, sering sangat terabaikan karena para elit bangsa ini hanya mementingkan diri, kelompok dan golongan.
 Hal ini menyebabkan budaya Korupsi, Kolusi, Nepotisme menjadi  wajar dan bertumbuh pesat di bangsa ini. Mulai dari birokrasi tingat pusat sampai daerah. Korupsi  menjadi pembenaran dalam sistem pengelolan kekuasaan.  Argumentasi berkaitan dengan tindakan korupsi antara lain, pertama pendapat birokrat melakukan korupsi karena tunjangan dan gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, kedua proses kekuasaan yang dimulai dengan cara transaksioanal, dan ketiga rapuhnya moralitas elit bangsa ini. Proses hukum formal yang tidak berjalan, rangsangan transaksi antar lembaga yang mengarah pada bentuk kompromi dan negoisasi antar elit. Lembaga-lembaga hukum dan pelaku hukum sebagai aktor paling rentan melakukan tindakan korupsi. Bukankah semua hal yang berkaitan dengan korupsi dapat merugikan bangsa dan rakyat Indonesia? Dan mengapa ketika korupsi menjadi sesuatu yang dianggap merugikan bangsa namun tidak adanya tindakan yang berarti untuk mengatasi hal tersebut? Maka  dapat dikaji beberapa hal yang bisa menjadi tolak ukur mengurangi korupsi antara lain:
1.    Melakukan reformasi sistem dan struktural terhadap lembaga yang dianggap melakukan tindakan kurupsi
2.    Proses penegakan hukum formal menjadi pilar utama
3.    Dengan cara continual auditing yaitu audit keuangan yang dilakukan terus menerus, tahap demi tahap, periode demi periode.
4.    Dengan menerapkan carrot and stick consep, sepeti yang dilakukan oleh singapura dan malaysia. Carrot adalah pendapatan bersih (Net Take Home Pay) untuk pegawai negeri sipil, TNI/ Polri. Pendapatan bersih ini harus cukup untuk kebutuhan hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, tanggungjawab, kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, artinya pendapatan ini dibuat sangat tinggi. Stick yaitu pentungan adalah hukuman yang pantas diberikan kepada pegawai yang sudah bergaji tinggi tetapi masih juga korupsi. Hal dibangsa kita harus dapat dilihat pada pemenuhan carrot namun juga penerapan stick harus berjalan.
            Negara-negara maju saat ini, memulai dengan suatu konsep pembangunan sederhana yaitu, melihat kemampuan dan kesedian masyarakat dalam menghadapi perubahan pembangunan. Hal utama yang dilakukan adalah transformasi pengetahuan, seperti yang terjadi di Jepang, Cina, dan Amerika. Jepang melakukan dengan pengenalan ilmu pengetahuan yang baik, sesuai dengan kebutuhan negaranya. potensi diarahkan sebagai negara industri. Cina sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini, karen mampu melakukan strategi pembangunan jangka panjang, dengan pembangunan pusat sentral ekonomi sesuai dengan komparatif wilayahnya seperti pembangunan sentra perikanan, pertanian  dan perdagangan industri serta  pembagunna pusat-pusat pertumbuhan di berbagai wilayah, serta tanggungjawab negara  hadir dalam pemberian subsidi bagi petani, nelayan, usaha UKM.
            Maka pertanyaannya adalah bangsa Indonesia mau diarahakan dalam pembangunan visi kedepan seperti apa?. Marilah kita berdisusi lebih jauh tentang potensi bangsa Indonesia dan kesiapan masyarakat untuk menghadapi konsep pembanguna bervisikan agraris, industri atau informasi teknologi . Ataukan bangsa kita hanya merupakan bangsa yang memiliki ketergantungan pembangunan?.

TRANSFORMASI PARADIGMA PEMIMPIN BERPOLITIK


Transformasi  sistem politik nasional hakekatnya bertujuan menciptakan  sistem politik yang memperjuangkan politik nilai, sebagai sarana untuk mencapai kebahagian manusia  (Politics is the science of the good for man, to be happiness), dan bukan menjadikan politik sebagai sarana merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Perjuangan yang dilakukan saat ini dalam meletakan kembali negara kita yang berpedomanan pada negara kesejateraan dan demokrasi yaitu mengurangi kemiskinan, memajukan kesetaraan sosial, memajukan stabilitas sosial, memajukan inklusi sosial dan menghindari eksklusi sosial serta memajukan efiesiensi ekonomi. Dengan demikian negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme melakukan intervensi atau mengoreksi struktur ketidak setaraan, melainkan juga kekuatan dinamis menata ulang relasi sosial. Alasan utama harus melakukan  transformasi paradigma pemimpin perpolitik  adalah karena  ketidakjelasan sistem perpolitikan nasional yang  dijalangkan   sekarang, dan sistem kepemipinan nasional yang rapuh, sementara koalisi yang dibangun oleh partai adalah koalisi yang disertai dengan konspirasi, bukan pada koalisi demi menjalankan fungsi dalam rangka kemajuan bangsa.
Melihat polemik yang terjadi pada panggung perpolitikan dan kepemimpinan nasional sekarang ini, hanyalah bentuk dari bagaimana kekuatan yang ingin menjaga tampuk kekuasaannya. Proses reformasi terus berjalan namun krisis yang berkepanjangan masih terus berjalan pula, persoalan di sektor ekonomi, politik, sosial dan moral peninggalan orde baru belum mampu diselesaikan dengan tuntas. Kuatnya otoritarian kekuasaan telah menjadikan rakyat  sebagia objek dalam pengelolaan  kekuasaan, akibatnya kemiskinan, konflik antar masyarkat  sebagai bentuk permainan kekuasaan para elit, korupsi, kolusi dan nepotisme , penggusuran tanah, eksploitasi sumber daya alam oleh penguasa dan birokrat masih menjadi masalah yang sulit dihapus di republik ini. Rendahnya kontrol masyarakat terhadap kebijakan- kebijakan negara baik pusat maupun daerah telah membuat segala sesuatu berjalan begitu saja.
Kondisi ini, kemudian memunculkan krisis kepercayaan terhadap intitusi negara sebagai pengelola kontrak sosial. Reformasi yang bertujuan untuk mengembalikan negara sebagai pengelola terhadap jalannya struktur sosial yang berpihak pada kepentingan rakyat, justru masih melakukan praktek- praktek  yang menjadikan rakyat sebagai objek eksploitasi,  atau  hanya sebagai alat untuk melakukan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang menopang pada elit kekuasaan. Era reformasi sesungguhnya sangat memberikan harapan kepada kita semua, bahwa  peradapan sistem berpolitikan  segera lepas dari bayang- banyang kemunduran . Kita segera belajar sebagai bangsa yang jujur, terbuka, menghargai keunggulan orang lain, menghargai perbedaan pendapat, inilah menunjukan proses demokratisasi.
Pada Tahun 1999, bangsa ini  belajar berdemokrasi secara langsung, sesungguhnya sebuah kemajuan yang luar biasa bagi peradaban civil society. Potensi-potensi politik yang dulunya bersifat laten dan mengambang menemukan aktualisasi dirinya secara lugas. Namun  harus diakui  bahwa ruang terbuka ini  memang tidak dapat dimanfaatkan bijak oleh para pemegang kekuasaan saat ini, justru tercabut dari akar demokrasi yang kita tanam. Akar yang tumbuh justru melegitimasi polarisasi kekuatan – kekuatan politik.
Alih- alih dalam situasi penyemain budaya politik tidak kondusif itu, pemerintah pusat nampaknya  tidak sepenuh hati  melepas benih sipil begitu saja dengan berbagai instrumen kebijakan yang tersedia, acapkali memasung laju demokrasi itu sendiri.
Era reformasi,  semangat dan niat baik setiap warga negara untuk membentuk  partai politik  sangat meningkat jumlahnya. Pada kenyataan pembentukan partai politik  saat ini , bukanlah karena untuk tujuan perjuangan, namun hanya sebagai proses mendapatkan ruang kekuasaan. Fomomena kondisi partai dan kerakusan para politisi saat ini sangat nampak dalam kompetisi berpolitik untuk merebut “tahta dan harta”  sebagai contoh, ketika dalam ruang perebutan dan kompromi internal partai dalam kompetisi  struktur kepengurusan,  jika  terpilih  salah satu atau sebagian kelompok  kader  sesama anggota, maka sebagian kelompok dari kader yang tidak mendapatkan kesempatan beralih membentuk partai baru ataupun pindah ke partai tertentu, dengan alasan  perjuangan bagi rakyat. Namun semua ini hanyalah bentuk sandiwara, dalam mengganti jas  partai kuning, merah, biru, coklat dan berbagai macam- macam warna, yang tidak tahu sebagai bentuk dan makna dari apa?, untuk siapa semua ini penuh corakan dan hiasaan ilusi lantunan sandiwara kata- kata perjuangan dan kemakmuaran bagi rakyat Indonesia  Tercinta.
Konteks politik yang semakin plural dan kompetitif di era transisi memaksa politisi maupun partai politik memberikan respon dengan melakukan proses investasi politik jangka pendek. Logika untuk memenangkan kompetisi partai politik inilah yang selanjutnya membuat tipe dan pola rekruitmen partai politik di Indonesia cenderung berubah ke arah cath all partay dan pola survival. Perubahan tingkah laku politisi dan partai politik tentu menarik untuk dikaji: pertama, karena, seluruh aktifitas politik yang dilakukan menghadapi dan memenagkan kompetisi politik. Kedua, untuk mendukung logika kompetisi, kepemilikan modal finansial dan modal sosial menjadi sumber daya kekuasaan yang semakin menentukan. Untuk memenangkan pemilihan, kepemilikan modal ekonomi menjadi penting dalam kompetisi karena politisi perlu “memoles diri” secara baik, memperkuat, memelihara basis pendukung dan bahkan selanjutnya harus memperluas dukungan pemilih, dengan mengabaikan aspek penting dalam hal kepemimpinan seperti kapasitas, kapabilitas, integritas, dan loyalitas.
Kehadiran kekerasan komunal, kelas- kelas perantara sebagai shadow state dan politik biaya tinggi  dalam realitas politik Indonesia kontemporer sejalan dengan lemahnya kapasitas negara ( state capacity),  dalam menjalangkan fungsi- fungsi dasar. Beberapa kajian terakhir justru menempatkan Indonesia dalam “ label” negara yang lemah ( weak state),  atau bahkan berkembang sebagai negara yang gagal. Ketika negara semakin lemah dan gagal menjalangkan fungsinya maka negara terancam dikuasai oleh dua kekuatan yang sama dominannya; yakni fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama. Di satu sisi kegagalan negara untuk menjalangkan fungsi pelayanan publik, menjadi pembenaran bagi aktor- aktor kapital besar dalam sistem ekonomi pasar untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam sektor- sektor publik. Partai politik harus merubah minsdset perpikir dalam membenah sisitem berpolitik di Indonesia seperti  memperkuat publik action hal ini bisa dilakukan melalui: pertama, memperbesar ruang keterlibatan (space of engagement)  masyarakat dalam proses politik. Hal ini penting dilakukan karena tanpa ruang yang cukup maka peluang bagi warga masyarakat untuk terlibat menjadi terbatas. Kedua, perlu penguatan dan upaya memperdalam tingkat keterlibatan warga dalam proses politik. Kesemarakan partisipasi tidak akan berarti sama sekali kalau tidak diikuti dengan semakin dalamnya tingkat keterlibatan. Ketiga, warga perlu melibatkan diri sebagai critical angagment ( keterlibatan kritis), di mana keterlibatan ini bukan berarti masuk menguasai negara sebagai negara, melainkan melakukan peranan kritis dalam proses control pemerintah.
Unit dasar struktur politik adalah peran individu. Peran individu merupakan pola perilaku yang teratur, yang tentukan oleh harapan- harapannya sendiri dan tindakan-tindakan dan orang lain. Struktur senantiasa melibatkan fungsi-fungsi politik, dan karena pendekatan yang digunakan biasa disebut sebagai struktur fungsional. Struktur politik dapat di bedakan ke dalam sistem, proses dan aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada organisasi yang memelihara atau mengubah ( maintain change) struktur politik dan secara khusus struktur menampilkan fungsi – fungsi sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan komunikasi politik.
 Ketiga fungsi ini selalu ada dalam sistem politik. Fungsi sosialisasi politik merupakan fungsi di mana generasi muda  dan anak- anak mendapatkan sosialisasi kehidupan politik dari berbagai institusi seperti keluarga, tempat- tempat ibadah, lingkungan kerja, sekolah dan lain sebagainya. Dalam kaitan fungsi sosialisasi politik sering menjadi hal yang tabu dalam ruang-ruang institusi seperti  diatas, karena kita selalu terjebak pada kewenangan dan ruang hak menyampaikan politik, dimana sosialisasi politik selalu dikaitkan dengan hak dan kewenangan institusi partai politik, karena pola dan sistem politik  selalu terjebak  pada ranah politik paktis  pada ruang kompetisi menjelang momentum pesta demokrasi, atau ruang perebutan kekuasaan. Dan hal ini sering  dialami oleh  masyarakat   yang secara pendidikan politik masih rendah, sehingga dalam ruang momentum  terjadi mobilisasi person, bukan partisipasi person sebagai asas hak politik.
Rekruitmen politik melibatkan proses di mana pemimpin-pemimpin politik direkrut melalui partai- partai politik. Lahirnya pemimpin  yang memiliki komitmen dan kapasitas barang tentu pernah melalui sebuah jenjang pengkaderan, maupun proses perjalanan organisatorisnya melalui tahapan waktu yang lama. Hal ini tentu bisa dinilai bahwa sudah tepat dan sistematiskah partai politik  melakukan mekanisme rekruitmen pemimpin politik?. Realitas pemilu legislatif tahun 2004 dan tahun 2009, telah membuktikan  bahwa partai politik  gagal dalam melakukan mekanisme dan fungsi ini, banyaknya artis , para tokoh masyarakat dan pengusaha yang telah menghiasi wajah perpolitikan bangsa ini. Hal ini membuat kaum  intelektual, aktivis dan para politis yang memiliki kapasitas yang teruji secara pengalaman selalu dikalahkan dengan sistem dan mekanisme politik yang diterapkan dengan sistem menampilkan wajah tanpan, tokoh  yang memilki infestasi basis masa, dan pengusaha  modal besar, sebagi bentuk transaksional politik  mendapatkan kedudukan,  mengalahkan sebagian anak bangsa yang siap berdikari dalam ruang gagasan intelektual dan insting politik gagasan   demi kemajuan bangsa ini.  Secara sadar  sistem dan pola rekruitmen politik tentu harus dirubah dengan  pola  selektif,  seperti melihat kemampuan secara politik, proses pengkaderan secara partai dan kapasitas, kapabilitas, sikap komitmen dan loyalitas atas perjuangan. Dan sudah barang tentu harus  meninggalkan  pola rekruitmen secara instan  demi kepentingan memenangkan kompetisi pemilu maupun memenuhi suara partai, hal ini sesungguhnya bukan sisten berpolitik yang baik.
Hal yang ketiga adalah komunikasi politik untuk menyambungkan bagi keseluruhan sistem agar dapat bekerja sebagai mana mestinya, seperti melakukan artikulasi kepentingan, agresi kepentingan, pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan. Kita tentu berharap bahwa komunikasi politik tidak hanya sebatas pada ruang struktur formal antara legislatif, eksekutif dan yudikatif ataupun sesama partai pemilik kekuasaan bersama, namun komunikasi politik harus melibatkan para buruh, petani, pedagang, pemulung, dan kelompok yang sampai saat ini tidak pernah merasakan kehadiran negara dalam memenuhi hak hidup.
               Kuatnya orientasi  mengejar kekuasaan di kalangan elit,  sering terjadi pada lembaga  eksekutif  tetapi juga mencakup partai politik, legislatif dan  lembaga peradilan. Ini merupakan salah satu   tujuan dan orientasi  partai politik, di mana setiap partai politik dan pemimpin politik mempunyai argumentasi yang rasional tentang kehadirannya , yang tetap mengedepankan asas dan tujuan utama perjuangan demi kesejahteraan maupun mempertahankan kedaulatan negara. Ketika pada posisi kekuasan partai politik dan pemimpin politik  mempoles  diri dengan komestik argumentasi dan pencitraan, menjadi  pelantunan lagu- lagu perubahan di panggung politik , di depan    ratapan wajah  cemberut dan kulit  kusam anak bangsa,  penuh dengan air mata  dan keringat.
                        Harus disadari dan dilakukan secara komprehensif adalah partai politik segera merubah format pengambilan keputusan yang secara subjektif dengan tidak melibatkan masyarakat dalam ruang partisipasi politik, sehingga dampaknya kebijakan tidak menyentuh kebutuhan riil masyarakat.  Partai politik dan pemimpin bangsa ini,  diingatkan kembali bahwa  partisipasi politik warga negara merupakan  tolak ukur untuk menilai berhasil tidaknya perwujudan negara demokrasi. Kedewasaan dan atau kematangan berpolitik suatu negara sangat dipengaruhi oleh derajat pastisipasi politik dalam pembangunan. Dengan kata lain, kematangan politik bangsa berbanding lurus dengan terwujudnya kehidupan yang mengakui dan menjamin adanya partisipasi politik warga negara dalam semua aspek kehidupan untuk mewujudkan  perjuangan politik nilai ( kesejahteraan, keadilah, kebebasan dan lain sebagainya).
               Sebagai bangsa yang dewasa dari segi usia,  perlu melakukan refleksi  apakah kita juga telah matang dan dewasa dalam kehidupan berpolitik? Jikalau belum sudah saatnya kita memulai dari pada tidak sama sekali, dan jika telah ada kematangan marilah  tingkatkan kearah yang lebih demokratis.
                                    S e m o g a.................!

Pemuda (Terpelajar) Papua di Era Otonomi Khusus


Pertama-tama, sebagai seorang yang pernah terbina di GMKI, kami tentu merasa bangga dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada saudara Gerson Djitmau, Mantan Ketua KNPI Propinsi Papua atas keberanian dalam menulis sebuah buku berkenaan dengan sejumlah permasalahan di tanah Papua terutama yang berkaitan dengan masalah yang melilit pemuda papua dalam melakukan partisipasi pembangunan Papua.
Semua sudah sangat tahu, bahwa Papua merupakan ironi Indonesia terutama berkenaan dengan komplikasinya pengaturan hubungan pusat dan daerah, dan masalah kontemporer yang terkait dengan agenda neoliberalisme. Setidaknya ada kesan paradoks yang muncul ketika melakukan pengamatan umum dan langsung ke tanah Papua, di mana pada satu sisi Papua memiliki sumber daya alam yang sangat kaya, bahkan mungkin “tidak terukur” dan menjadi daerah penghasil devisa Negara Indonesia yang sangat besar, serta kekayaannya antara lain dikelola oleh salah satu multi national corporation (MNC) pertambangan terbesar di dunia, tetapi pada sisi lain, dalam kesan umum, sumber daya manusianya masih sangat terbatas dan masyarakatnya rata-rata—utamanya masyarakat asli (indigenous people) masih dibawah “garis kemiskinan”.  Demikian pula dengan infrastrukturnya yang masih sangat terbatas.
Apa masalahnya? Secara sederhana, dapat disimpulkan dalam dua soal umum yakni: satu, Pemerintah (Jakarta) sejak pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) tahun 1963, tidak memiliki kehendak baik (political will) untuk memajukan kesejahteraan rakyat Papua, tetapi lebih cenderung hanya mau menikmati kekayaan tanah Papua; dan kedua, adanya ketakutan berlebihan dari pemerintah (Jakarta) terhadap “agenda-agenda politik lokal sebagian orang Papua” antara lain masalah organisasi papua merdeka. Nah, dilatarbelakangi oleh tarik menarik pendekatan konseptual dan sejumlah perbedaan  pandangan lainnya, akhirnya UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua kemudian disepakati menjadi solusi terhadap ketegangan kronis yang muncul antara Jakarta dan Papua.  Problemnya adalah Otsus ini kemudian diganggu oleh para elit politik yang tidak konsisiten dalam melaksanaannya.  Olehnya, otsus “tidak lagi” menjadi solusi, tetapi memunculkan sejumlah masalah baru dan krusial. Kesejahteraan rakyat papua yang menjadi tujuan suci otsus belum memperlihatkan tanda-tanda perbaikan.
Dalam konteks permasalahan krusial seperti di atas, pemuda papua harus mengambil peran strategisnya dalam melakukan perubahan, pencegahan dan pemberdayaan. Tetapi pertanyaannya Apakah Pemuda (terpelajar) Papua sudah cukup memiliki kapabilitas untuk melakukan perubahan, pencegahan, dan pemberdayaan? Ataukah Pemuda Papua tidak cukup kompeten karena sering terseret dalam politik kepentingan “orang tua” yang saat ini lagi mendominasi pos politik dan birokrasi strategis, pos elit kultural strategis, pos elit perempuan stategis, pos lembaga keagamaan (gereja) strategis?
***
Fakta peradaban, bahwa dinamika perubahan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemudanya, utamanya pemuda terpelajar. Demikian halnya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua. Peran yang dimunculkan, misal saja, dari melahirkan kader politik dan birokrasi yang terbina dalam organisasi pemuda seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GmnI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),  dan organisasi lainnya, sampai dengan terlibat  aktif dalam sumbang saran gagasan otsus. Malahan pada tingkat tertentu pemuda Papua tidak saja melakukan proses kaderisasi, memberikan pemikiran, bahkan, agar ide dan perubahan dapat terimplemantasi pemuda papua melakukan hal-hal yang lebih taktis sampai pada tingkat pengorganisasian aksi massa atau demonstrasi. Dalam dinamika itu, ternyata Pemuda Papua telah menyadari bahwa perubahan dapat dilakukan tidak saja oleh mekanisme kaderisasi pemuda, mengeluarkan dan menyampaikan ide dan gagasan, tetapi pada tingkat tertentu, kalau komunikasi aspirasi dalam menyampaikan ide yang disampaikan dengan berdiskusi tidak lagi efektif, maka langkah demonstrasi dan aksi masa menjadi pilihan strategis.
Memang, dalam konstruksi masyarakat transisi atau sementara melakukan peralihan dari masyarakat tradisional, pemuda terpelajar dapat dikategorikan sebagai masyarakat kelas menengah. Masyarakat kelas menengah dalam terminologi politik memiliki posisi yang signifikan dalam melakukan perubahan-perubahan social dan politik melalui kritik, penyemaian ide dan pengorganisasiannya.  Masalahnya adalah Papua di era otsus ini masih belum menunjukan perbaikan, dan terus mengalami fragmentasi secara geo-politik dan geo-ekonomi. Fragmentasi itu tidak saja datang dari luar secara vulgar, tetapi juga muncul secara sistematik dengan menggunakan kelemahan dan ragam perbedaan di masayarakat Papua.
***
Dalam kondisi Papua yang masih mengalami banyak soal seperti sekarang, pertanyaannya adalah dimana posisi berdiri Pemuda Papua dan bagaimana Pemuda Papua harus berperan? Kalau menggunakan pendekatan lazim, tanpa harus menyebut secara generalisir posisi orang tua dalam konteks kategori sosial yang selalu mempertahankan status quo dan memiliki “keengganan untuk berubah”, dan membaptis posisi pemuda sebagai kelompok sosial yang  selalu berada diposisi berhadapan dengan status quo, karena harus diakui ada juga “orang tua” yang progresif pada perubahan dan orang muda yang “malas” melakukan perubahan, saya kira, kalau belajar dari sejarah bangsa ini, terdapat fakta bahwa setiap tahapan perubahan dibangsa ini selalu terjadi karena adanya ketegangan-ketegangan yang signifikan antara “kelompok orang tua” yang biasanya memiliki posisi politik yang penting dalam menentukan kebijakan politik karena mereka yang umumnya berada dalam ruang-ruang kekuasaan politik versus kelompok pemuda yang terus menerus mengalami kegelisahan dan keinginan melihat perubahan-perubahan, walaupun latar belakang kegelisahannya juga beragam, baik yang semata-mata berjuang dengan kepentingan politik kekuasaannya agar sirkulasi elite politik dan birokrasi cepat berputar atau karena kepentingan pragmatis lainnya, maupun karena semata-mata ingin melihat kehidupan masyarakat papua benar-benar sejahtera dan berkeadilan tanpa dilatarbelakangi oleh kepentingan sempit individu dan kelompok.
Untuk bisa melakukan tanggungjawab mesianik seperti itu, beberapa pra syarat yang harus menjadi perhatian pemuda papua adalah: satu, berani melakukan perubahan perilaku, dengan melepaskan diri dari jebakan-jebakan  pragmatisme dan materialisme, baik jebakan yang datang dari elite politik dan birokrasi Papua, maupun jebakan-jebakan yang datang dari luar. Pendeknya, Pemuda Papua harus memiliki Visi tentang Papua Masa depan, serta memiliki kemandirian, komitmen, konsistensi, kritis, kreatif dan inovatif; dua, pemuda papua harus menjadi pioner dalam membangun mutual trust di antara sesama elemen muda papua sendiri, diantara sesama rakyat papua yang sangat kompleks. Karena membangun masa depan Papua dengan ragam pembelahan horisontal dalam rakyat Papua, tidak akan berjalan kalau terus menerus bermunculan sikap-sikap yang segregatif dan cenderung mudah tersulut konflik; tiga,  terakhir tapi yang paling krusial adalah pengembangan sumber daya pemuda Papua secara sinergis. Mengembangkan secara sinergis adalah pengembangannya harus terarah dan terpadu. Selama ini pengembangan SDM Papua terkesan masih sporadis dan belum tersistematik menjawab kebutuhan-kebutuhan tanah Papua yang berjangka menengah dan panjang. Misal saja, banyak kader, termasuk di KNPI dan GMKI, dan organisasi lainnya  yang cenderung terdistribusi di sektor politik dan birokrasi pemerintahan. Masih sangat jarang pemuda papua memasuki sektor bisnis, apalagi yang berkaitan dengan bisnis di sektor rill. Padahal, kini, dunia tengah berada dalam bangunan kultur ekonomi. Olehnya pengembangan sumber daya pemuda yang berbasis pada rural entrepreneurial leadership menjadi titik masuk strategis dalam mengembangkan budaya kewirausahaan dalam kehidupan pemuda Papua secara khusus dan masyarakat Papua secara umum.

Semoga !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!




PEMEKARAN MENJAWAB KEPENTINGAN ELIT
 Sebuah Catatan Reflektif
Oleh :
 Bung Elias Ijie

v  Sebenarnya Pemekaran dilakukan Untuk Siapa?
Sengaja saya tidak lagi menguraikan lagi mengapa dan seperti apa tujuan pemekaran daerah secara teoritis dan tidak lagi mengangkat tentang kepentingan pemekaran sebagai wacana "idealisme" para elit politik dan masyarakat, katakanlah begitu. Tetapi pada bagian ini saya ingin "to the point" untuk melihat pemekaran secara lebih pragmatis. Melihat dengan lebih pragmatis bagi saya lebih cocok pada konteks kini karena kita semua ingin melakukan evaluasi terhadap politik pemekaran yang dilakukan oleh para elit politik di tanah Papua selama bebarapa tahun belakangan ini. Pertanyaan besarnya adalah Pemekaran dilakukan untuk siapa?
Bagi saya, dan ini bukan rahasia lagi, bahwa pemekaran daerah di tanah Papua, yang kini nyaris tak terbendung adalah kehendak politik dan ekonomi yang datang dari tiga pilar masyarakat yakni para elite politik lokal, birokrat lokal dan pengusaha lokal. Mantan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf, tidak menyangkal kemungkinan bermainnya tiga pilar elite lokal ini dalam mendorong pemekaran wilayah, khusus pasca pemilihan kepala daerah. Umumnya calon yang kalah berusaha mendorong terbentuknya wilayah baru agar ia bisa menjadi Bupati/Walikota atau mendapatkan posisi elite lainnya di wilayah yang di mekarkan itu.
. Selain itu, menurut syarif Hidayat, peneliti dari LIPI, pemekaran yang terjadi di Indonesia sebagaian besar di bentuk berdasarkan kriteria yang tidak realistis. Hanya dengan lobby, jaringan politik dan membayar sejumlah besar uang membuat daerah yang sebenarnya tidak layak di mekarkan akhirnya bisa menjadi daerah otonomi baru. Menurutnya, “pemekaran bukan karena kenyataan tetapi pernyataan.” Baginya sebagian besar daerah pemekaran di bentuk atas usul sekelompok elite politik daerah bukan atas usul masyarakat.
Dari pendapat mengenai pemekaran di atas, dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar daerah pemekaran adalah rekayasa elite yang nantinya bermuara kepada kepentingan mereka. Elite sering membodohi rakyat dengan menyelewengkan otonomi daerah, seolah-olah otonomi daerah bagian dari pemekaran. Pada hal otonomi  daerah itu bukan pemekaran. “Otonomi itu mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, memberdayakan masyarakat sehingga mereka mampu menyelesaikan persoalan sendiri dan menghasilkan  kebijakan kesejahteraan rakyat yang memihak kepada mereka. Apa artinya pelayanan dekat, tetapi kesejahteraan menurun.
Belum lagi kalau kita melihat pemekaran Papua dari perspektif geo-politik dan geo-ekonomi nasional, regional dan internasional. Di mana dalam konteks ini, Papua sesungguhnya merupakan daerah yang banyak diperebutkan oleh para kaum kapitalis yang berada dalam struktur politik dan ekonomi nasional, regional, dan internasional. Saya kira sebabnya sudah kita tahu bersama, karena tanah ini memiliki sumber daya alam yang luar biasa kaya-nya. Karena alasan itulah, saya ingin memberikan dua tanda awas sebagai berikut: satu, bahwa diduga ketidaksiapan elit dan masyarakat terhadap proses pemekaran daerah, akan membawa implikasi yang tidak menguntungkan bagi masyarakat daerah yang dimekarkan; dua, bahwa pemekaran daerah yang terjadi di tanah papua sehingga terbagi dalam wilayah-wilayah yang kecil akan memudahkan untuk dilakukan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan diantara tiga pilar lokal yakni  elite politik lokal, birokrat lokal dan pengusaha lokal dengan para elit politik nasional dan pengusaha nasional yang memiliki jaringan dengan kaum kapitalis internasional". Kalau sudah begitu, maka keuntungan pemekaran akan lebih dinikmati oleh segelintir orang yakni sebagian orang lokal, sebagian orang nasional, dan satu dua orang/perusahan internasional. Sampai disini terlihat jelas aktor-aktor yang paling diuntukngkan dari  pemekaran daerah di tanah Papua.
Olehnya, dapat di tarik benang merahnya, bahwa pemekaran daerah di tanah Papua tidak bisa dilihat dengan menggunakan kaca mata kuda saja atau satu arah saja, tetapi memiliki dimensi-dimensi yang lebih luas dari sekedar definisi teoritis sebuah pemekaran daerah yakni untuk memutus mata rantai rentang kendali pelayanan pemerintahan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran.
v  Merefleksikan Masalah Pemekaran?
Besarnya energi dan biaya yang di keluarkan para elite politik dalam "memperjuangkan pemekaran" membuat mereka "memperjuangkan pengembalian modal” sebagai kompensasi atau balas jasa ke elite politik yang "memperjuangkan pemekaran" tersebut. Selain itu, sejumlah besar dana APBD digunakan untuk pembangunan fisik seperti pembangunan rumah dinas, kantor pemerintah dan sebagainya. Padahal, 70% APBD adalah disumbangkan Negara. Orang yang di tempatkan dalam lingkaran kekuasaan adalah orang-orang dekat sang elite politik. Para pengusaha yang dekat dan pernah berjasa dalam pemekaran dan mendukung sukses sang elite politik  berperan dalam pembanguann fisik. Dan tentunya pembangunan fisik selalu membutuhkan anggaran yang sangat besar. Oleh karena itu, tidak heran jika dibalik gedung-gedung pemerintahan yang mega berderet gubuk-gubuk miskin milik masyarakat lokal. Anggaran untuk kesejahteraan mereka tersedot oleh para elite politik dan pengusaha yang katanya “berjasa” memekarkan daerah.
Di samping itu, karena ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM),  masyarakat lokal yang tadinya diharapkan dapat menduduki sejumlah posisi di kantor-kantor pemerintah ternyata terganjal karena masalah SDM tersebut, dan masalah kontrak-kontrak sosial dan politik yang terjalin antara elite dengan kekuatan di luar masyarakat lokal. Harapan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan infra struktur jalan, jembatan yang menghubungkan kota kabupaten dengan kampung-kampung serta jalan trans antar kabupaten dan kota, ternyata peluang ini sudah dicermati lebih dahulu oleh mereka yang bukan penduduk lokal. Hasilnya berbagai mata rantai perdagangan/bisnis masuk menjajaki ke wilayah pemekaran mulai dari pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan pengusaha besar, yang menguasai dan mengatur sistem perekonomian di kota-kota hingga kampung-kampung misalnya seperti kios-kios, rumah makan, pemangkas rambut, jasa angkut dan lain sebagainya yang di dominasi oleh kaum migran. Jasa angkut di wilayah-wilayah pemekaran benar-benar di kuasai oleh kaum migran. Padahal tadinya diharapkan dengan adanya perbaikan infrastruktur oleh pemerintah, masyarakat lokal dapat berakses terutama dalam dunia ekonomi.
Barangkali contoh-contoh di atas  dapat menjadi pelajaran bagi kita bahwa pemekaran yang katanya bisa meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua perlu di pertanyakan? sejumlah prasarana dan sarana yang di gunakan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk lokal, sangat kecil dampaknya. Malah, kaum imigran yang cekatan menggunakan fasilitas tersebut untuk berbisnis. Barang-barang dagangan diangkut dengan kapal perintis, bahkan kapal-kapal perintis ini  telah mengangkut ratusan kendaraan roda dua secara  bertahap untuk di jadikan jasa tranportasi ojek di daerah pemekaran. Selain itu, dengan dibukanya jalan-jalan trans, daerah-daerah yang dulu  tidak ada orang berjualan, mulai terlihat satu demi satu membuka kios dan usaha lainnya. Penduduk lokal hanya sekedar menggunakan sarana  transportasi laut yang tersedia dan infrastruktu jalan raya guna mengunjungi kaum keluarga atau pulang pergi liburan sekolah bagi anak-anak sekolah.
Lagi-lagi, pemekaran akhirnya tidak menjawab dua kebutuhan strategis diatas yakni: satu, kebutuhan pengelolaan pembangunan dan pelayanan public yang terkelola dengan baik dan dekat dengan kebutuhan public itu sendiri; dua, kebutuhan  historis kritis "otsus Papua", bahwa "tanah dan orang Papua" haruslah di proteksi (to protect), dipromosikan (to promote), di penuhi (to fulfill) hak-hak sipil politiknya (sipol) dan hak-hak ekonomi, social, budaya (ekosob).

                                   Semoga.....................!!!!!!